Aku duduk dengan punggung yang bersandar di sebuah pohon. Wajahku yang sebelumnya terangkat menatapi langit malam, bergerak turun menatapi sosok Zeki yang berjalan semakin mendekat. “Sachi mengkhawatirkan keadaanmu. Dia memintaku untuk berbicara denganmu,” ucapnya, setelah dia duduk bersandar di pohon lain yang tak terlalu jauh.
“Apa kau yakin, tidak akan menyesali keputusan ini?” Dia kembali bertanya, dengan lirikan matanya yang mengikuti.
“Bagaimana dengan ketiga Kakakku?”
“Haruki dan Izumi … Mereka pergi untuk memenuhi syarat pernikahanmu. Sedang Sachi, dia pergi menemui kedua Bibi dan sepupunya. Kau masih belum menjawab pertanyaanku … Kau tahu pasti, bukan? Bagaimana, aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak membuat Kakakmu itu khawatir-”
Aku tersenyum kecil, sebelum membuang helaan napas oleh perkataannya, “katakan kepadanya, aku baik-baik saja!"
“Aku hanya mengingat, salah satu kehidupan yang aku jalani … Kau pasti bahagia sekali, karena telah berhasil menikahinya. Zeki!” panggilku, hingga dia menoleh membalas tatapanku kepadanya, “kau yang paling tahu, bagaimana sakitnya mencintai Kakakku. Tapi kenapa kau masih ingin mempertahankannya? Maksudku, kau bisa mencari perempuan lain setelah menjalani kehidupan selanjutnya.”
“Karena hanya dia yang bisa membuatku bersikap layaknya manusia biasa. Aku mengerti apa itu pertemanan, aku mengerti rasanya ingin melindungi seseorang yang berharga … Itu semua berkatnya. Aku tidak mencintai Takoka Sachi, tapi aku mencintai jiwa yang ada di dalam tubuhnya.”
“Aku tahu dan aku sadar, bahwasanya, jatuh cinta kepadanya hanya akan membuat lukaku bertambah. Aku tidak bisa tenang, di saat banyak sekali orang yang ingin merebutnya dariku … Aku tahu hal itu dengan sangat pasti,” ucapnya terhenti, diikuti helaan napas berat yang ia keluarkan, “tapi aku sudah tidak bisa lagi melirik perempuan lain sekarang. Aku tahu aku lelah, tapi tiap kali dia tersenyum kepadaku, semua kelelahan itu sirna.”
Zeki beranjak dengan menjatuhkan lirikannya kepadaku, “kau akan mengerti dengan apa yang aku katakan ini nanti, setelah kau menemukan seseorang yang membuatmu malas untuk menjalani sebuah hubungan yang baru. Sepertinya, ada seseorang yang ingin berbicara denganmu. Aku akan pergi menemui Istriku dan mengatakan, bahwa adiknya baik-baik saja sekarang,” ucapnya sambil melangkah berlalu, melewati sosok perempuan yang berjalan mendekat.
“Jelaskan kepadaku! Pernikahan? Apa yang Ayahku katakan itu benar?” tanya Sarnai, sesaat dia sudah menghentikan langkahnya di depanku.
Aku masih terdiam, menatapi kedua bola matanya yang terlihat bersinar lebih terang di bawah sinar rembulan. “Itu benar. Pernikahan kita dibicarakan, di saat kau bertugas mengurus kuda Kakek, Ayah dan Pamanmu-”
“Apa yang kau pikirkan?!” bentakannya, membuat kata-kataku terhenti, “baru kemarin kau melamar Tuya. Bahkan, kabar bahwa kau ingin melamarnya sudah terdengar di setiap telinga penduduk desa. Tapi kenapa kau justru menyetujui penikahan ini?!”
Aku menghela napas dalam, sebelum beranjak mendekatinya, “entahlah, aku pun tidak tahu, kenapa aku justru menyetujui pernikahan ini. Kau arogan, melakukan sesuatu sesuai kehendakmu sendiri … Aku tahu, akan merepotkan memiliki pasangan sepertimu,” sahutku, yang membuat bibirnya terkatup rapat.
“Jika kau tidak menginginkan pernikahan ini, bukankah lebih baik kalau kau saja yang menolaknya, Sarnai-”
“Aku tidak bisa melakukannya,” jawabnya, sesaat ucapanku berhenti, “Ayah dan Ibuku terlihat bahagia, karena ada seseorang yang berniat untuk menikahi Putrinya. Karena aku pandai bertarung, dan aku juga seorang Putri dari seseorang yang kelak akan memimpin suku ini … Tidak ada laki-laki yang bersikap tulus mendekatiku. Karena mengkhawatirkanku juga, Chimeg menunda pernikahannya sampai sekarang.”
“Yang ingin aku katakan hanyalah, jangan mempermainkan keluargaku!”
“Kalau aku mempermainkan keluargamu, itu berarti aku juga mempermainkan keluargaku,” ungkapku menimpali perkataannya. Aku kembali menghela napas, dengan tangan kiri yang terangkat ke samping, “aku menghormati keluarga kita, dan aku pun berharap jika kau bisa menghormati setiap keputusan mereka.”
Kedua mata Sarnai membelalak, dia yang hendak berjalan mundur itu, segera kutahan dengan genggamanku yang erat di pergelangan tangannya. “Aku tidak akan menyakitimu. Jadi tenanglah!” sambungku kembali padanya.“Siapa kau sebenarnya?”tanyanya, suaranya yang gemetar itu, berusaha ia tahan, ketika lirikannya terjatuh ke batang pohon yang baru saja aku tumbuhkan di dekatnya.
“Aku memberitahukanmu rahasiaku ini, karena kita akan segera menikah,” jawabku, sambil menggerakan jari telunjuk ke batang pohon tadi, “aku setengah manusia, dan aku bisa menumbuhkan atau bahkan mengendalikan setiap bagian dari tumbuhan,” ungkapku lagi, seraya meraih gulungan akar berbentuk cincin yang menempel di pohon tadi.
Mataku tertunduk, menatap lama telapak tangannya yang penuh oleh bekas luka, “aku akan sangat beruntung, jika kau menerima lamaran setengah manusia sepertiku ini. Cincin akar ini, hanyalah cincin sementara sebagai bentuk keseriusanku menikahimu … Aku, akan menggantikan cincin yang lebih baik, disaat pernikahan kita nanti,” lanjutku kembali sembari memasangkan cincin akar buatanku itu ke jarinya.
Aku sedikit membungkuk, dengan mengangkat lalu mencium tangannya, “Sarnai, apa kau bersedia menerima lamaran dariku? Terlepas dari bagaimana kondisiku sekarang,” tukasku, yang kembali menatapnya.
Dia menarik tangannya dariku, “ja-jangan menanyakan sesuatu yang sudah kau ketahui jawabannya. Ayah … Maksudku, aku datang ke sini, karena Ayah memintamu untuk menemuinya,” ucapnya tertunduk dengan kedua tangan bersembunyi di balik punggungnya.
Sarnai menarik napas dengan sangat dalam, sebelum mengembuskannya kembali dengan kuat, “aku akan mengantarmu menemuinya. Jadi, ikuti aku!” sambungnya lagi, sambil berbalik lalu berjalan mendahului.
Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Rambut hitamnya yang dikuncir itu, sesekali bergoyang ke samping tertiup angin. Bekas luka di tangannya … Latihan seperti apa yang sudah dia lakukan selama ini? Walaupun di keluarga kami, ada satu perempuan yang sama gilanya, “Suku Azayaka, termasuk suku yang dapat dikatakan aman dari bahaya. Kenapa kau harus belajar berpedang dan juga memanah?” pertanyaan itu terlontar tanpa sadar.
“Aku hanya tidak suka dipandang rendah oleh seseorang. Aku melakukan semuanya … Itu murni keinginanku sendiri. Aku tidak ingin, seseorang kehilangan nyawanya hanya karena ingin melindungiku. Dan juga, tidak ada salahnya dengan menjadi kuat, kan?”
Langkahku turut berhenti, mengikutinya yang tiba-tiba terdiam dengan kedua mata yang menerawang ke depan. Aku mengikuti lirikannya tersebut, yang ternyata mengarah ke arah beberapa pasang mata yang bergerak mendekat. “Nak Ryu, Sarnai,” ucap salah seorang perempuan paruh baya yang berjalan di tengah-tengah mereka.
“Apa kabar itu benar? Kalian berdua, akan segera menikah?” sambungnya kembali, kali ini dengan mata yang ia jatuhkan kepada Tuya yang juga berdiri tertunduk bersama-sama mereka.
Aku tertunduk lalu menyentuh pelan punggung Sarnai. Sarnai yang sedikit terkejut itu, melepaskan gigitan di bibirnya sendiri, sebelum menoleh menatapku. “Itu benar. Pernikahan kami akan dilangsungkan setelah Ayahku, Raja Takaoka Kudou, datang ke sini untuk secara resmi melamarnya.”
“Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, kami berdua izin untuk meninggalkan pembicaraan. Paman, maksudku, Calon Ayah Mertuaku, sudah menunggu kedatangan kami.”
“Sarnai!” Kupanggil dia sekali lagi. Langkah kakinya baru bergerak kembali melewati mereka semua, setelah bibirku tersenyum dengan meraih erat tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...