Chapter DCCXIII

1.8K 402 19
                                    

“Apa yang sedang kalian lakukan?”

Aku segera berbalik, mengikuti Ryuzaki ke arah suara laki-laki yang terdengar dari arah berlakang, “Kakak? Apa yang Kakak lakukan di sini?” tanya Ryuzaki, kepada Izumi yang berjalan mendekati kami berdua.

“Haruki memintaku untuk mengawasi kalian berdua. Apa yang ingin kalian lakukan di sini?” Izumi balas bertanya, sambil menatapku dan Ryuzaki secara seksama.

Kutoleh Ryuzaki yang masih terdiam dengan menggaruk kepalanya sendiri, “aku,” ucapnya terhenti ragu, sambil garukan yang ia lakukan di kepalanya beralih ke samping leher, “aku meminta Sachi untuk menolong seseorang-”

“Seseorang? Siapa?” Izumi berjalan maju, yang membuat Ryuzaki semakin tersudut di belakangku.

Kepalaku menggeleng dengan sangat kuat, tatkala sepasang mata Kakakku itu justru beralih cepat kepadaku. “Aku pun tidak tahu, siapa yang ingin ditolong,” sahutku, berusaha menyakinkan Izumi yang menatapku dengan kedua matanya yang menyipit.

“My Lord!”

Mataku dengan cepat mencari arah seruan Uki yang masuk ke kepala. Kedua bola mataku itu bergerak pelan, mengikuti sosoknya yang terbang lalu hinggap di atas kepalanya Izumi. “Ryu? Apa kau tidak ingin menjawab pertanyaanku?” ucapan Izumi yang tiba-tiba terdengar, semakin membuat Ryuzaki tak bisa berkutik di dekatku.

Dia menghela napas lalu berbalik mendekati pohon besar itu kembali, “aku akan menjelaskannya nanti. Setelah kita sampai ke sana,” ungkap Ryuzaki, sambil mengangkat kedua tangannya ke atas secara perlahan.

Pohon yang ada di depan kami itu, sedikit demi sedikit terbelah, dengan seberkas sinar yang juga turut keluar darinya. Ryuzaki berjalan maju, melewati lubang seperti mulut terowongan yang terbuat dari batang pohon yang terbelah tadi. “Masuklah!” pintanya terdengar, yang baik membuatku atau Izumi, saling menatap heran.

Izumi mengangkat tangannya sambil berjalan melewatiku, “berjalanlah di belakangku!” perintah Kakakku itu, saat dia semakin dekat dengan terowongan yang dibuat Ryuzaki sebelumnya.

Aku mengikuti perintahnya. Kedua kakiku, melangkah mengikuti jejaknya, seperti yang ia perintahkan. Wajahku terangkat, saat suara-suara ringkik kuda saling menyahut ketika aku sendiri telah berjalan melewati jalan yang dibuat Ryuzaki. “Di mana kita?” tanyaku, sambil menatap beberapa ekor kuda yang diikat di beberapa pohon yang mengelilingi kami.

Kepalaku seketika menoleh, sesaat Ryuzaki mengangkat tangannya, gerbang di pohon yang ia buat itu kembali menutup. “Suku Azayaka,” jawabnya singkat, sembari berjalan meninggalkan kami.

Aku dan Izumi kembali saling tatap, sebelum kami berdua memutuskan untuk mengikuti jejaknya. Dia, mengajak kami berdua, untuk berjalan menelusuri rimbunnya hutan dengan beberapa pohon tinggi yang menjulang ke atas. “Ryu, apakah ini hutan yang dahulu pernah kami singgahi?” sahutan Izumi yang memecah keheningan, membuat Ryuzaki yang berjalan membelakangi kami itu menoleh.

“Kau menyadarinya, Kak?” Ryuzaki balas menyahut, dengan melemparkan pandangannya itu lagi ke depan.

“Aku masih mengingat jelas tempat ini. Kau mengatakan Suku Azayaka, bukan? Apakah mereka masih berada di hutan ini? Maksudku, bukankah mereka sudah dipinta untuk datang saja ke Sora,” pertanyaan demi pertanyaan yang Izumi lontarkan, membuat Ryuzaki menghentikan langkahnya.

“Mereka menolak untuk membebani Sora. Jadi, baik aku dan para Wakil Kapten yang melayani kalian, memilih untuk tinggal di sini sementara, hingga mereka berubah pikiran. Ini juga merupakan, perintah langsung Kak Haruki kepada mereka,” ungkap Ryuzaki, dia mengangkat wajahnya ke atas, seperti sedang mencari sesuatu yang ada di sekitar kami.

