Chapter DCCLXXXVII

1.7K 427 53
                                    

"Bagaimana keadaan anak-anak? Apa mereka baik-baik saja?" ucapannya yang terdengar dari balik pintu membuatku yang hendak melangkah meninggalkan pintu tersebut terhenti, "apa kau ingat? Malam disaat kau menghilang, kau sempat mengatakan ... Sejak kau membawaku ke sini, aku sudah tidak memiliki lagi pilihan."

"Maaf, karena apa yang terjadi kepadamu ... Semuanya bentuk dari keegoisanku sendiri. Pergilah, seharusnya aku tidak mengucapkan kata-kata tersebut tempo lalu ... Semuanya yang ada di dalam pikiranku menggelap, saat aku tahu bahwa kau pergi membawa mereka berdua."

"Aku tidak ingin pulang ke Yadgar, aku ingin mencari kalian ... Tapi tugasku sebagai Raja tidak memperbolehkannya. Aku kembali ke Yadgar, dengan kekhawatiran yang tak kunjung mereda memikirkan kalian."

"Saat ditengah-tengah perjalanan, seorang perempuan menghalangi jalan kami. Di mataku, dia yang ada disana ketika itu adalah kau. Aku pikir bahwa kau kembali saat itu ... Betapa bodohnya aku, merasa sangat bahagia oleh sesuatu yang tidak benar."

"Ketika itu, sebuah akar yang entah muncul dari mana ... Melilit kaki. Ketika itu juga, aku baru tersadar bahwa yang ada di sampingku selama ini bukanlah kau. Mereka memenjarakanku, setelah mungkin mereka tersadar bahwa mereka sudah tidak bisa lagi mengendalikanku ... Tapi perempuan itu," ucapnya yang tiba-tiba berhenti.

"Dia selalu mendatangi penjara, tempatku dikurung. Dia membuatku tidak bisa melihat, dia membuatku tidak bisa mendengar, dia membakar tubuhku dan mencambukku tanpa ampun ... Ketika aku menolak keberadaannya. Dia tidak berhenti menggodaku, berkali-kali dia mengatakan kalau aku harus bertanggung jawab ... Dia bahkan memberikanku ramuan yang membuatku tidak bisa mengendalikan diri."

"Maaf. Maaf karena telah gagal menjadi suami dan ayah untuk kalian," sambungnya dengan suara gemetar kali ini.

Aku bergerak duduk sambil menyandarkan punggung ke pintu, setelah dia benar-benar menghentikan ucapannya, "sekitar satu bulan sejak aku pergi, aku baru sadar bahwa aku sedang hamil. Saat itu, aku ingin sekali pergi ke Yadgar karena Leshy yang aku kirim untuk membawakan surat untukmu tak kunjung kembali."

"Tapi aku tidak bisa melakukan semua itu, karena dua kehidupan yang ada di rahimku punya hak untuk hidup. Apa kau tahu? Bibi meninggal karena berusaha untuk menolong kita," ucapku yang tak kalah gemetar, "dia membantuku untuk mencari tahu apa yang terjadi kepadamu ... Aku telah kehilangan seseorang yang sudah seperti Ibuku sendiri," isakku sambil menutup seluruh wajah menggunakan tangan.

Segera kuusap kedua mataku tadi, lalu kutarik napas yang sangat dalam sambil melemparkan tatapan pada ranjang yang ditiduri anak-anak, "selang beberapa bulan, aku melahirkan dua putra sekaligus. Apa kau tahu lagi, Zeki? Aku sempat membenci mereka yang baru saja aku lahirkan ... Saat aku mengetahui, suamiku mengangkat perempuan lain sebagai ratunya, dan sedang bahagia menunggu kelahiran anak mereka."

"Aku sangatlah hancur saat itu. Bagaimana nasib keluargaku? Apa kami pantas menyandang nama Bechir di belakang nama kami? Semua hal itu terus terlintas di kepalaku dan membuatku semakin jatuh ... Jika saja mereka tidak menolongku, jika saja mereka tidak mendukungku, tentu aku tidak akan berada di sini seperti sekarang."

Aku menarik napas yang sangat dalam, mengembuskannya sambil beranjak membuka pintu. Dia yang duduk di samping itu segera menoleh, menatapku dengan mata sendunya, "masuklah!" perintahku sembari berjalan mendekati ranjang lalu mendudukinya.

Mataku berpaling pada Sema dan juga Anka yang lelap tertidur di dekat Huri, "kakaknya kuberi nama Sema, sedang adiknya kuberi nama Anka," ucapku sambil mengangkat tangan Huri yang menindih Sema.

Aku kembali menoleh padanya setelah menurunkan kembali tangan Huri ke atas perutnya, "apa yang kau lakukan di sana? Apa kau tidak ingin melihat anak-anakmu?" tanyaku yang membuat matanya segera berpaling menatapku.

Zeki balik memandang mereka berempat yang tertidur pulas, "saat terbangun, aku segera berlari mencarimu. Aku belum sempat membersihkan tubuh ... Tubuhku terlalu kotor untuk mendekati mereka."

Aku menghela napas, menatapnya yang sulit berpaling dari anak-anak, "tidak apa-apa. Asalkan kau tidak menyentuh mereka, mereka akan baik-baik saja," tuturku sambil menepuk-nepuk lembut ranjang.

Dia mendengarkan ucapanku, dengan duduk tepat di depanku. "Lagi-lagi, aku tidak menemanimu saat kau ... Aku bahkan tidak tahu yang mana Sema dan yang mana Anka. Suami dan ayah macam apa aku ini," gumamnya sambil mencengkeram seprai di dekatnya.

Mata yang sebelumnya tak bisa lepas dari anak-anak, segera beralih kepadaku sesaat kutepuk pipinya dengan sedikit kuat, "semuanya mungkin tidak akan terjadi kalau aku tidak membawa mereka secara tiba-tiba. Apa yang terjadi kepadamu juga ... Itu bukanlah kesalahanmu! Jika kau ingin semuanya seperti dulu-"

"Perkenalkan mereka kepada rakyatmu sebagai Pangeran dan Putri Yadgar. Itu hak mereka dan mereka harus mendapatkannya."

Zeki meraih tanganku yang masih menyentuh pipinya, lalu mengecup telapak tanganku itu dalam beberapa saat, "tanpa kau memintanya, aku sudah memikirkan semua hal itu sejak lama."

Dia mengangkat wajahnya, menatapku sangat lama sebelum akhirnya berlutut di hadapan dengan kepala yang bersandar di pahaku, "maaf," kata-kata singkat bercampur gemetar ia keluarkan, "aku pasti telah membuatmu sangat terluka. Maafkan aku ... Aku benar-benar menyesal," sambungnya lagi.

Kuletakkan telapak tanganku mengusap kepalanya, begitu lama aku memandanginya tanpa mengucapkan apa-apa, "aku memang terluka, tapi semuanya bukanlah murni kesalahanmu. Aku memang sempat menyerah padamu agar bisa pulih, tapi aku tetap kembali seperti sekarang."

"Anak-anak sangatlah mengagumi Ayahnya, bahkan siang-malam mereka tak berhenti untuk mempelajari Bahasa Yadgar dan Sora agar dapat menjadi Pangeran dan Putri yang andal, serta agar mendapatkan pujian dari Ayahnya jika nanti mereka bertemu lagi denganmu. Setelah mendengar apa yang aku ucapkan tadi, jangan tunjukkan kelemahanmu yang seperti ini pada mereka."

"Ze-"

Belum sempat aku memanggil namanya, tangisan kuat dari salah satu kembar membuatku segera bergerak meraihnya. Kuangkat Sema lalu menurunkannya kembali sambil kusibak kain yang menyelimuti tubuhnya, "bagaimana ini?" gumamku setelah melihat kotoran menempel di bawah bokongnya.

"Ada apa?"

Aku menoleh pada Zeki yang terlihat gusar menatapi kami, "aku ke sini karena ditarik paksa Kakakku. Aku tidak membawa pakaian mereka, sedang kain yang aku temukan di dalam lemari sudah habis. Bawakan aku air hangat, kain bersih atau sebisa mungkin pakaian untuk mereka kenakan! Bawakan juga makanan untuk Huri dan Ihsan, karena mereka pasti akan langsung mencari makanan selepas bangun."

"Tunggu apa lagi, cepatlah! Saat satu di antara mereka menangis, yang lainnya akan-"

Aku menggigit kuat bibir tatkala Anka turut menangis kuat menyahuti tangisan Sema, "Zeki!" panggilku dengan melirik padanya, "jika kau tidak bisa menjadi suami siaga untuk membantuku. Aku akan menghabisi nyawamu dan mencari suami baru ... Kau paham maksudku?"

Zeki mengangkat tangan kanannya, "baiklah. Aku akan mendapatkan itu semua. Aku akan mendapatkan itu semua secepat mungkin," ujarnya sambil berbalik, lalu pergi meninggalkan kamar dan meninggalkan kami.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang