Chapter DCCLXXVI

1.4K 393 34
                                    

Tanganku terus bergerak untuk melipat pakaian milik anak-anak yang baru saja diangkat dari jemuran. Kuletakkan pakaian yang telah selesai kulipat ke atas tumpukan baju-baju milik Huri, sembari kulanjutkan pekerjaanku dengan melipat celana panjang milik Ihsan. Seperti biasa, tiap menjelang sore … Anak-anak akan berlatih bersama Paman-paman mereka.

Aku menghentikan apa yang sedang kulakukan, diikuti kepalaku yang tertunduk menahan sakit di perut dan punggung yang tiba-tiba mencuat. Aku terhenyak, tanganku bergerak memegang perut tatkala air tiba-tiba merembes keluar hingga membasahi celana dalam yang tengah kukenakan.

Genggaman tanganku menguat pada celana Ihsan yang belum sempat kulipat, “Lux! Uki!” panggilku pelan saat kepalaku semakin tertunduk menahan sakit yang kian menjadi-jadi.

Aku berusaha untuk memutar tubuh, lalu menyandarkan punggung dengan pelan ke kursi panjang yang aku duduki. Berkali-kali, kutarik napas yang sangat-sangat dalam, “bukankah seharusnya masih beberapa minggu lagi,” gumamku sambil terus berusaha untuk mengatur napas.

Tangan kiriku mencengkeram kuat lengan kursi. Rasa sakit yang bertubi-tubi, membuatku sedikit kesulitan untuk mengatur napas. Kepalaku mendongak, menatapi langit-langit dengan keringat yang tak berhenti mengucur. “Sachi bertahanlah! Uki sedang menuju ke arahmu sekarang! Aku akan segera menemuimu setelah mencari bantuan!” tutur suara Lux yang terngiang di sela-sela rasa sakit.

Aku menarik napas dalam saat mencoba untuk beranjak setelah suara ketukan terdengar berkali-kali mengusik pintu. Ketika aku melangkah untuk membuka pintu, air ketuban yang merembes terasa semakin kuat keluar. Dengan tangan gemetar, kubuka pintu yang ada di hadapanku itu hingga sosok Uki terbang menyelenong masuk ke rumah.

“Sachi!”

Izumi yang terlihat dari kejauhan, berlari mendekatiku dengan Takumi yang turut berlari menyusulnya. “Lux memintaku untuk menemuimu. Apa ter-” Kakakku itu menghentikan ucapannya disaat matanya terjatuh pada lantai kayu yang aku pijak, “Takumi, tetaplah di sini! Kalau Ihsan dan Huri pulang, kau harus menemani mereka!” perintah Izumi sambil berjongkok lalu mengangkatku ke gendongannya.

Izumi membawaku ke kamar yang ada di lantai dua. Dia membaringkanku dengan pelan ke ranjang, lalu mengganjal punggungku dengan bantal, “jangan banyak bergerak! Lux pergi untuk mencari bantuan … Kau akan baik-baik saja!” tukasnya yang beranjak setelah memastikan kenyamananku.

Kusentuh perutku menggunakan kedua tangan, sambil berkali-kali kutarik napas panjang lalu mengembuskannya. Mataku sesekali akan terpejam dikala rasa sakit yang melingkar di bagian bawah perut hingga bokong terasa memuncak. Aku melirih dengan menggerakkan badan ke kanan dan kiri secara bergantian, tanganku mencengkeram kuat bantal sesaat kenangan kami berdua kala aku masih mengandung Huri mencuat.

“Sachi, minum air ini terlebih dahulu! Ini air yang sudah dicampur dengan air mata Uki,” ucapan Izumi membuatku kembali menoleh padanya.

Aku melakukan apa yang ia pinta. Kuteguk air di cangkir yang ia pegang itu, “sudah cukup, nii-chan,” ungkapku, ia meletakkan cangkir tadi di meja yang ada di dekat ranjang lalu kembali berbalik sambil mengusap keringat yang mengalir penuh di seluruh keningku.

Aku meringis, hampir menangis disaat rasa sakit semakin menjadi-jadi setelah meminum air pemberian Izumi. “Sachi?!” Aku menoleh ke arah pintu sesaat suara perempuan memanggil. Amanda menurunkan Miyu di depan pintu, lalu bergegas mendekati ranjang dengan napasnya yang masih bergemuruh, “Izumi, segera siapkan air hangat dan kain bersih! Dan tolong, pinta Takumi untuk menjaga Miyu di bawah!” perintahnya yang membuat Kakakku, Izumi, segera beranjak dari ranjang.

Amanda duduk di atas ranjang. Dia mengangkat dan membuka kedua kakiku dengan sangat perlahan, ketika Izumi berjalan keluar sambil menggendong Miyu. Amanda menyibak rok pada gaun yang kukenakan, lalu melepaskan celana dalam milikku. “Haruki pergi bersama Sabra untuk menjemput Tabib di Suku milik Sabra. Sebentar lagi mereka akan kembali, jadi bertahanlah!”

_______________.

Aku terus meringis, dengan tenaga yang hampir terkuras habis, bahkan untuk membolak-balik tubuh ke kanan dan ke kiri sudah terasa susah untuk dilakukan. “Sakit sekali, Kak,” ucapku lemah diikuti tarikan napas dalam dariku.

Amanda mengusap keringat di leher dan wajahku dengan cemas, “Bertahanlah sebentar lagi, kau pasti bisa melakukannya! Sebenarnya ke mana mereka? Kenapa lama sekali?!” tukasnya sambil melemparkan mata ke arah pintu.

Mataku terpejam saat tarikan napas panjang kulakukan. Berkali-kali kuteguk air ludahku sendiri dikala rasa sakit yang menusuk-nusuk kembali mendera. Aku mengikuti pandangan Amanda yang mengarah ke pintu, sesaat bunyi langkah kaki bergerak mendekat. Mengikuti bunyi langkah tersebut, ikut terdengar suara perempuan yang tengah berbicara.

Sabra muncul dengan menggandeng seorang perempuan tua ke dalam ruangan. Dia berbicara pada perempuan tua tersebut sambil menunjuk ke arahku. Bola mataku bergerak, mengikuti Sabra yang menuntun perempuan tua tadi ke ranjang. Beliau, maksudku perempuan tua itu sedikit memiringkan tubuhnya. Beliau memandang dengan seksama bagian bawah tubuhku, sesaat dia membuka lebar kedua kakiku.

“Belum, masih harus menunggu kata Nenek Abony,” ucap Sabra menimpali perkataan perempuan tua tadi, sambil dia meletakkan sebuah tas dari anyaman ke atas ranjang.

_____________.

Lama, lama aku bergelut dalam rasa sakit yang terus mendera. Setelah cukup lama duduk sambil sesekali mengintip ke bagian intim badanku … Nenek Abony baru beranjak lalu duduk sambil membuka kedua kaki yang tanpa sadar kukatupkan. Aku tidak tahu apa yang sedang Beliau lakukan, tapi dia terlihat bergumam sambil menggosok-gosok pelan perutku ke arah bawah.

“Tarik napas!” perintah Nenek Abony yang akhirnya menggunakan kata-kata yang bisa dipahami.

Kutarik napas yang sangat dalam, seperti yang Beliau perintahkan. “Dorong!” Aku mengejan sekuat tenaga tatkala dia kembali memerintah.

Cengkeraman tanganku pada kain yang mengalasi kasur semakin kuat, disaat aku lagi-lagi mengejan untuk yang kedua kalinya. Aku menggenggam kuat seprai sambil mencoba untuk mengejan yang kesekian kalinya. “Kau pasti bisa, Sachi! Berjuanglah!” ucap Amanda yang gemetar dikala tangannya mengelap keringatku.

Aku meraih tangannya lalu menggenggam kuat tangannya itu. “Jangan menangis!” bentak Nenek Abony sesaat Amanda ikut sesegukan setelah melihat kedua mataku yang telah basah.

Amanda kembali menggerakkan tangannya yang lain untuk mengusap kedua mataku. “Ayo Sachi, kau pasti bisa!” ungkapnya yang berkata dengan terpatah-patah karena tangisan yang ia upayakan untuk tak keluar.

Aku mulai kembali mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Kutarik napas dalam sambil tanganku membalas genggaman tangannya. “Dorong!” sepintas kata dari Nenek Abony membuatku lagi-lagi mengejan.

Kedua mataku membelalak, ketika rasa panas bercampur perih memenuhi area intimku. Mataku terpejam, menahan sakit yang mengerubungi disaat kurasakan sesuatu berukuran lumayan besar … Terasa seperti ditarik paksa untuk keluar dari dalam bagian tubuhku itu.

Mataku yang sudah berkunang-kunang, menatap lama Nenek Ebony yang tengah menggendong seorang bayi yang masih diselimuti bercak-bercak darah. Dia memberikan bayi yang tengah menangis tersebut pada Amanda yang menyambutnya dengan sebuah kain putih.  “Ini bukan saatnya beristirahat! Ambil napasmu kembali! Kita masih harus mengeluarkan adiknya!” tutur Nenek Ebony setelah dia sudah kembali membuka lebar kakiku lagi.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang