Langkah kami terus berlanjut dan terus berlanjut, hingga puncak Istana yang dilapisi oleh emas, terlihat dari kejauhan. Semakin kami mendekati puncak bukit yang menjadi tempat di mana Istana itu dibangun, semakin itu juga perasaan gusar yang sebelumnya aku pendam kembali muncul.
Langkah kami semua serentak berhenti, ketika sebuah gerbang besar menghalangi jalan. Perempuan yang sebelumnya berbicara denganku, melemparkan lirikan matanya kepadaku sebelum perintah dengan nada tinggi ia keluarkan hingga suatu suara terdengar diikuti gerbang yang terlihat sedikit bergeser.
“Ihsan, kemarilah!”
Ihsan yang berdiri di samping Takumi, dengan cepat berbalik lalu berlari ke arah kami ketika perintah dari Zeki terucap. Dia menyelinap berdiri di tengah-tengah Zeki dan juga Huri, sesaat Zeki bergeser sambil menjatuhkan tatapan mata ke sampingnya. “Jangan lepaskan genggaman kalian! Apa kalian mengerti?!” Mereka berdua menoleh seraya mengangguk, setelah aku menyelesaikan perkataan.
Aku kembali melangkah, ketika gerbang yang ada di depan kami sudah terbuka sepenuhnya diikuti beberapa puluh perempuan berbaris, lengkap dengan sebuah tombak di masing-masing genggaman mereka. Teriakan dengan bahasa yang tak aku pahami, lagi-lagi aku dapatkan dari perempuan berkulit hitam, yang sebelumnya mengaku sebagai Putri dari Ratu Alelah. Teriakan yang ia keluarkan itu, membuat para perempuan yang berbaris, serempak bergeser hingga meninggalkan sebuah jalan setapak di hadapan kami.
Genggaman tanganku pada Huri menguat, sebelum akhirnya aku mengikuti Kakakku, Haruki yang telah terlebih dahulu berjalan menyusul Callia berserta perempuan-perempuan yang lain. Selama aku melangkah, selama itu juga mataku itu tidak bisa berpaling ke arah tumbuh-tumbuhan yang kondisinya tak terlalu jauh berbeda dari keadaan di luar Istana.
Mereka tidak membawa kami masuk ke dalam Istana, melainkan menuntun kami semua ke sebuah Kastil kecil yang letaknya tak terlalu jauh dari Istana. Kami semua tiba-tiba berhenti, sesaat perempuan tersebut mengangkat pedangnya, lalu mengacungkan sebilah pedang tersebut ke arah kami. “Hanya Takaoka Sachi, yang diperbolehkan untuk masuk!” tukas perempuan yang mengaku sebagai Putri dari Ratu Alelah itu, sambil matanya menjatuhkan lirikan kepadaku.
Haruki mengangguk, begitu juga dengan Zeki, setelah aku mengalihkan tatapan kepadanya. Kutarik napas dengan sangat dalam sembari tanganku bergerak pelan melepaskan genggaman tanganku pada Huri. Perempuan itu kembali memasukan pedang miliknya ke dalam sarung, ketika aku sendiri telah berdiri di depannya. Dia berbalik, memerintah dua perempuan yang berjaga di depan pintu untuk menyingkir sebelum akhirnya pintu kayu besar itu terbuka, oleh dorongan yang dilakukan olehnya.
“Namamu?” Aku bertanya, setelah tubuhku sudah berjalan melewati pintu yang terbuka itu sambil menoleh ke arahnya.
“Bernice,” jawabnya singkat seraya berlalu meninggalkanku.
Kutarik napas kembali lalu mengembuskannya, sebelum kedua kakiku menyusul langkahnya yang kian jauh meninggalkanku. Tidak terlalu lama kami menelusuri terowongan, Bernice kembali berhenti sambil berbalik menatapku dalam diam. Kepalanya bergerak ke samping, saat aku sendiri telah berhenti tepat di depannya. “Apa Ratu Alelah ada di dalam?” Aku bertanya yang sama sekali tak diberi jawaban olehnya, setelah tatapan mataku itu terjatuh ke arah sebuah ruangan dengan cahaya redup tanpa pintu di depan kami.
“Ratu, Sachi datang untuk mengunjungimu,” ucapku sambil berdiri di tepi ruangan.
“Sachi? Takaoka Sachi?” suara lembut nan halus yang terdengar dari dalam ruangan, mau tak mau membuat pandanganku harus beralih ke arah Bernice.
Bernice, menyelonong masuk begitu saja ke dalam ruangan gelap tersebut. Tak lama dia masuk, ruangan menjadi sedikit terang oleh sinar matahari yang turut masuk melewati jendela di dekat Bernice. “Ratu?” tuturku gemetar dengan langkah mendekatinya yang bersandar lemah di sebuah kursi.
“Apa yang terjadi di sini? Apa yang terjadi kepadamu?” tanyaku sambil duduk berlutut di samping kursi yang ia duduki.
Dia menoleh ke arahku, dengan senyum yang semakin membuat cekung di kedua matanya terlihat jelas. Kondisinya nampak sangat memprihatinkan … Tubuhnya sendiri, bak tulang yang hanya dilapisi selembar kulit. “Aku, sudah tidak bisa melindungi tempat ini lagi. Sihir dari Air Terjun yang melindungi tempat ini, ikut menghilang bersama Air Terjun tersebut … Tempat tinggalku, Istanaku, Rumahku, Rakyatku.” Aku dengan sigap beranjak, lalu duduk dengan menggenggam lemah tangannya yang ia letakan di atas pahanya, hingga Ratu Alelah menghentikan ucapannya.
“Air kehidupan sudah tidak ada lagi. Kehancuran, tidak lama lagi akan segera datang.”
“Aku mempertahankan pulau ini dengan sisa-sisa kehidupanku, karena itulah … Aku berakhir seperti sekarang. Sachi,” ucapnya terhenti dengan sebelah tangannya yang balas menggenggam tanganku.
“Sebagai Ratu, kumohon kepadamu untuk menyelamatkan mereka semua dari Pulau ini. Mereka semua akan mati, kalau mereka semua memutuskan untuk berdiam diri di sini,” sambung Ratu Alelah diikuti kedua matanya yang nanar menatapiku.
“Dia berkerja keras mempelajari Bahasa kalian, agar suatu saat dia tidak mengalami kesulitan saat berbicara denganmu,” lirikan mataku teralihkan kepada Bernice yang menyahut sambil berjalan ke arah kami.
“Dia pun, pasti sangat menyukaimu, hingga memberikan harta tersembunyi milik Kerajaan,” Bernice kembali melanjutkan kata-katanya, dengan pandangan mata yang terjatuh kepada sebuah cincin yang melingkar di jariku.
“Bernice!” Bernice membuang wajahnya ke samping, sesaat panggilan dari Ratu Alelah menyebut namanya.
“Apa ini, berhubungan dengan kegelapan yang akan muncul?” Kedua mata Ratu Alelah membelalak, seketika aku menyelesaikan perkataan yang begitu saja aku lontarkan.
“Jadi, kau sudah tahu dengan kegelapan yang akan muncul itu?”
Ratu Alelah tertunduk lama, setelah kepalaku mengangguk terhadap ucapannya, “aku tidak sengaja melihat kegelapan itu, saat tanganku ini menggenggam tanganmu untuk pertama kalinya kala itu. Aku meminta Kakakmu menemui Bibiku, itu karena aku sangatlah ingin agar kalian dapat memastikan apa yang aku lihat itu benar ataukah salah,” ungkap Ratu Alelah dengan kedua mata yang nampak jatuh menerawang jauh ke depan.
“Dan untukmu, Bernice! Kehancuran akan segera datang. Ikutilah Sachi dan keluarganya, dan dukunglah mereka, agar kita bisa menyelamatkan mereka semu-”
“Kenapa aku harus melakukannya? Kenapa aku harus memberikan hormat kepada mereka? Apa Ibu pikir, Rakyat-rakyat kita akan berlutut memohon bantuan dari mereka?!”
“Karena inilah, Ibu masih belum bisa menunjukmu sebagai seorang Ratu, Bernice. Kau, terlalu keras kepala untuk menyelamatkan mereka semua,” sahut Ratu Alelah, menimpali bentakan Bernice yang memotong ucapannya.
Jari-jemari Bernice mengepal kuat, diikuti wajahnya yang nampak sedang memupuk amarah dengan lirikan tajam yang enggan berpaling dariku. “Aku mengerti,” ucapku sambil beranjak berdiri hingga tatapan mata Ratu Alelah mengikutiku, “jika mereka semua tidak ingin diselamatkan, maka aku hanya akan menyelamatkanmu dari tempat ini, Ratu.”
“Apa lagi yang ingin kau lakukan?!”
Aku menarik napas yang sangat dalam ketika Bernice kembali meninggikan suaranya, “aku hanya ingin membalas kebaikan dari seorang Ratu, yang dulu pernah menyelamatkan nyawaku. Apa aku harus memberitahukanmu siapa Ratu yang aku maksudkan?” tukasku dengan turut melemparkan lirikan kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...