“Apa yang kau maksudkan itu, Tsubaru dan juga Tatsuya?” Kepala Ryuzaki mengangguk, menjawab pertanyaan yang aku berikan.

Ryuzaki kembali melanjutkan langkahnya, mendekati suara-suara samar yang kian lama kami berjalan, kian jelas pula suara-suara itu memasuki telinga. Kami bertiga dengan serempak menghentikan langkah, ketika puluhan anak panah diarahkan oleh pemuda-pemuda yang berdiri di depan kami. Para Pemuda itu, menurunkan kembali anak panah mereka, setelah tatapan satu per satu dari mereka itu jatuh ke arah Kakakku, Izumi.

Mereka semua hanya terdiam, menatapi kami bertiga yang berjalan begitu saja melewati mereka semua. “Mereka semua menjadi lebih sangat waspada, sejak Naga Kaisar menyerang,” ungkap Ryuzaki, sambil terus berjalan mendekati tenda-tenda kain, yang dibangun sembarang arah di bawah pepohonan yang ada.

Kami bertiga lanjut melangkah, tanpa menghiraukan pandangan-pandangan para perempuan yang ada di sekitar tenda-tenda itu. “Kita ingin ke mana, Ryu?” Aku mencoba untuk membuka suara, ketika Ryuzaki sama sekali tak menghentikan kakinya.

Dia baru berhenti melangkah, di depan seorang gadis muda yang tengah duduk sendirian. Gadis tersebut, duduk di atas selembar kain, dengan tangannya yang terus mengelap buah-buahan di dalam keranjang menggunakan secarik kain kecil di genggamannya. Saat Ryuzaki duduk di dekatnya, gadis muda itu seperti tak menyadari keberadaan Ryuzaki, seperti … Ryuzaki tidak ada di dekatnya.

“Bagaimana keadaanmu?” Suara yang Ryuzaki keluarkan, membuat tubuh gadis itu tersentak hingga buah yang ada di tangannya, seketika terjatuh. Wajah Gadis tersebut, bergerak ke kanan dan ke kiri, berusaha untuk mencari … Siapa yang berbicara tadi.

“Aku di sini!”

Gadis itu menoleh, diikuti tangannya yang bergerak meraba-raba udara kosong di hadapannya, “Tuan Ryuzaki? Tuan? Apa itu Tuan?” ucapnya, dengan tetap menggerakan kedua telapak tangannya, berusaha untuk mencari keberadaan Ryuzaki yang ada di dekatnya.

“Benar, ini aku, Ryuzaki. Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku ingin membantu mereka. Jadi, mereka memintaku untuk mengeringkan buah-buahan yang telah dicuci,” jawabnya lembut, dengan senyum semringah yang ia berikan.

“Aku, mengajak kedua kakakku ke sini-”

“Ka-Kakak? Ya-Yang Mulia? Pa-Pangeran Sora?” tukasnya gelagapan, setelah Ryuzaki menyelesaikan perkataannya.

Ryuzaki menoleh, hingga membuat Izumi juga turut menoleh ke arahku. Kutarik napas sedalam mungkin, sebelum kedua kakiku itu melangkah lalu duduk di dekat mereka berdua. Kulirik Ryuzaki dengan cukup lama, “aku, kakak perempuan Ryuzaki. Kau bisa memanggilku, Sachi,” ucapku, diikuti raut wajah dari gadis tersebut yang terlihat sangat terkejut mendengar suaraku.

“Pu-Putri?” Suaranya kembali gelagapan, dengan wajah yang bergerak untuk mencari keberadaanku.

Kuangkat salah satu telapak tanganku, lalu kugerakan telapak tanganku tadi beberapa kali di depan matanya. Dia sama sekali tak menggubris tanganku itu, seakan-akan tanganku tadi tidak berada di hadapannya. “Namamu? Apa aku boleh mengetahui namamu?” ungkapku sambil meraih lalu menggenggam salah satu tangannya.

“Tuya,” jawabnya singkat, diikuti kedua matanya yang berwarna abu-abu gelap itu menerawang kosong ke depan.

“Apakah dia?” Aku balas bertanya kepada Ryuzaki yang masih duduk terdiam di sampingku.

“Baiklah. Uki!” sambungku, ketika pandangan mataku itu kembali beralih ke gadis bernama Tuya yang duduk di depanku itu, “Tuya, apa kau … Ingin bisa melihat?”

Wajahnya terlihat terkejut saat kata-kataku itu terucap, “aku akan menyembuhkanmu. Membuatmu bisa melihat semua orang yang ada di sekitarmu. Anggukan wajahmu, jika kau mengizinkanku untuk melakukannya,” ucapku lagi, yang kali ini menambah lagi tanganku yang lain untuk menggenggam tangannya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang