Chapter DCCVII

1.8K 378 11
                                    

“Sachi!” panggil Zeki, diikuti kepalanya yang sedikit bergerak, seakan memintaku untuk segera meninggalkan ruangan ini.

“Tapi-”

Kepalaku tertunduk dengan bibir yang kugigit kuat, setelah mataku itu menatap Zeki yang hanya membisu, walau di matanya sangat jelas sekali terlihat amarah yang masih tersisa. Kepalaku mengangguk, kedua kakiku baru mulai melangkah, sesaat pandanganku terjatuh ke arah Ihsan yang pucat pasi di sampingku.

“Ayah!” seru Huri, tubuhnya berbalik dengan kedua tangan yang mengarah kepada Zeki, ketika Zeki sendiri telah ikut berjalan di sampingku.

Zeki meraih lalu menggendongnya, “kita akan segera pergi dari sini,” ucap Zeki lembut sambil menepuk-nepuk punggung Huri yang kembali terdiam dengan menyandarkan kepala ke pundak Ayahnya.

Kuusap kepala Ihsan, hingga dia balas menatapku. Langkahku berhenti lalu membungkuk untuk meraihnya ke gendonganku. Aku kembali lanjut berjalan, setelah tanganku itu menggenggam telapak tangan Ihsan lalu menciumnya. “Terima kasih, karena kalian sudah datang untuk menyelamatkanku,” ucapku dengan kembali menoleh kepada Zeki.

“Aku tidak bisa mengurus mereka sendirian. Anak-anakku membutuhkan Ibunya, dan aku membutuhkan Istriku. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi kepada kalian,” paparnya sambil balas menoleh ke arahku.

Kubalas perkataannya dengan anggukan, hingga tak ada lagi sepatah kata pun yang terucap di antara kami. Tanganku terangkat, merangkul Ihsan lebih kuat dibanding sebelumnya, ketika beberapa mayat perempuan, bergelimpangan di hadapanku.

Simbahan darah, turut memenuhi lantai walau jika dilihat lebih jelas … Masing-masing dari mayat tersebut, hanya memiliki sebuah luka menganga saja di lehernya.

Aku tahu jika dia kuat, tapi …. Apa kemampuan berpedangnya, benar-benar-

“Ada apa? Kenapa kau berhenti?”

Tubuhku sedikit tersentak, yang dengan spontan kepalaku menggeleng, menjawab pertanyaannya. “Apa benar jika kau yang menghabisi mereka semua sendirian?” tanyaku, sembari kembali bergegas mendekatinya.

Kedua kakiku lagi-lagi berhenti melangkah, ketika Zeki berjalan mendekat lalu berhenti tepat di hadapanku. “Ihsan, Huri! Tutup mata kalian berdua! Jangan mencoba untuk mengintip, atau Ayah akan meninggalkan kalian berdua di sini begitu saja!”

Tatapanku, kujatuhkan secara bergantian kepada Ihsan dan Huri yang tanpa membantah, segera melakukan apa yang Zeki perintahkan. “Perintah ini juga berlaku untukmu! Tutup matamu!” tukasnya dengan jari-jemarinya yang bergerak menyelip ke daun telingaku.

Mataku terpejam menuruti perintah darinya, lalu terbuka kembali setelah lama kurasakan kecupan nan hangat menyentuh keningku. Dia berjalan mundur seraya meraih dan menggenggam erat tangan kiriku,  “sampai sekarang, seorang perempuan yang hebat selalu mendukungku. Mustahil untukku menjadi lemah di hadapannya,” ujarnya sambil tersenyum lalu berbalik setelah sebelumnya mencium tanganku.

Kututup mataku menggunakan telapak tangan. Berkali-kali helaan napas ikut kukeluarkan, sambil sesekali kugigit kuat bibirku sendiri. Aku berusaha untuk mengontrol diriku sendiri, dengan sesekali embusan napas keluar kuat dari mulutku itu, sebelum akhirnya kedua kakiku bergerak cepat menyusulnya yang kian menjauh.

“Kalian berdua, sudah boleh membuka mata lagi!” tukas Zeki, sembari turut kurasakan tangannya  merangkul pinggangku, saat aku sudah melangkah beriringan di sampingnya.

“Ayah, kapan kita akan pulang ke Istana?”

Pandanganku dan Zeki, secara bersamaan beralih kepada Huri yang menyeletuk memecah keheningan di sepanjang lorong Kastil. “Setelah semuanya selesai. Apa pun yang Huri dan Ihsan inginkan, Ayah akan memberikannya setelah semua ini selesai-”

“Kau terlalu memanjakan mereka,” sahutku yang membuat dia kembali menoleh kepadaku.

“Kau pun melakukan hal yang sama. Lagi pula, aku tidak ingin anak-anakku merasakan apa yang dulu pernah aku rasakan. Kelaparan, atau putus asa akan hidup … Aku tidak ingin mereka merasakannya. Aku membawa seorang anak perempuan yang sangat dimanja oleh keluarganya untuk menghabiskan sisa hidupnya bersamaku. Dia tidak pernah merasakan kekurangan saat bersama keluarganya dulu … Harga diriku sebagai laki-laki akan jatuh, jika aku membuat hidupnya hancur setelah keluarganya melepaskannya untukku.”

“Dan yang lebih penting, kehidupanku sekarang sudah sempurna. Aku memiliki perempuan yang sangat aku cintai sebagai pendampingku, dan aku pun memiliki Putra dan juga Putri yang melengkapi kehidupan kami berdua-”

“Ayah, aku ingin tumbuh kuat seperti Ayah. Aku, ingin bisa melindungi Ibu dan Huri sama seperti Ayah,” seru Ihsan sebelum Zeki menghentikan ucapannya.

“Tentu saja. Ayah, memang tidak bisa melakukannya sendirian,” sahut Zeki, hingga membuat Ihsan tersenyum lebar setelah mendengarkan apa yang Zeki katakan.

“Beberapa tahun lagi, aku pasti sudah merasa kesulitan saat menggendong mereka. Sekarang saja, mereka sudah semakin berat untuk digendong,” ungkapku, seraya mengusap punggung Ihsan yang memelukku.

Kami terus berjalan, hingga setitik cahaya terang yang jauh di hadapan kami itu kian membesar. “My Lord!” seruan Uki masuk ke kepalaku, ketika langkahku telah berhenti melewati pintu kastil.

“Aku memerintahkanmu untuk membawa Lux. Kenapa, kau tidak menanggapi perintah dariku?” tanyaku, setelah Uki sudah terbang di depan wajahku.

“Matamu, adalah mataku. Apa yang engkau lihat, itu juga yang aku lihat. Lagi pun, aku tidak perlu datang setelah apa yang terjadi di dalam,” jawabnya diikuti sayapnya yang mengepak, lalu hinggap di kepala Zeki, “dia melakukan tugasnya dengan baik untuk melindungimu, My Lord,” sambungnya kembali terdengar.

“Apa kau tidak bisa memintanya untuk pergi dari kepalaku?”

Kugelengkan kepalaku, menjawab pertanyaan Zeki, sebelum akhirnya kedua kakiku melangkah mendekati kedua Kakakku. “Nii-chan, Ratu Alelah meminta kita untuk segera pergi dari sini dan jangan kembali,” ungkapku sambil menatap mereka berdua secara bergantian.

“Apa terjadi sesuatu di dalam?”

“Aku akan menjelaskannya nanti. Kita, tinggalkan saja tempat ini segera,” ungkap Zeki menyahuti pertanyaan Haruki.

“Baiklah,” jawab Haruki singkat, sambil berbalik lalu berjalan disusul oleh Aydin dan juga Izumi di belakangnya.

Aku menoleh sejenak ke arah Callia yang terlihat kebingungan dengan apa yang terjadi. Sedikit aku membungkuk ke arahnya sebelum lanjut melangkah menyusul mereka semua, setelah kurasakan rangkulan kembali menyentuh pinggangku.

Cukup lama, kami semua menelusuri jalan setapak untuk kembali ke tepi pantai. Pandangan-pandangan sinis yang sebelumnya kami dapatkan, kembali kami terima saat kami semua melewati kerumunan rumah-rumah penduduk. Bahkan saat kami melewati gua pun, hanya suara Kakakku, Izumi, yang menuntun kami semua hingga suara deburan ombak pantai, mengalir masuk dengan lembut ke telinga.

Langkahku berhenti ke salah satu perahu yang kami tinggalkan di tepi pantai. “Zeki, kembalilah ke Yadgar bersama Aydin!” pintaku, yang membuat tatapan mereka semua dengan serentak beralih kepadaku.

“Aku, akan meminta Kakek membukakan gerbang ke Dunia Elf, karena tidak ada lagi tempat yang bisa kita tuju selain ke sana-”

“Kalau seperti itu, aku pun akan mengikuti kalian semua untuk pergi ke sana!” sahut Zeki terhadap perkataanku.

Haruki mengangguk, ketika lirikan mataku itu terjatuh kepadanya. “Jadi kalian semua akan pergi ke tempat lain lagi? Baiklah, kita akan berpisah di sini! Namun sebelum itu, ceritakan kepadaku terlebih dahulu! Apa yang sebenarnya terjadi kepada kalian di dalam Kastil?” tukas Aydin yang berdiri dengan sebuah dayung di genggamannya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang