Chapter DCLII

2.7K 503 38
                                    

"Jadi seperti itu," tukas Haruki sambil menatap api unggun yang ada di depannya.

"Yang ingin kau maksudkan, mereka hidup sejak pertama kali kau menemukannya?" sambung Izumi menimpali perkataan Haruki.

Aku mengangguk dengan duduk bersandar di tubuh Shin yang melingkar di belakangku, "aku ingin meminta Kou untuk membawa mereka. Mereka, membutuhkan tempat yang dipenuhi sihir ... Dan menurutku, dunia yang dimiliki Kou adalah yang terbaik."

"Apa mereka tidak mempermasalahkannya?"

"Sepertinya tidak-"

"Shin, Tama!" sambungku dengan memanggil mereka, "apa kalian ingin tinggal di dunia milik Kou? Di sana banyak sihir, aku pun bisa memanggil kalian kapan pun ... Jadi, bersediakah kalian?" Aku bertanya menggunakan bahasa Inggris kepada mereka.

"Apa itu, akan membuat kami lebih kuat?"

"Jauh lebih kuat dibanding kalian berdiam diri di dunia manusia. Jadi, apa kalian bersedia?" Aku kembali bertanya sambil mengusap kepala Shin di atas pahaku.

"Jika itu yang terbaik, My Lord. Kami akan menerima semuanya."

"Dan Shin, bagaimana denganmu?"

"Jika Tama tidak mempermasalahkannya, aku pun akan menyetujuinya."

"Bagaimana denganmu sendiri, Kou?" Kali ini aku menoleh ke arah Kou yang menjadi sangat pendiam sejak kami kembali.

"Apa aku, diberikan izin untuk menolak?" sahutnya, matanya sempat terbuka sebelum kembali terpejam.

Aku tertunduk sambil memijat pelan kepala, "bukankah kau sering mengabaikan perintahku ... Tapi kali ini, terima kasih, Putraku," ucapku, Kou masih terdiam, kepalanya saja yang terangkat sebelum ia lempar kembali hingga wajahnya membelakangiku.

"Mereka tidak mempermasalahkannya, nii-chan," ungkapku sembari menoleh lagi ke arah Haruki dan juga Izumi.

"Baiklah. Karena kita sudah mendapatkan apa yang kita inginkan ... Itu berarti, kita akan melanjutkan perjalanan ke tempat yang la-"

Perkataan Haruki terhenti saat Shin ataupun Kou, beranjak dengan mengarahkan tatapan ke arah belakang tubuhnya. "Ada yang mendekat! Tapi, sihir ini," ucapku yang turut beranjak berdiri.

Aku melirik ke arah Izumi yang menarik Ebe ke dekatnya. "Seseorang yang kita kenal?" sahut Haruki, saat dia sendiri telah berdiri membelakangiku.

"Mungkin," jawabku, meraih pedang yang ia berikan.

Haruki bergeming di depanku, dia menggerakan tangannya ke belakang seakan memintaku untuk semakin berdiri lebih dekat di belakangnya. "Bibi?" ucapku, saat bayangan Bibi keluar dari semak-semak.

"Bawa pergi anak kalian dari sana! Di sana tidak aman! Kehancuran terjadi di sana!" ucap Bibi, yang kali ini menggerakan matanya melirik ke arahku.

"Sachi, maafkan keegoisan kami. Tindakanmu, membuktikan semua kesalahan kami ... Kau, akan memaafkan kami, kan?"

Aku melengos ke samping saat mendengar apa yang ia katakan. Jika mengingat saat-saat itu, hatiku masih terasa dicabik-cabik. "Tidak apa-apa jika kau belum berkeinginan memaafkan kami. Tapi setidaknya dengarkan perkataan bibi, tempat di mana kalian menitipkan anak kalian ... Hangus terbakar oleh Naga Kaisar."

Jantungku seakan berhenti saat mendengar kata-kata yang terlontar, "kalian menitipkan mereka di sebuah desa yang memiliki mata sama seperti yang Izumi miliki, kan? Bibi diam-diam memperhatikan mereka ... Hanya sekejap, hanya sekejap Bibi tidak mengawasi mereka ... Semuanya terjadi begitu cepat."

"Nii-chan apa itu benar? Apa Haru-nii menitipkan mereka di suku Azayaka?" tanyaku, sambil meraih lengan Haruki.

"Itu benar," jawab Haruki singkat, dengan matanya yang terlihat mulai memerah.

"Tenanglah dulu kalian berdua! Ada Ryu, ada Tsubaru dan juga Tatsuya yang ikut menjaga mereka!"

"Mereka, pasti baik-baik saja," ucap Izumi yang berusaha untuk menenangkan kami.

"Kou, kau berkata akan turut menjaga Huri, bukan? Katakan kepadaku, bagaimana keadaannya? Apa kau-"

"Tidak terjadi apa pun padanya, My Lord. Mereka berhasil melarikan diri sebelum Naga itu datang, adikmu pasti bisa merasakan sihir Naga sebesar itu. Bukan hanya Kou yang bisa merasakan keberadaan Tuan kecil kami, tapi aku pun bisa ... Dia baik-baik saja, mereka semua baik-baik saja. Hanya saja, dia tak berhenti menangis sekarang," sahut suara Uki yang tiba-tiba melintas di kepalaku.

"Bagaimana, Sa-chan?"

Aku berjalan maju lalu menyandarkan wajahku ke tubuh Kou, "Mereka baik-baik saja, nii-chan. Mereka semua baik-baik saja. Syukurlah ... Syukurlah," tukasku terbata dengan semakin membenamkan wajah di tubuh Nagaku itu.

"Mereka memang baik-baik saja, tapi sulit untuk baik-baik saja setelah ini ... Sihir milik anakmu terlalu besar dan sulit dikendalikan oleh bayi kecil sepertinya. Mereka yang memiliki sihir besar tapi bertubuh lemah, akan menjadi santapan makhluk-makhluk yang ingin memperkuat sihir mereka. Kau, paham perkataan Bibimu ini, kan, Sachi," ucapnya lagi yang membuatku kembali menoleh ke arahnya.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"

"Entah, Bibi pun tidak tahu ... Bibi hanya menyampaikan agar berhati-hati. Kemungkinan, Naga milik Kaisar menyerang mereka, karena dia ingin mengincar anakmu, dan kemungkinan juga mengincar Hikaru berserta Ryu yang memiliki sihir Robur Spei."

Bibi berbalik dengan mengangkat sebelah tangannya, "Kemarilah! Bibi akan mengantarkan kalian ke sana!" perintahnya, saat akar tumbuh hingga membentuk sebuah gapura.

"Izumi, beritahukan kepada Dekka apa yang terjadi! Sachi, pinta Kou untuk membawa Shin berserta Tama ke dunianya, lalu pinta dia untuk menjemput Zeki! Mau bagaimana pun, Zeki harus tahu sebagai Ayah dari anakmu!" kali ini Haruki yang memerintah sembari melangkahkan kakinya mendekati Bibi.

"Kou, bawa Shin dan Tama ke duniamu. Lalu, jemput Zeki ke mana aku berada ... Kumohon Kou, lakukan secepat mungkin, dan berhati-hatilah," pintaku, aku mengusap tubuhnya sebelum berbalik mengikuti langkah Haruki.

"My Lord!"

"Ular, aku akan menjelaskan semuanya. Kembalilah dulu ke sini dan berhenti keras kepala!" sahut Uki, yang menimpali panggilan Shin.

"Bibi akan menunggu Izumi, kalian ... Berjalan saja lurus, akar ini terhubung dengan salah satu pohon di sana," ucapnya, kepalanya mengangguk sambil tersenyum menatapku.

Aku melangkah maju tanpa mengucapkan sepatah kata pun ... Saat aku melewati akar, embusan angin langsung terasa menyentuh kulit. Aku terpaku, menatap banyak sekali tenda-tenda dari kain yang dibangun di sekitar kami. Kakiku terus melangkah dan terus melangkah melewati tenda-tenda pemukiman itu, kondisi tenda terasa sangat sepi ... Mungkin karena mereka masih lelap oleh buaian malam.

Aku meremas kedua tangan, dengan terus berjalan melewati obor-obor yang menyala. Aku melangkah, mengikuti arahan Uki di kepala ... Hingga berhenti, di sebuah tenda dengan suara nyanyian perempuan bercampur tangisan bayi di baliknya. "Sachi? Kak Haruki?" Langkahku berhenti oleh suara laki-laki yang mengetuk telinga.

Ryuzaki melangkah mendekati kami berdua, "bagaimana kalian?"

"Di mana Huri?" Aku balas bertanya kepadanya.

"Dia di dalam, sudah beberapa hari di-"

Aku berjalan masuk sebelum Ryuzaki menyelesaikan kata-katanya. Aku menggigit kuat bibirku sendiri, saat melihatnya menangis kuat di gendongan seorang perempuan. "Berikan dia kepadaku!" pintaku sambil mengangkat kedua tangan ke arah mereka.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang