Chapter DCCLXXII

1.3K 418 27
                                    

Aku beranjak dengan menoleh ke arah pintu yang terbuka. Bibi yang berdiri di depan pintu, tampak menggerakkan kepalanya, lalu berlari ke arahku sesaat matanya menangkapku, “Kakekmu memberitahukan Bibi apa yang terjadi, apa kau baik-baik saja?” tukas Bibi sambil memeluk erat tubuhku.

Bibi lama menatapku dengan kedua tangannya mengusap lembut kening dan pipiku, “keponakanku,” tuturnya kembali sambil menatapku menggunakan kedua matanya yang terlihat berkaca-kaca.

Bibirku tersenyum diikuti kedua tanganku yang menyambut tangannya, “aku baik-baik saja, Bibi. Dimarahi oleh beberapa Makhluk sekaligus, membuatku segera tersadar,” ucapku seraya menurunkan kedua tangan Bibi dari pipi.

Mataku beralih ke arah Kakek yang berjalan masuk. Baik aku dan Bibi, duduk ke kursi setelah Kakek memerintah kami berdua untuk melakukannya. “Ayah ingin kau membantu Sachi untuk mencari tahu apa yang terjadi di Kerajaan milik Zeki!”

“Bibi, tolong selidiki juga … Jumlah musuh yang mungkin bersembunyi di sana!”

“Kau!” bentak Kakek, oleh ucapanku yang memotong pembicaraannya, “pikirkan dirimu sendiri sebelum memutuskan untuk menyerang musuh!”

“Aku mengerti, Kakek. Aku tidak akan gegabah … Aku paham dengan kondisiku saat ini,” ungkapku menjawab perkataannya.

“Aku bisa melakukannya tapi, kau tidak boleh berada di sini, Sachi!” pinta Bibi yang membuat mataku teralihkan.

“Aku memerlukan sihir yang banyak jadi aku akan melakukannya di Dunia Elf. Akan tetapi, kutukan tersebut mungkin akan ikut menyebar ke sini … Kakekmu mungkin bisa memurnikannya dan para Elf yang lain mungkin bisa menahannya dalam beberapa saat. Namun, kau setengah manusia!”

“Jika kutukan tersebut berbahaya untuk manusia! Kau dan anakmu, mungkin akan berada dalam bahaya. Aku akan mulai melakukannya, setelah kau pergi dari sini!” sambung Bibi membalas tatapanku.

Aku terdiam, dengan sedikit mundur untuk menyandarkan punggung, “Kou, apa kau bisa membuka gerbangmu! Aku ingin tinggal di sana!”

“Aku tidak bisa melakukannya!” jawaban singkat Kou mengejutkanku, “Acey masih belum bisa mengendalikan beberapa Manticore yang kehilangan kendali setelah memakan banyak manusia terakhir kali. Para Manticore tersebut tidak akan menyerangmu, My Lord. Namun manusia yang lain … Kami tidak bertanggung jawab.”

“Saat ini, kau lebih butuh bantuan dari manusia dibanding kami. Jadi tetaplah di Dunia Manusia sampai ini berakhir,” sahut Kou menutup ucapannya.

Aku menghela napas dengan membuang lagi pandangan kepada Bibi, “aku tidak ingin membuat banyak orang khawatir. Aku akan tinggal beberapa saat di Il, hingga … Ini semua sedikit membaik.”

____________.

Aku berdiri di depan cermin, menatapi perutku yang kian membesar seiring waktu, “aku sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi. Semua orang akan sadar dengan kehamilanku cepat atau lambat,” gumamku sambil menggoyangkan pelan badan di hadapan cermin.

Aku menghela napas sambil berjalan mendekati ranjang lalu membaringkan tubuhku ke sana. “Bibi belum memberikanku kabar, padahal ini sudah beberapa pekan sejak perbincangan kami tempo dulu.” Aku kembali bergumam dengan mengangkat tangan menutupi kening.

Badanku beranjak sesaat suara ketukan terdengar dari pintu. Aku berdiri lalu berhenti tepat di depan pintu tersebut yang tak berhenti diketuk. Kubuka pintu tersebut disaat suaraku tak mendapat jawaban … Kedua mataku seketika membelalak, ketika sosok yang begitu kukenal itu berdiri menatapku.

“Nii-chan,” ucapku lemah, membalas tatapan dari laki-laki bermata abu-abu di depanku.

“Kakek menceritakan apa yang terjadi kepadaku,” ungkapnya yang membuatku berjalan mundur disaat dia melangkah mendekatiku, “apa kau bodoh?!” bentakan disertai pukulannya ke pintu memenuhi seisi kamar.

“Apa kau tidak ingin menganggapku lagi sebagai Kakakmu? Apa begitu sulitnya untukmu meminta tolong kepadaku? Apa kau begitu bencinya padaku hingga tidak sudi lagi untuk bertemu?!” bentakan bertubi-tubi darinya membuatku seketika tertegun.

“Apa dengan menghilang … Kau bukan lagi adikku?” sambungnya, dengan kali ini menurunkan nada bicaranya.

Aku terus menatapnya, dengan terus berusaha untuk menahan bibirku yang gemetar. Izumi berjalan mendekatiku sambil meletakkan tangan kanannya ke atas kepalaku, “aku mengkhawatirkanmu, Bodoh!” tuturnya seraya menempelkan keningnya menyentuh dahiku, “satu malam pun, aku tidak bisa tidur lelap karena selalu mengkhawatirkanmu,” sambungnya terdengar gemetar.

“Apa kau baik-baik saja?”

Satu kata singkat darinya, membuat tangisanku seketika pecah di hadapannya, “maaf. Maafkan aku … Nii-chan,” ungkapku terisak sambil mengangkat wajah menatapnya.

Dia mendorong kepalaku ke dadanya, diikuti pelukan kuat darinya yang menyelimuti tubuhku. Tangisanku semakin menjadi-jadi, disaat kecupan hangat darinya menyentuh kepalaku. “Jangan menangis lagi! Kau akan membuatku risau jika melakukannya,” ungkapnya sambil melepaskan pelukannya lalu mengusap kedua mataku secara bersamaan.

Tangisanku kembali berlanjut sesaat mataku terjatuh pada sosok laki-laki yang berdiri di ambang pintu.   “Apa kau tidak ingin memelukku juga, Sa-chan?” tukasnya yang berdiri sambil menganggukkan kepalanya.

Aku tertunduk dengan mengusap air mata yang masih terjatuh. Kedua kakiku berjalan, lalu memeluknya erat yang sudah membentangkan kedua tangannya, “Haru-nii,” isakku seraya membenamkan wajah ke dadanya.

“Kami datang untuk membawamu pulang ke rumah,” tuturnya diikuti usapan di belakang kepalaku, “syukurlah, kau baik-baik saja,” sambungnya dengan suara yang tak kalah gemetar.

“Tidak masalah jika kau marah dengan apa yang kami putuskan. Tidak masalah jika kau meluapkan kemarahanmu itu … Tapi jangan tiba-tiba menghilang! Kau, membuatku tidak bisa berpikir jernih karena selalu mengkhawatirkan kalian-”

“Maaf,” jawabku singkat memotong ucapannya, “aku hanya ingin melindungi anak-anakku saat itu,” lanjutku tanpa berani mengangkat pandangan.

“Tidak apa-apa!” Kepalaku terangkat disaat tepukan kurasakan di kepala, “Ebe telah menceritakan kepadaku apa yang terjadi. Lagi pula, memang tujuan awalnya … Kita sedang berusaha menemukan tempat yang aman untuk mereka, bukan?” sambung Izumi sambil melemparkan senyumannya kepadaku.

“Bagaimana? Apa kau telah selesai berbicara dengan Danur?” tanya Izumi yang kali ini mengalihkan pandangannya pada Haruki.

Haruki melepaskan pelukannya padaku, “aku sudah berbicara padanya. Aku juga sudah bertemu dengan Lux, Bernice dan Sabra … Aku telah meminta mereka untuk segera berkemas mengikuti kita,” sahut Haruki sambil melangkah melewati kami.

Tak lama Haruki berjalan, Izumi yang berdiri di sampingku menyusul langkahnya, “di mana kau menyimpan barang-barangmu? Aku akan membereskannya,” ungkap Izumi menimpali perkataan Haruki.

“Seharusnya kalian marah padaku!”

“Marah, kah?” ucap Haruki setelah dia duduk di pinggir ranjang, “aku memang marah dengan apa yang kau lakukan. Namun, rasa sayang terhadap adik perempuan yang sudah kujaga sejak dia kecil … Mengalahkan kemarahan tersebut.”

“Lagi pun, ini bukan satu atau dua kali kau tiba-tiba pergi menghilang tanpa memberitahu kami. Saat kau menyelamatkan Ibu, atau saat kau menyelamatkan bayi perempuan yang sekarang diasuh oleh Danur … Kami sudah terbiasa.”

“Namun Sachi, kenyataan bahwa kami tidak bisa berhenti mengkhawatirkanmu saat kau menghilang. Tolong jangan mengabaikannya, Tupai!” sambung Izumi yang sebelumnya menyahuti ucapan Haruki.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang