Bernice masih terdiam setelah ucapanku kepadanya berhenti. Aku pun, dengan segera menghela napas lalu menjatuhkan kembali tatapan kepada Ratu Alelah yang sejak tadi ternyata sudah bergeming memandangku, “Ratu, apa kau setuju dengan apa yang aku pinta?” tanyaku seraya meraih lalu menggenggam tangannya.
Lama dia tertunduk sebelum wajahnya terangkat lagi menatapku, “aku tidak akan dipanggil Ratu, jika mereka tidak memercayaiku untuk posisi itu. Hidupku, tidak akan berarti, jikalau meninggalkan mereka begitu saja di sini,” ungkapnya diikuti senyum kecil yang terukir di sudut bibirnya.
Aku tahu dia akan mengatakannya. Namun, Ratu Alelah harus menyetujui apa yang aku pinta.
Kali ini, tarikan napas yang aku lakukan, kian dalam dibanding sebelumnya, “Ratu, percayalah pada keputusanku. Semuanya akan baik-baik saja … Aku menjanjikanmu hal tersebut,” ucapku, melanjutkan kembali kata-kata yang sempat terhenti.
Wajahku itu, tak bergerak menatapinya yang masih mengatup rapat bibirnya memandangku. Bibirku tersenyum lebar, lalu kuturunkan keningku hingga menyentuh telapak tangannya, ketika dia menjawab permintaanku itu dengan sebuah anggukan yang memang sangat aku nantikan, “aku tidak akan mengecewakanmu, Ratu,” sambungku pelan, seraya mengangkat lagi wajah untuk yang kesekian kalinya.
Aku beranjak dengan sebelah tangan yang masih menggenggam erat tangan Ratu Alelah, “Uki, bawa Lux ke sini!” perintahku singkat sambil melempar lirikan ke arah Bernice.
“Kenapa kau melakukan hal ini?”
“Kenapa? Kenapa, Ibu justru lebih memilih untuk mendengarkan perkataannya dibanding ucapanku?”
“Apa … Apa setiap keputusanku itu memang tidak berarti di mata Ibu? Apa semua usahaku, untuk melindungi Kerajaan ini … Tidak berarti apa-apa di matamu, Ibu?”
“Bernice, apa yang Ibu lakukan … Itu semua hanya demi Kerajaan kita,” sahut Ratu Alelah, terhadap perkataan Bernice yang secara beruntun ia lontarkan.
“Lalu, apa yang aku lakukan ini bukan untuk Kerajaan kita?!” suara Bernice yang tiba-tiba meninggi, terdengar memenuhi ruangan dalam sekejap.
“Apa kau harus meninggikan suaramu di depan Ibumu sendiri?!” Lirikan Bernice dengan cepat berpindah kepadaku, tatkala suaraku turut meninggi membalas bentakannya.
“Apa kau meragukanku? Apa karena, aku adalah orang asing jadi kau merasa … Aku, tidak pantas untuk menolong kalian semua?” tukasku, dengan jari yang menunjuk diri sendiri.
“Ibu-”
Kata-kataku terhenti. Kepalaku dengan cepat bergerak, mencoba untuk mencari suara anak perempuan yang tiba-tiba saja melintas di telinga, “Huri? Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku, sambil berjalan mendekatinya yang mengintip dari balik dinding.
Dia memelukku, dengan sangat erat tatkala aku sendiri sudah berjongkok di depannya, “kenapa kau bisa berada di sini?” tanyaku sambil beranjak dengan menggendongnya, berjalan mendekati Ratu Alelah.
Huri hanya menatapku, sebelum dia menggeleng lalu membenamkan wajahnya ke pundakku. “Ratu, perkenalkan, dia Putri kami, Huri Bechir,” ungkapku, setelah langkahku berhenti tepat di samping kursi yang diduduki oleh Ratu Alelah.
Saat aku membungkuk, berusaha untuk menurunkan Huri dari gendonganku. Entah kenapa, pelukan yang dilakukan Huri justru kian menguat, seakan tidak ingin jika aku menurunkannya, “Huri?” tukasku, sambil mencoba untuk melirik ke arahnya yang masih enggan mengangkat wajahnya.
“Huri?” Aku memanggil kembali namanya. Kepalanya menggeleng pelan, ketika tanganku bergerak mengusap kepalanya yang masih tak beranjak dari pundakku.
“Huri, itu namamu?” sahutan Ratu Alelah, membuat mataku kembali terjatuh kepadanya.
Senyum merekah di bibir Ratu Alelah, sesaat Huri mengangkat wajah lalu menoleh ke arahnya. “Kau terlihat mirip sekali dengan mereka berdua, bahkan tatapan tajam matamu … Sangatlah mirip sepertinya,” sambung Ratu Alelah, diikuti lirikan matanya yang beralih kepadaku.
“Ratu benar, terlihat mirip seperti Ayahnya,” timpalku sambil menyelipkan ujung rambutnya ke balik telinga.
“Kau tahu, Bernice? Karena aku seorang Ibu, jadi aku paham benar dengan apa yang dirasakan Ibumu. Ikutlah bersama kami! Selama kalian semua baik-baik saja, Kerajaan yang kalian cintai ini pun, akan baik-baik saja,” tukasku kepadanya yang masih berdiri mematung.
“Yadgar memiliki banyak wilayah kosong yang bisa kalian tempati.”
Pandanganku dengan cepat berbalik, berbalik ke arah Zeki yang berjalan masuk dengan menggandeng tangan Ihsan. “Apa yang kau lakukan di sini?” sahutku kepadanya yang semakin memperpendek jaraknya dari tempatku berdiri.
“Aku hanya menyusul Putriku yang berlari menyusul Ibunya. Lagi pun, bagaimana aku bisa meninggalkanmu sendirian di tempat yang hampir merenggut nyawamu dulu,” ucapnya santai, sambil melirik tanpa ekspresi kepada Bernice.
Zeki menunduk, genggaman tangannya pada Ihsan terlepas hingga Ihsan melangkahkan kakinya mendekatiku dengan wajah tertunduk, “Ihsan?” panggilku, sambil berusaha untuk meraih tangannya.
Aku dengan cepat melemparkan tatapan kepada Zeki, saat kurasakan tangan Ihsan yang aku genggam itu gemetar tanpa henti. “Apa yang terjadi, Zeki? Apa yang terjadi kepada mereka berdua?” tanyaku kepadanya.
Mataku itu bergerak, mengikuti Zeki yang menarik pedangnya, lalu mengacungkan sebilah pedang yang ia genggam itu ke arah Bernice. Pikiranku, seakan baru memahami apa yang terjadi, setelah bercak, bekas darah di ujung pedang milik Zeki, terlihat oleh mataku. “Aku tidak tahu mengapa, tapi saat Huri tiba-tiba berlari menyusulmu, aku pun segera berlari masuk untuk memastikannya. Sejak awal, aku memang sudah merasakan keanehan pada dua penjaga di depan-”
“Namun, siapa yang akan menyangka … Jika di dalam Kastil ini, justru memiliki lebih banyak pasukan yang ingin menyergap Istriku secara diam-diam. Kenapa? Apa kau terkejut, karena kami bisa sampai ke sini tanpa terluka sedikit pun? Apa kau pikir, pasukan lemahmu itu dapat menghentikanku menyelamatkannya?” papar Zeki, sambil memasukan kembali pedang miliknya.
“Jika saja, Ratu Alelah tidak pernah menolong kami. Aku pastikan, nasibmu sudah berakhir sama persis seperti para Kesatria perempuan yang bergelimpangan di sepanjang lorong Kastil,” sambung Zeki dengan nada bicara yang telah berubah.
“Apa kau, ingin membunuhku?” Aku menyahuti perkataan Zeki, lalu menghela napas setelah suara decakan lidah dari Bernice mengalir masuk ke telinga.
“Jika kau ingin menyelamatkan Ratu Alelah, aku tidak akan melarangmu. Namun, jika kau berniat ingin menyelamatkan seseorang yang ingin menghabisi nyawamu, aku tidak akan mengizinkannya,” tukas Zeki, diikuti langkahnya yang telah berhenti tepat di hadapanku.
“Apa yang dikatakannya memanglah benar,” ucapan dari Ratu Alelah yang menyela percakapan kami, membuatku perhatianku kembali beralih kepadanya, “maafkan Putriku, dan para Kesatria kami. Mereka, terlalu angkuh untuk bisa menilai kebaikanmu. Pergilah dari sini dan jangan pernah kembali! Aku, akan selalu berharap, hal baik akan selalu datang untuk kalian semua-”
“Apa yang kau ucapkan ini, Ratu? Apa maksud dari perkataanmu?” sergahku, menghentikan ucapannya.
“Aku, sudah tidak bisa diselamatkan. Kau, anak yang baik, tapi jangan sia-siakan kebaikanmu kepada kami yang tidak memercayai semua niat baikmu. Andai mereka semua dapat melihat apa yang pernah aku lihat-”
Cukup lama Ratu Alelah menghentikan ucapannya, sebelum wajahnya kembali tertunduk dengan kedua tangannya yang saling memegang satu sama lain, “pergilah dari Pulau ini! Ini perintahku sebagai seorang Ratu, dan ini juga sebagai permintaan terakhirku … Sebagai tebusan hutang budi karena aku dulu sudah sempat menyelamatkan nyawamu."
"Dan juga, Sachi. Tidak perlu untuk menjadi cahaya, untuk mereka yang lebih memilih hidup di dalam kegelapan,” ucapnya lagi, dengan pandangan yang menerawang kosong ke depan.
![](https://img.wattpad.com/cover/255183933-288-k758823.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...