Chapter DCXXXIII

1.3K 295 2
                                    

Raja Ismet masih terdiam menatapku, sebelum dia membuang kembali wajahnya menghindari tatapanku, “dia, memisahkanku dari keluargaku. Dia, memisahkanku dari rakyatku … Enyahlah! Aku tak sudi melihat pengkhianat seperti kalian.”

Helaan napasku keluar saat aku beranjak berdiri, “dia pun keluargamu. Dia juga Putramu, apa bedanya dia memimpin Yadgar dengan putramu yang lain? Bukankah, dibanding yang lain … Dia, yang memang pantas menggantikanmu,” ucapku, tubuhku membungkuk ke arahnya sebelum berbalik melangkahkan kaki menjauhinya.

“Aku, tidak bisa menjadi orangtua yang baik untuknya. Gantikan aku, untuk menjaganya!”

Langkah kakiku terhenti saat mendengarnya, “aku pasangannya, bukan orangtuanya. Ada saat di mana, perhatian dari seorang pasangan tidak bisa menggantikan perhatian yang diberikan orangtuanya. Setelah ini berakhir, berkunjunglah ke Istana … Cucumu, pasti ingin bertemu dengan Kakeknya.”

Bibirku tersenyum, saat bibirnya gemetar menatapku, “apa Ayah ingat dengan nazar boncugu yang dulu pernah Ayah berikan? Nyawaku, selamat berkat kalung tersebut … Jadi, berikan kalung yang sama untuk cucumu saat kau berkunjung nanti,” ucapku pelan sambil berbalik melanjutkan langkah.

Aku menggigit kuat bibirku, saat suara tangis terdengar dari arah belakang. Mataku sedikit melirik ke arahnya yang masih tertunduk dengan telapak tangan menutupi wajah, lengkap dengan deru tangisan yang masih kuat darinya. Aku menarik napas, berjalan mendekati kuda milikku lalu menaikinya.

“Jaga ayah mertuaku baik-baik! Kami mempercayainya kepada kalian,” ucapku, saat langkah kudaku berhenti di depan kesatria yang berjaga.

“Laksanakan, Yang Mulia Ratu!” sahut mereka bersamaan dengan sedikit membungkukkan tubuhnya ke arahku.

“Bagaimana keadaan di sini? Apakah aman? Lalu, apa kalian tahu di mana aku dapat menemukan laut?”

“Yang Mulia Ratu tenang saja, ini adalah wilayah paling aman di Yadgar setelah ibukota. Dan untuk laut, jika Yang Mulia Ratu berjalan terus ke Utara … Yang Mulia Ratu akan menemukannya,” ucap salah satu Kesatria sambil mengangkat tangannya.

“Baiklah. Terima kasih, aku akan memberitahu suamiku untuk menaikkan upah kalian.”

“Panjang umur, Yang Mulia Ratu!” tukas mereka lagi secara bersamaan yang aku balas dengan anggukan kepala.

“Aku punya satu pertanyaan lagi kepada kalian, bagaimana kalian bisa mengenaliku?”

“Sudah menjadi rahasia umum di antara para kesatria Yadgar, perempuan cantik dengan rambut cokelat dan bermata hijau … Harus kami hormati apa pun yang terjadi. Mereka, yang pernah ikut mengantar Yang Mulia ke Balawijaya beberapa tahun yang lalu, menceritakan bagaimana mengagumkannya perempuan itu memimpin perang.”

“Benarkah?”

Mereka mengangguk saat aku melirik mereka bergantian, “kami beruntung, memiliki Ratu seperti Yang Mulia,” ucap salah satu Kesatria sambil membungkuk, diikuti kesatria lainnya yang melakukan hal sama.

“Baiklah. Terima kasih sekali lagi atas bantuan kalian,” ucapku, sembari kugerakkan kudaku itu berjalan melewati mereka.

“Ada apa?”

Kepalaku menggeleng saat kudaku itu berhenti di depan saudara-saudaraku, “aku, hanya mengunjungi ayah mertuaku tadi,” jawabku, dengan kembali menggerakkan kudaku melewati kuda Haruki, Izumi dan juga Eneas.

“Kau apa?” Haruki balas bertanya, sambil menggerakkan kudanya berjalan di sampingku.

“Apa kau lupa, kenapa aku meminta kalian utuk menyembunyikan pernikahan-”

“Aku tahu nii-chan, aku paham. Hanya saja, kabar tentangku justru telah menyebar. Bahkan mereka, tidak mencoba untuk membantah saat aku mengatakan kalau aku Ratu mereka,” ucapku yang dengan cepat memotong perkataan Haruki.

“Benarkah itu?”

Haruki menghela napas saat kepalaku mengangguk membalas perkataannya, “aku mengerti. Aku akan, mencari tahu hal ini secepatnya,” sambung Haruki, dengan membuang kembali pandangannya ke depan.

________________.

Kami berjalan, mengikuti perkataan dari Kesatria sebelumnya. Aku beranjak turun dari atas kuda, mengikuti langkah kaki Haruki yang telah berdiri di bibir pantai. “Bagaimana?” tanya Haruki, dia menoleh ke arahku yang telah berdiri di sampingnya.

“Kou, apa kau telah memanggil mereka seperti yang aku perintahkan?” gumamku, sambil berjongkok meraih sedikit air laut menggunakan telapak tangan.

“Mereka, telah berada di sana, My Lord.”

Aku beranjak, kepalaku mengangguk ke arah Haruki saat tatapan mata kami bertemu. “Baiklah. Aku dan Sachi akan pergi menemui mereka. Izumi, Eneas dan Lux … Kalian, tetaplah di sini!” perintah Haruki, ketika dia menoleh ke belakang.

“Apa kalian yakin?”

Haruki kembali mengangguk, membalas perkataan Izumi. “Kita, tidak bisa membuang-buang waktu,” ucap Haruki kembali, sambil tangannya bergerak membuka lalu melempar jubah yang sebelumnya ia kenakan ke atas pasir pantai.

Aku turut melakukan apa yang ia lakukan, sebelum akhirnya bergerak menyusulnya yang telah mulai perlahan menenggelamkan tubuhnya ke air laut. Kedua kakiku terus mendayung, ke arah yang Kou perintahkan. Walau tidak terlalu dalam, tapi selama kami bergerak … Semakin gelap juga pemandangan yang ada di sekitar.

Aku semakin kuat mempercepat kakiku bergerak mendekati beberapa titik cahaya yang ada di bawah lautan. “Sa-chan?” tukas suara Haruki yang terdengar dari arah depan.

“Aku tepat di belakangmu, nii-chan,” jawabku, walau sosoknya sulit kulihat oleh gelapnya keadaan.

Kedua tanganku turut bergerak mendayung air, agar aku lebih cepat berenang mendekati titik-titik cahaya itu. “My Lord!” Tubuhku dengan cepat berhenti, ketika para duyung dengan serempak membungkuk ke arahku.

“Angkat kepala kalian!” perintahku, sambil kembali berenang semakin mendekati Ebe yang tengah berenang di samping Dekka, kakak sepupunya.

“Apa kalian baik-baik saja?” tanyaku yang dibalas anggukan dari Ebe.

Ebe masih belum menjawab pertanyaanku, hanya kepalanya saja yang bergerak seakan tengan mencari sesuatu. “Jika kau mencari kakakku, Izumi. Dia, ada di daratan,” bisikku, yang membuat pandangan Ebe kembali jatuh padaku.

“Apa aku membuatnya tidak nyaman?” tukas Ebe dengan kepala tertunduk.

“Dia dan adikku harus menjaga kuda-kuda kami. Kami, akan kesulitan melanjutkan perjalanan kalau kehilangan kuda-kuda itu. Kakakku, tidak pernah membencimu-”

“Benarkah?” Kepalaku mengangguk menjawabnya yang tersenyum lebar padaku.

“Sepertinya kalian semua baik-baik saja,” ucapku yang melirik ke arah Dekka, dia mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Aku, memanggil kalian ke sini, karena ada sesuatu yang ingin aku tanyakan,” sambungku, yang membuat guratan di wajah mereka berubah.

Aku menghela napas hingga buih-buih gelembung keluar dari mulutku, saat aku mendongakkan kepala ke arah banyak ubur-ubur bercahaya yang berenang menerangi kami. “Apa kalian, pernah mendengar kura-kura yang hidup di arah Utara?” tanyaku dengan kembali menatapi mereka.

“Kura-kura? Kau, bisa mendapatkannya di mana pun-”

“Bukan kura-kura biasa yang aku maksudkan, Ebe. Dekka, kau mengetahui sesuatu, bukan?” tanyaku sembari melirik ke arah Dekka yang terlihat resah, diikuti beberapa duyung lain yang juga seperti itu.

“Aku, tidak bisa menjawabnya tanpa sepertujuan Kakek. Karena ini, legenda yang hampir seperti mitos untuk bangsa duyung,” sambungnya lagi, ketika dia mengangkat kembali pandangannya.

“Baiklah, bawa kami menemui Kakek kalian,” sahutku membalas tatapannya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang