Chapter DCCXXVIII

1.7K 385 13
                                    

Aku terus berjalan, ke arah Rumah yang dulu pernah kami tempati. Walau sudah lama sekali rasanya, tapi arahnya masih terukir jelas di kepalaku. Sembari berjalan, kuangkat buku yang ada di tanganku itu, lalu kusembunyikan buku tadi di kedua tanganku yang memeganginya erat. “Takumi!” suaraku keluar begitu saja, disaat mataku itu terjatuh ke arah Takumi yang tengah memukul-mukul sebuah pedang kayu yang ia pegang ke tanah.

Takumi yang mendengar panggilanku, segera menghentikan apa yang ia lakukan sambil berlari kencang mendekatiku. “Bibi, apa Bibi bersama Ayah?” pertanyaan singkat itu langsung ia lemparkan sesaat dia sendiri sudah berdiri di depanku.

“Ayahmu,” tukasku yang sempat berhenti, “Ayahmu sedang menyelesaikan sebuah urusan bersama Paman dan Bibi. Kami mungkin akan kembali beberapa hari lagi … Takumi, di mana Ihsan dan juga Huri?” tukasku balas bertanya kepadanya.

“Saat dia tahu Bibi pergi bersama Ayah. Huri tidak berhenti menangis,” jawabnya sambil melambaikan sedikit tangannya, “Ibu, Bibi Amanda dan juga Kakek Buyut, bergantian menjaganya. Tubuhnya panas dan tidak berhenti mencari Bibi … Ihsan juga tidak mau diajak ke mana pun karena ingin menjaganya-”

“Huri sakit?” ungkapku yang dengan cepat memotong perkataannya, “lalu, lalu di mana dia sekarang?” Aku kembali bertanya kepadanya.

“Di rumahnya.”

Aku segera berlari, mengikuti jari telunjuk Takumi yang mengarah ke kanan. Langkah kakiku itu, semakin cepat saja berlari mendekati Ebe yang tengah duduk dengan memangku Miyu, di sebuah kursi kayu yang ada di depan rumah yang dulu dibuat Kakek untuk kami. “Ebe, apa Huri dan Ihsan?” tanyaku, sambil menepuk-nepuk dadaku sendiri, disaat napasku semakin tak teratur setelah berlari.

“Huri sedang beristirahat di dalam. Ihsan sendiri … Kak Amanda mengajaknya mandi bersama Hikaru.”

“Kata Takumi-”

“Badannya memang sempat panas. Namun Lux dan juga Eneas sudah memberikannya ramuan … Hanya saja, sulit sekali untuk memintanya makan. Itu saja dia baru mau makan, setelah Ihsan berbicara dengannya.”

Aku menggigit kuat bibirku, lalu berbalik tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Ebe.Tanganku yang hendak membuka pintu di hadapanku itu gemetar … Memikirkan kondisi Huri, membuat tubuhku seketika kehilangan tenaga. “My Lord.” suara Uki yang melintas di kepala, memecah lamunan yang menyelimuti.

Tanganku baru mau bergerak membuka pintu, setelah pandanganku tersebut bertemu sosok Uki yang mengepakan sayapnya di dekatku. Uki dengan cepat terbang memasuki rumah, sesaat pintu yang ada di depan kami itu terbuka. “Nee-chan!” Aku menoleh ke kanan, ke arah beberapa kursi dan sebuah meja, lengkap dengan Eneas yang berdiri di tengah-tengah barang-barang tadi.

“Di mana Huri?”

“Dia di kamar atas. Dia tertidur, setelah aku memberikannya ramuan,” sahut Lux yang duduk di salah satu pundak Eneas.

“Terima kasih,” jawabku singkat, sebelum kedua kakiku bergerak mendekati anak tangga lalu menaikinya.

Aku terus saja berjalan, ke satu-satunya kamar yang ada di lantai dua. Dengan pelan, tanganku membuka pintu hingga suara sedikit pun tidak terdengar oleh Huri. Aku berusaha sekuat mungkin, agar langkah kakiku tak menimbulkan suara saat melangkah mendekati ranjang yang ada di dalam kamar. “Maafkan Ibu, Huri. Seharusnya Ibu, tidak meninggalkan kalian begitu saja,” bisikku, sebelum kecupan singkat dariku mendarat di keningnya.

Aku duduk di samping ranjang, setelah sebelumnya  menarik sedikit selimut agar menutupi pundaknya.  “Apa dia baik-baik saja? Aku akan memberikannya air mataku,” tukas Uki yang telah hinggap di sisi lain ranjang.

“Lux dan yang lainnya telah merawatnya. Jika kau lelah, Uki, kau bisa beristirahat,” ungkapku sambil menundukan kepala menatap buku yang ada di pangkuanku.

Jari-jemariku, membuka halaman demi halaman dari buku tadi. Keningku sedikit mengerut, saat menyadari bahwasanya setiap kata yang tertulis di buku itu … Semuanya menggunakan Bahasa Inggris.

Jika ramalan yang ada di dalam mimpiku itu benar. Cucuku akan bisa membaca apa yang ada di dalam buku ini.

Sachi-

Napasku, dengan tiba-tiba tercegat, disaat nama Sachi tertulis di sana, “apa ini? Apa ini semacam wasiat?” gumamku, sambil meneguk air ludah basi sebelum lanjut membaca.

Aku berasal dari Dunia yang sama denganmu. Aku tidak tahu dari Negara mana kau berasal, tapi jika kau tahu Inggris, itulah negara asalku, karena itu aku menulis setiap kata-kata di buku ini menggunakan Bahasa yang sama.

Aku tidak terlalu mengingat bagaimana aku bisa berakhir di sini, yang aku ingat hanyalah … Aku tiba-tiba terbangun di dalam tubuh seorang perempuan yang menjaga sebuah bunga kehidupan. Aku yang selalu hidup bebas, dipaksa untuk tidak melakukan apa pun selain memberikan sihir untuk menjaga bunga tersebut … Aku bosan, dan aku tidak ingin menghabiskan kehidupanku sebagai Elf yang abadi hanya untuk menjaga sebuah bunga.

Semua kesalahan yang aku perbuat, berawal dari semua itu. Di dalam kebimbanganku dulu … Aku bertemu seorang laki-laki yang bertugas untuk melindungi kami dari ancaman Dunia Luar, layaknya seorang Kesatria dari Dunia kita. Laki-laki tersebut adalah Kakekmu … Dan aku jatuh cinta kepadanya. Aku membuang semuanya, hanya untuk bisa hidup bersama laki-laki itu.

Namun, apa yang aku lakukan harus dibayar mahal.

Beratus-ratus Tahun kemudian, Robur Spei yang seharusnya menjadi tanggung jawabku sebagai jiwa yang mendiami tubuh ini … Aku merasakan, bahwa sebuah kekuatan besar menghancurkannya, tapi itu tidak hancur sepenuhnya, karena Bibit baru yang akan tumbuh menggantikan bunga lama … Akan muncul satu kali selama lima ratus tahun. Namun sayangnya, Bibit yang dimaksudkan justru dibawa pergi oleh seseorang yang memiliki Hewan Agung bersamanya.

Maafkan aku, tapi aku sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa untuk membayar kesalahanku. Sebagai gantinya, aku akan menceritakan kepadamu … Apa yang sebenarnya terjadi di Dunia Ini! Di dalam buku ini, aku sudah menuliskan banyak sekali pengetahuan untukmu, dan sebagai gantinya-

Kakekmu mungkin terlihat tak acuh jika dilihat sekilas, tapi dia sangatlah peduli kepada keluarganya. Dia hanya disiplin … Karena itu, bantu aku sebagai Nenekmu untuk menjaganya, karena walau bagaimana pun, dia suami yang sangat aku cintai.

Mataku yang membaca perlahan huruf demi huruf yang tertulis di buku, perlahan beralih ke arah sebuah suara langkah yang terdengar pelan. Bibirku tersenyum sambil melambaikan tangan kananku kepada Ihsan yang terlihat berdiri dengan sedikit menyembunyikan tubuhnya dari balik pintu. “mendekatlah, Ihsan!” panggilku sembari menutup buku, lalu meletakannya di meja kecil yang ada di dekat ranjang.

“Jangan membiarkan rambutmu basah … Ibu akan sangat sedih, jika kau juga ikut sakit seperti Huri. Ambil kain bersih di tas yang menyimpan pakaian kita! Ibu akan mengeringkan rambutmu.”

“Ibu.”

Senyum di bibirku kembali mengembang, sebelum dia bergerak maju oleh tanganku yang menarik pelan lengannya agar mendekat. “Terima kasih, Kakak. Terima kasih telah membantu Ayah dan Ibu, untuk menjaga Adikmu. Kau sudah melakukan tugasmu dengan sangat baik, dan Ibu sangatlah bangga kepadamu,” ucapku yang semakin erat memeluknya.

“Huri, belum memakan apa pun hari ini, Ibu.”

Aku menatap wajahnya yang hampir menangis itu dengan sangat lama, sebelum bibirku mencium kedua pipinya bergantian. “Setelah Ibu mengeringkan rambutmu. Ibu akan menyiapkan makanan untuk kalian berdua,” ungkapku sambil meraih lalu mengecup tangan kanannya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang