Zeki duduk berlutut dengan masih menatapku, “jika aku tahu perbedaan waktunya akan sejauh ini. Aku, tidak akan meninggalkanmu pulang ke Yadgar,” tukasnya yang menundukkan kepalanya hingga keningnya itu mengenai akar yang menjadi tempat tidurku tersebut.
Aku menghela napas, tanganku terangkat mengusap pelan kepalanya, “ini pun kesalahanku. Aku lupa, perbedaan waktu di dunia milik Naga dan dunia milik manusia sangat jauh berbeda. Angkat kepalamu! Aku ingin melihat wajahmu,” ucapku, masih kuusap kepalanya hingga dia kembali mengangkat wajahnya kembali.
“Tubuhku yang lain sulit digerakkan kecuali tangan. Bantu aku untuk berbaring menyamping, dadaku rasanya sesak jika berlama-lama berbaring seperti ini,” tukasku pelan dengan kembali menatapnya.
Tanpa banyak berbicara, Zeki beranjak berdiri sambil kedua tangannya bergerak membantuku untuk menggerakkan tubuhku itu berbaring ke arahnya. “Apa kau, tidak makan dengan baik di sini?” tanyanya, jari-jemarinya bergerak menyelipkan rambutku ke daun telinga.
Kepalaku menggeleng pelan, “aku memakan apa pun yang mereka masak. Tapi sepertinya, semua yang aku makan dengan cepat diambil kembali oleh anakmu. Gerakannya sekarang, sudah kuat terasa … Apa kau, tidak ingin merasakannya?” Aku balik bertanya, sambil meraih tangannya lalu meletakkan tangannya itu ke atas perutku.
Bibirku tersenyum kecil, saat dia mengalihkan pandangannya ke arahku, “dia bergerak, bukan?” tukasku, dia mengangguk lalu mengarahkan wajahnya mendekati perutku tersebut.
“Ibumu, tidaklah sekuat yang orang lain pikirkan. Ayah, Ibu dan yang lainnya menunggu kelahiranmu … Jadi, jangan mengkhawatirkan apa pun. Tetaplah sehat, dan jangan menyulitkan Ibumu. Apa kau mendengar perkataan Ayahmu ini, Anakku?” tukasnya sambil tersenyum setelah sebelumnya mencium perutku.
“Kau ada di sini, Zeki?”
Aku mencoba untuk menoleh saat suara laki-laki terdengar. Zeki beranjak berdiri kembali dengan tatapan matanya mengarah ke arah belakangku, “kau ada di sini juga, Ryu?” ucap Zeki sambil pandangannya itu masih mengarah ke arah yang sama.
“Kou menjemputku, dan saat aku sampai … Sachi memintaku untuk membuatkannya tempat tidur. Dia, tidak boleh beranjak dari sana sebelum anaknya lahir,” tukas suara Ryuzaki yang kembali terdengar di telingaku.
“Benarkah itu?”
Lirikan mataku kembali beralih kepada Zeki yang menunduk menatapku, “Uki yang memintaku melakukan hal tersebut. Kami, memerlukan sihir Elf dan juga Robur Sprei untuk bertahan hidup … Dan, hanya Ryu yang dapat melakukan hal ini.”
“Seperti itu, kah? Terima ka-”
“Tidak perlu berterima kasih. Dia Kakakku, dan yang ada di dalam dirinya itu keponakanku. Sudah sepantasnya, aku melakukan hal mudah seperti ini untuknya,” sahut suara Ryuzaki yang memotong perkataan Zeki.
“Bagaimana keadaanmu?”
Aku melemparkan pandangan ke arahnya yang telah berdiri di dekat Zeki, “aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”
“Aku pun baik-baik saja. Apa ada yang ingin kau makan? Aku, akan mengambilkanmu makanan setelah mengisi perutku.”
“Aku tidak lapar. Hanya saja, tolong bantu aku untuk memberi makan Uki,” tukasku, yang dibalas anggukan kepala darinya.
“Bagaimana denganmu, Zeki?”
“Aku pun tidak lapar. Aku, akan mengambil makananku sendiri jika lapar,” jawab Zeki yang masih mengarahkan tatapan matanya ke arahku.
“Baiklah. Aku akan pergi mengajak Uki untuk makan,” tukas Ryuzaki, dia kembali melanjutkan langkahnya saat aku menganggukkan kepala menimpali perkataannya.
Zeki berjalan mundur, tatkala akar tiba-tiba tumbuh mencuat dari dalam tanah lalu membentuk sebuah kursi yang ada di dekat tempatku berbaring. “Sepertinya, Ryu membuatkannya untukmu. Duduklah!” pintaku sambil tetap menatapinya.
Zeki berjalan lalu duduk di atas kursi akar yang tiba-tiba tumbuh tersebut. “Jangan terlalu khawatir seperti itu. Beristirahatlah, lingkaran hitam di bawah matamu memberitahukanku bahwa kau tidak beristirahat akhir-akhir ini, bukan?” tukasku, yang lama membalas tatapannya padaku.
______________.
Sudah tak terhitung, berapa lama aku berbaring di tempat tidur ini. Setiap hari, aku hanya meminum darah Kou ataupun darah Uki bergantian, karena tubuhku menolak untuk memakan apa pun. Namun, anehnya aku tidak pernah merasa sedikit pun kelaparan atau haus, dan bahkan aku sedikit lupa caranya mengejan karena kotoran atau keringat pun tak keluar dari tubuhku sejak aku berbaring di tempat tidur akar buatan Ryuzaki . “Aku akan mengganti pakaianmu,” tukas suara Zeki, dia meletakkan lipatan daun sebelum bergerak mengikatkan kain ke tonggak kayu yang mengelilingi kami.
“Lux dan Eneas, membuatkanmu kembali pakaian,” sambung Zeki, dia kembali berjalan mendekat setelah selesai mengikatkan kain di sekeliling.
Zeki membuka lipatan daun yang membentuk gaun tersebut, lalu dengan perlahan merobek pakaian dari dedaunan yang aku kenakan. Setelah selesai, dia kembali membantuku beranjak duduk dengan mengenakan pakaian yang baru tersebut padaku. “Aku pasti merepotkan mereka semua. Setiap dua hari sekali mereka selalu membuatkanku pakaian dari daun ini,” gumamku saat aku merangkulkan lengan di leher Zeki yang mengangkatku sejenak dari tempat tidur tersebut.
“Walau kau meminta mereka untuk tidak perlu melakukannya, mereka pasti akan tetap melakukannya. Lagi pun, sejak kau memakai pakaian dari daun ini justru membuat keadaanmu semakin membaik, bukan?” sahut Zeki saat dia kembali membaringkan tubuhku.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya sambil meraih lalu melipat gaun dari daun yang ia robek sebelumnya.
“Aku sudah jarang merasakan pergerakannya. Namun, perut hingga punggungku kadang terasa sangat sakit sekali … Tapi, setelah itu rasa sakitnya akan menghilang. Apa ini, tanda-tanda dia akan segera lahir?” tanyaku sembari menatapinya yang tengah menurunkan kembali kain yang mengelilingi kami itu.
“Aku tidak terlalu tahu, tapi jika benar seperti itu … Aku, akan mempersiapkan semuanya,” tukas Zeki, dia kembali berjalan ke arahku dengan melipat kembali kain lebar di tangannya.
“Kakakmu datang,” sambung Zeki, kepalanya sedikit bergerak seakan memintaku untuk menoleh ke arah kiri.
Aku mengikuti apa yang ia lakukan, bibirku tersenyum menatapi Haruki yang menggendong Hikaru berserta Izumi tengah berjalan dengan membawa beberapa makanan di nampan kayu yang Izumi pegang. “Kami membawakan makanan untukmu, Zeki. Bagaimana keadaannya?” tanya Izumi dengan melirik ke arah Zeki.
“Dia berkata perutnya kadang sakit, jadi … Aku berpikir ini mungkin sudah dekat waktunya, aku berniat untuk menyiapkan semua keperluannya untuk melahirkan,” jawab Zeki kepada mereka.
“Hikaru sendiri lahir saat bunga yang menyimpan tubuhnya mekar. Jadi aku, tidak bisa membantu banyak kalian tentang ini,” sahut Haruki, dia mencium kepala Hikaru sebelum mengarahkan pandangannya kembali padaku.
“Aku, pernah sekali melihat bagaimana perempuan melahirkan. Lebih tepatnya saat Ibu melahirkanmu, Sachi. Aku tidak tahu seperti apa persisnya rasa sakitnya itu … Namun Ibu saat itu, terlihat sangat kesakitan dengan darah yang keluar banyak sekali di-”
“Apa yang kau lakukan?” tukas Izumi menghentikan perkataannya sebelumnya, sambil menatap ke arah Haruki.
“Gunakan kepalamu itu!” tukas Haruki membalas tatapannya, “beruntung aku hanya menginjak kakimu. Apa seperti itu, seorang kakak menghibur adiknya sendiri yang sedang kesusahan?” sambung Haruki, aku memaksakan diri untuk tersenyum saat Izumi melirik ke arahku.
“Aku belum menyelesaikan perkataanku, tapi setelah kau lahir dan tangisanmu terdengar … Ibu terlihat menjadi seseorang yang paling bahagia di dunia. Kau pun, mungkin akan merasakan hal yang sama nanti," tukas Izumi kembali sambil balas tersenyum menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...