Aku tertunduk sambil menatap bubur mendidih yang aku masak di dalam dandang. “Sachi!” Tubuhku seketika terperanjat ketika panggilan bercampur tepukan di pundak kurasakan.
“Kak Amanda,” tukasku kepadanya yang telah berdiri dengan menggendong Miyu di tangannya.
“Miyu, kau terlihat semakin cantik tiap kali Bibi melihatmu,” sambungku, sambil mendekatkan wajah lalu mendaratkan kecupan di pipinya.
“Apa kau memasak bubur untuk Huri? Aku akan membantumu,” ucapnya yang berjalan ke salah satu kursi yang ada di dapur.
Amanda membungkuk dengan menurunkan Miyu ke kursi tadi. “Kak! Kakak jaga saja Miyu. Ini semua sudah hampir selesai … Aku hanya tinggal menuangkannya ke mangkuk.”
“Sachi, apa terjadi sesuatu?” Aku terdiam, sat pertanyaannya darinya terdengar secara tiba-tiba.
“Kami hanya sedang mengurusi pernikahan Ryu,” jawabku, sambil mengangkat dandang berisi bubur yang aku masak dari atas tungku, “Ryu menikahi Sarnai, jika Kakak mengenalnya. Dan karena, Suku Azayaka masih belum berpindah dari Hutan yang terakhir kali kita kunjungi. Kakakku memutuskan untuk tidak mengajak kalian, demi keselamatan Anak-anak dan juga kalian berdua. Lagi pula, semakin sedikit yang mengetahui keberadaan anak-anak … Itu semakin bagus untuk keselamatan mereka-”
“Apa Ayah dan Ibu menghadiri pernikahan itu?”
Aku kembali terdiam sejenak, sesaat kata-kata darinya memotong ucapanku, “mereka menghadirinya,” sahutku pelan, dengan meraih nampan yang sebelumnya sudah aku letakan dua buah mangkuk di atasnya.
Tanganku bergerak menuangkan bubur tadi ke dalam salah satu mangkuk, setelah keheningan menyelimuti kami. “Apa itu tidak masalah untukmu, Kak?” tanyaku sambil mengisi mangkuk yang lainnya dengan bubur yang aku masak.
“Aku Amanda bukanlah Luana. Sejak aku memutuskan untuk tidak meninggalkannya lagi … Aku sudah menyiapkan perasaanku, kalau saja suatu saat dia harus mencari seorang Bangsawan yang akan mendampinginya sebagai seorang Ratu. Bagiku, hidup bersamanya dan anak-anak kami, itu sudah lebih dari cukup.”
“Tapi aku pikir, kau harus menyembunyikan hal ini dari Ebe. Dia mungkin masih belum memahami, seperti apa seorang pewaris takhta menjalani hidup. Aku akan membantumu merahasiakan hal ini,” ucapnya yang tersenyum, ketika aku berbalik membalas tatapannya.
“Seharusnya Kakak jujur saja! Jika apa yang Kakakku perbuat … Menyakiti perasaanmu. Jangan menahan rasa sakit itu sendiri. Walau mereka Kakakku, itu bukan berarti aku akan mendukung semua yang mereka lakukan,” ungkapku yang kembali berbalik lalu mengangkat nampan yang ada di depanku itu.
“Aku akan membawa bubur ini untuk Ihsan dan juga Huri,” lanjutku, sambil melangkahkan kaki meninggalkan mereka berdua di Dapur.
Aku terus saja berjalan menyusuri anak tangga, lalu berakhir di depan pintu kamar. Sebelah tanganku terangkat membuka pintu yang ada di depanku itu. “Ibu!” Bibirku tersenyum, menatapi Huri yang tersenyum lebar menyambut kedatanganku.
Kedua kakiku kembali bergerak, mendekatinya yang tengah duduk di atas ranjang dengan Ihsan yang duduk di samping menjaganya. “Kau sudah bangun?” tanyaku, yang langsung mengangguk kuat sesaat aku sudah duduk di ranjang yang sama bersama mereka.
“Karena di Rumah kita ini hanya ada beberapa bahan makanan. Ibu hanya bisa memasak bubur untuk kalian … Nanti, Ibu akan memasak makanan lezat yang lain setelah kita merampok kekayaan Ayah kalian,” ungkapku, sambil memberikan satu buah mangkuk ke Ihsan dan mangkuk lainnya ke Huri.
“Hati-hati memakannya, Ihsan! Tunggu sampai sedikit dingin, baru kau boleh memakannya. Apa Huri mau Ibu suap?” tuturku yang melemparkan pandangan kepada mereka bergantian.
Huri menggeleng, dengan tetap tertunduk sambil meniup bubur di sendok yang ia pegang. “Uki memberikan air matanya pada Huri … Katanya, dia sudah tidak sakit,” cetus Ihsan, sebelum sendok berisi bubur di tangannya, bergerak masuk ke dalam mulutnya.
Mataku melirik ke arah Uki yang tertidur lelap di dekat Huri. “Benarkah? Syukurlah. Ibu rasanya sedih sekali, saat Ibu tahu bahwa Putri Ibu yang cantik ini jatuh sakit … Maafkan Ibu, karena sudah pergi tanpa memberitahu kalian,” ungkapku sambil menyentuh lembut pipi Huri.
“Ibu, di mana Ayah?”
“Ayah?” sahutku kepadanya, “Ayah masih bersama Paman kalian. Ibu pun, harus segera kembali ke sana karena masih banyak yang harus Ibu lakukan di sana. Ibu dan Ayah akan pulang beberapa hari lagi … Apa kalian tidak apa-apa, untuk menunggu kami pulang bersama yang lain.”
“Di sini juga ada Bibi Amanda, ada Bibi Ebe, dan juga ada Kakek Buyut. Uki dan Paman Lux juga akan ikut menjaga kalian, jadi-”
Aku menghela napas pelan, sambil menggigit bibirku sendiri, ketika mereka berdua hanya terdiam dengan kepala tertunduk. “Ihsan! Huri!” tukasku memanggil nama mereka, “Ibu pun sebenarnya tidak ingin meninggalkan kalian.”
Aku menghentikan ucapanku sembari membuang pandangan ke arah langkah kaki yang terdengar mendekat. “Sachi nee-chan, Bibi sudah menunggu di bawah,” ucap Eneas yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
“Aku akan segera turun. Kau pun bersiaplah untuk pergi bersama kami,” ungkapku yang dibalas anggukan kepalanya.
Mataku kembali beralih pada Ihsan, “Ihsan, jaga Adikmu! Ayah dan Ibu mengandalkanmu,” sambungku mengusap rambutnya, sebelum kecupan dariku menempel di kepalanya.
“Huri, dengarkan apa yang dikatakan Kakakmu! Putri Ibu bisa melakukannya, kan?” tukasku yang kali ini sedikit beranjak untuk mencium kepalanya.
Aku sedikit berjalan mundur menjauhi ranjang, “Ibu akan segera kembali. Jadilah anak yang baik kalian berdua,” tuturku, sebelum berbalik dengan berjalan meninggalkan mereka.
Kututup kembali pintu kamar, seraya melanjutkan lagi langkah kaki menelusuri anak tangga yang berjarak tak terlalu jauh dari kamar. “Apa Bibi sudah puas beristirahat?" tanyaku kepadanya yang telah berdiri sambil bermain-main dengan Miyu yang berada di gendongan Amanda.
“Kau pergilah ke pohon sebelumnya. Aku sudah memerintahkan Eneas untuk menunggu di sana juga-”
“Bagaimana dengan Bibi?”
Keningku mengerut, berusaha untuk memaksanya menjawab pertanyaanku, “Bibi akan segera menyusul kalian, setelah puas menggoda Miyu. Pergilah! Sebelum Anak-anakmu berubah pikiran,” balasnya sambil melambaikan tangannya.
“Aku mengerti. Kak Amanda, aku menitipkan mereka berdua,” pintaku, tubuhku baru berbalik melangkah, setelah senyum di bibirnya mengikuti kepalanya yang mengangguk pelan.
Aku berjalan melewati pintu yang telah terbuka. Kakiku terus saja bergerak maju, sambil sesekali menjatuhkan pandangan ke arah anak-anak Elf yang tengah bermain. Bahkan, beberapa dari mereka yang tak sengaja melihatku, langsung membungkuk … Menunjukkan rasa hormat.
“Kabar bahwa cucu perempuan Kakek memiliki banyak Hewan Agung, menyebar dengan cepat di kalangan Elf,” ungkap Eneas yang berdiri dengan menyandarkan punggungnya di pohon yang Bibi maksudkan.
Langkahku berhenti, seraya turut bersandar mengikutinya, “rasanya aneh diperlakukan seperti itu,” gumamku pelan menjawab perkataannya.
“Apa kau bertambah tinggi lagi, Eneas? Jika kau terus saja tumbuh tampan seperti itu … Aku khawatir, Huri akan semakin mengabaikan Ayahnya,” sambungku yang dibalas suara tawa kecil darinya.
“Sekarang aku baru paham, kenapa Aniela tergila-gila padamu,” tukasku kembali sambil tangan menepuk pelan lengannya.
Dia hanya tersenyum dengan mata yang terus tertuju ke depan, “aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, nee-chan,” ucapnya tanpa sedikit pun menoleh, “aku hanya ingin membalas semua perbuatan Kaisar pada orangtuaku … Hanya dengan hal itulah, aku baru bisa menerima bahwa aku salah satu dari keluarga Takaoka.”
“Aku tidak tertarik pada pernikahan ataupun perempuan untuk saat ini, sebelum aku bisa membuat racun terkuat dari yang terkuat … Untuk membantumu, nee-chan. Jadi aku sangatlah berharap, bahwasanya nee-chan tidak menyinggung sebuah pembahasan yang menyangkut ... Seorang Perempuan," sambungnya dengan senyum manis yang ia lemparkan saat menoleh menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
פנטזיהKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...