Aku duduk dengan menatap Lux, yang duduk termenung di atas kepala Kou. Sesekali, aku akan melemparkan pandangan pada Ebe yang masih berbicara dengan Kakaknya di bibir pantai. Aku menarik napas yang sangat dalam, sambil punggungku bergerak semakin terbenam untuk bersandar di tubuh Kou menunggu kedatangan Ebe.
“Ibu!”
Aku tertegun sejenak, sebelum akhirnya berdiri untuk mencari suara yang tak henti berteriak memanggil. “Takumi, Huri, Ihsan!” ikut terdengar suara Bibi yang menimpali panggilan itu.
“Ibu … Ibu!” Langkah kakiku bergerak tanpa sadar, ketika suara tangisan Huri yang berteriak memanggilku tak kunjung berhenti terdengar.
“Ibu, jangan pergi!” tangis Huri kembali, sambil mengangkat sebelah tangannya ke arahku.
Baik dia, Ihsan, Takumi, berusaha kuat untuk melepaskan akar yang melilit tubuh mereka. “Ibu!” tangisannya yang kian menguat dari sebelumnya, membuatku menggigit kuat bibirku sendiri yang gemetar.
Kutarik napas sedalam mungkin, “lepaskan mereka, Bibi!” pintaku, dengan melangkah semakin mendekati mereka.
Aku duduk berjongkok di hadapan mereka, setelah Bibi melakukan apa yang aku pinta, “Ihsan, Huri,” ucapku sambil mengusap wajah Huri yang penuh oleh air mata.
“Ibu harus pergi, untuk mencari rumah baru untuk kita tinggali,” ucapku berbohong kepada mereka.
“Kita punya Istana milik Ayah, jadi Ibu jangan pergi!”
Mataku tertunduk sambil kugigit kembali bibirku setelah mendengar apa yang Huri katakan. “Kita tidak memiliki Istana. Kita tidak bisa kembali pada Ayah kalian … Jangan sebut-sebut Istana ataupun Ayah kalian lagi di depan Ibu!” pintaku sembari mengangkat lagi wajah menatapi mereka.
“Ihsan, Huri,” panggilku yang meraih tangan mereka berdua lalu menjadikannya satu di genggaman kedua tanganku, “tetaplah di sini bersama Bibi Amanda, dan juga Nenek. Nanti, Ibu akan membawa Paman Tsubaru datang ke sini dan Ibu berharap … Kalian bisa belajar dengan baik, semua yang dia ajarkan.”
“Ibu akan kembali disaat kalian sudah tumbuh besar dan juga kuat. Ibu akan mengajak kalian ke mana pun Ibu pergi … Kalau kalian berhasil melakukannya. Jadi, dengarkanlah permohonan Ibu ini dan mengertilah!” sambungku sambil meletakkan kedua tangan mereka yang aku genggam ke keningku.
“Ibu tidak ingin meninggalkan kalian, tapi Ibu harus melakukannya. Kalian harus saling menjaga satu sama lain … Ibu pasti akan kembali, pasti,” isakku, mataku yang sudah basah itu, tidak sanggup untuk menatap mereka secara langsung.
“Ibu, Ihsan akan menjaga Huri. Ibu jangan menangis lagi!”
Aku meraih tangannya yang menyentuh pipiku. Membawa tangan tersebut mendekati bibirku lalu mengecupnya, “Putraku,” bisikku lemah diikuti air mataku yang kian deras mengalir.
“Huri tidak akan menangis lagi. Jadi Ibu … Ibu harus cepat pulang!” Kepalaku mengangguk, setelah mendengar ucapan Huri yang bercampur tangisan.
Wajahku baru terangkat, setelah aku sedikit beranjak untuk memeluk mereka berdua, “anak-anakku,” ucapku lemah, sambil mencium pipi mereka berdua secara bergantian, “jadilah anak yang baik selama Ibu pergi! Ibu menyayangi kalian. Ibu sangat, sangat, menyayangi kalian berdua,” sambungku dengan semakin menguatkan pelukanku pada mereka.
___________.
Aku termenung, menatap langit kosong yang ada di depan kami. Angin yang berembus melewati, membuat tangisan dari Ebe yang duduk di belakangku kian terdengar. “Aku pun sedih karena meninggalkan mereka, Ebe. Namun kau harus segera menghapus tangisanmu sebelum kita sampai di tujuan,” ucapku sambil tertunduk mengusapi leher Kou.
“Takumi mengatakan, bahwa dia akan berhenti nakal. Aku tidak tega mendengarkannya mengatakan hal itu,” sahut Ebe di belakangku.
“Apa kau menyesali keputusanmu? Kita masih tidak terlalu jauh dari Pulau tadi … Aku bisa mengantarmu kembali kalau kau mau,” jawabku, dengan lagi-lagi melemparkan tatapan ke depan.
Isakan yang terdengar di belakangku terhenti, “tidak,” tutur Ebe singkat menimpali perkataanku, “saat aku mengatakan, aku pergi untuk membantu Bibinya … Dia justru bersemangat dan mengatakan, bahwa dia akan menjaga Ihsan dan juga Huri. Kata-katanya membuatku bangga,” ungkapnya yang kembali melanjutkan ucapannya.
Bibirku tersenyum sesaat Ebe menyelesaikan kata-katanya, “itu berarti kau berhasil membuatnya tumbuh menjadi anak yang baik.”
“Aku gugup sekali, Ebe. Ini kali pertamaku melakukan perjalanan tanpa saudara-saudaraku yang menemani. Biasanya, mereka yang akan memasang badan mereka, terutama Kakakku Izumi, sebagai perisai yang melindungiku-”
“Tapi itu bukanlah masalah,” sambungku, melanjutkan kembali perkataan yang sempat terhenti, “mereka semua akan baik-baik saja karena mereka laki-laki. Mereka akan baik-baik saja,” ungkapku lemah sambil mengusap wajahku sendiri.
Aku terdiam sejenak, sebelum, “aku kesal sekali dengan mereka semua! Aku tidak akan peduli lagi pada hidup mereka. Tidak akan!” teriakku memecah keheningan di antara kami berdua.
“Kau Bajingan Sialan, Zeki! Aku tidak akan pernah memaafkanmu!” sambungku berteriak hingga hampir membuat suaraku menghilang.
Aku membungkuk dengan menempelkan kepalaku di leher Kou, “kau memintaku untuk pergi … Apa kau sekarang sudah bahagia karena aku telah mengabulkannya? Rasanya sakit sekali,” tangisku dengan tangan memeluk leher hewan kesayanganku itu, “kau yang menarikku ke sini, tapi kau juga yang melemparku. Aku tidak akan memaafkanmu … Sial! Air mataku tidak mau berhenti memikirkannya,” isakku sambil memperkuat rangkulanku pada leher Kou.
_____________.
Entah, sudah berapa hari semenjak kami terbang bersama Kou meninggalkan Pulau. Aku hanya bisa berterima kasih pada Kakek, yang telah memberikan kami banyak sekali buah untuk bekal perjalanan kami. “Kou, apa masih jauh?” tanyaku sambil mengusap pelan lehernya.
Kou menoleh ke arahku dengan kedua sayapnya yang terus mengepak, “tidak terlalu jauh, My Lord. Kita hampir sampai,” sahutnya sembari membuang lagi wajahnya ke depan.
“Ebe, Lux, kita hampir sampai. Jadi bersiap-siaplah!” pungkasku dengan melirik pada Lux yang duduk di atas tas yang ada di depanku.
“Sachi, ke mana kau ingin membawa kami pergi?” sahut Ebe, disaat wajahnya muncul di sampingku.
“Menemui Nenek Sabra. Aku membutuhkan bantuannya,” ungkapku balas meliriknya.
“Nenek Sabra?”
“Apa yang akan kita lakukan di sana? Karena jujur saja, aku kurang menyukai mereka, disaat mereka meminta kalian untuk memakan hewan menjijikan itu,” gerutu Lux menimpali gumaman Ebe.
Aku menghela napas dengan kembali menunduk menatapinya, “aku ingin membuat pasukanku sendiri, Lux. Aku membutuhkan bantuan mereka untuk mewujudkannya … Karena Nenek Sabra bisa melihat masa depan, aku yakin dia mungkin sudah mengetahui maksudku sebelum kita sampai ke sana.”
“Aku mengajakmu, karena aku telah berjanji agar kau dapat menjadikanku alat yang bisa kau gunakan untuk membalas semua dendammu pada Kaisar. Jika kau merasa terpaksa untuk mengikutiku … Aku akan memberimu kebebasan untuk pergi ke mana pun yang kau inginkan. Kalau kau ingin kembali ke Sora untuk menemui Kakakku pun, aku tidak akan melarangmu.”
“Namun di saat kau melakukannya, aku akan menyembunyikan mereka yang ada di Pulau ke sebuah tempat yang tak akan bisa kalian datangi. Jika kau memberikan kabar mengenai mereka pada Kakakku ataupun Zeki hingga mereka mengetahui di mana letak keberadaan Pulau tersebut … Aku bersumpah, akan membuatmu menghilang dari Dunia Ini. Dan itu artinya, ucapkan selamat tinggal pada Bangsa Peri yang sudah tak bersisa-”
“Kenapa kau melakukan ini padaku, Sachi?” sergahnya memotong perkataanku.
“Karena aku tahu kau mengagumi Kakakku, dan kau mungkin memiliki pikiran untuk melakukannya. Aku tidak perlu untuk menjelaskannya, karena kau pasti bisa merasakannya sendiri … Apa yang aku katakan ini, serius atau bukan, Lux!” tukasku yang langsung membuatnya seketika terdiam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...