“Ayah? Ibu? Kalian sudah sampai?”
Mereka berdua menoleh, lalu tersenyum menatapku yang berjalan mendekat. “Bagaimana keadaan kalian?” sambungku bertanya, setelah tubuhku itu memeluk erat Ibuku.
"Kami baik-baik saja. Bagaimana dengan kalian?"
"Kami sama baiknya, Ibu." Aku melepaskan pelukanku, sambil berjalan sedikit ke samping lalu memeluk laki-laki yang ada di hadapanku itu. “Ayah, aku merindukanmu,” tuturku, pelukanku itu kian mengerat, saat kurasakan usapan yang beberapa kali menyentuh lembut kepalaku.
“Bagaimana keadaanmu? Apa kau baik-baik saja?”
Ayah meletakan kedua tangannya ke pipiku, sesaat pandangan kami berdua saling bertemu, “semuanya baik-baik saja. Zeki dan saudara-saudaraku, menjagaku dengan sangat baik,” sahutku, sebelum kecupan hangat darinya menyentuh kening.
“Syukurlah. Ayah, sangatlah mengkhawatirkanmu,” ungkapnya, dengan kembali mengusap rambutku.
“Ayah, Ibu.” suara Zeki yang tiba-tiba terdengar, membuat pelukanku pada Ayah terlepas sembari berbalik menatapnya yang telah membungkuk ke arah kami.
Ayah berjalan, sambil mengangkat kedua tangannya memegang ujung kedua pundak Zeki. “Jangan lakukan itu! Terima kasih, telah menjaga putriku,” ucap Ayah, setelah dia memeluk dan menepuk-nepuk pelan punggung Zeki.
Lirikan mataku, bergerak ke arah Bibi yang berdiri di dekat Izumi. Kedua kakiku, melangkah mendekatinya yang terlihat tengah membicarakan sesuatu pada Kakakku, “Bibi, terima kasih sudah bersedia membantu ka-” ucapanku berganti dengan erangan kecil, disaat Izumi yang berdiri di dekatnya menjewer telingaku.
“Bagus, Izumi. Kenapa Adikmu itu mengatakan sesuatu yang tak seharusnya dikatakan … Itu membuatku, seperti bukan bagian dari keluarga kalian,” sahut Bibi mencibir, sambil membuang pandangannya dariku.
“Aku tidak bermaksud seperti itu,” gerutuku, diikuti tangan yang beberapa kali mengusap telinga, “maafkan aku, Bibi. Jika aku mengatakan sesuatu yang salah … Bibi, bagaimana keadaan-”
“Sa-chan!”
Bibirku terkatup, membalas lirikan mata Haruki yang terjatuh kepadaku. “Di mana, Ryu?” Dia balas bertanya. Keningku kian mengerut, oleh sikapnya yang seakan-akan sedang berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
“Ryu … Dia berada di Tenda yang jaraknya cukup jauh dari sini.”
“Baiklah. Tatsuya! Pergi dan cari Ryu! Bawa dia untuk menemui kami!” perintah Haruki, sambil menoleh ke arah Tatsuya yang berdiri di dekat Tsutomu.
“Ayah, Ibu, sebelum memutuskan pergi, kami sudah mempersiapkan Tenda untuk kalian beristirahat,” sambung Haruki kembali, dia berdiri di samping Ayah sambil mengangkat sebelah tangannya.
“Bibi, tolong ikut juga dengan kami!” Haruki yang sebelumnya membungkuk, kembali berdiri tegap lalu berjalan mengikuti langkah kedua orangtua kami. Aku, yang melihat Izumi melakukan hal yang sama, ikut melangkah mengikutinya dari belakang, bersama dengan Zeki yang juga turut berjalan di belakangku. “Ini hanya perasaan Ayah, atau memang … Kalian terlihat lebih dewasa dibanding terakhir kali kita bertemu,” ucapan Ayah, membuatku dengan cepat menjatuhkan pandangan ke punggung kedua kakakku.
“Itu mungkin, karena Ayah sudah lama tidak bertemu dengan kami.”
“Mungkin saja,” sahut Ayah singkat, sambil menoleh ke arah Ibu yang merangkul lengannya, “di mana Eneas? Apa dia sedang bersama Ryu sekarang?” Ayah lagi-lagi bertanya, kali ini dengan menoleh ke arah Haruki yang berjalan di belakangnya.
“Eneas sekarang, sedang aku tugaskan untuk melakukan sesuatu, Ayah.”
“Jangan terlalu mendorong adik-adikmu, Haruki! Sebagai yang tertua, kau mempunyai tanggung jawab akan hidup mereka setelah aku.”
“Baik, Ayah. Sesuai perintah darimu,” tutur Haruki, menjawab apa yang Ayah katakan.
Kenapa Ayah mengatakan kata-kata tersebut kepada Haru-nii? Padahal-
“Haruki, selalu menjaga dan memprioritaskan kebahagiaan kami dibanding kebahagiaannya sendiri. Walau kadang, apa yang dia lakukan sering kali tidak sesuai dengan apa yang aku pikirkan … Tapi dia tetap, Kakak yang kami hormati,” Izumi tiba-tiba menyahut, yang membuat pandangan Ayah beralih kepadanya.
“Ayah paham,” jawab Ayah, dengan senyum yang ia lemparkan ke Putra Keduanya itu.
Haruki berjalan melewati Ayah dan Ibu yang sudah menghentikan langkah kaki mereka. Disingkapnya, tirai di Tenda yang ada di depan kami oleh Haruki, sembari tangannya yang lain terangkat ke arah bagian dalam Tenda, ketika dia sendiri mempersilakan Ayah dan Ibu untuk masuk ke dalam. “Kalian juga, masuk ke dalam! Ada yang ingin Ayah bicarakan,” ucap Ayah, sambil menatap kami bergantian, setelah sebelumnya Beliau meminta Ibu untuk berjalan masuk terlebih dahulu.
Aku mengikuti apa yang ia pinta, sesaat mataku yang melirik ke arah Haruki, ia balas dengan anggukan kepala. Kulepaskan sandal yang melekat di kedua kakiku itu, sebelum akhirnya aku berjalan masuk lalu duduk di samping Izumi yang duduk di belakang Haruki. “Apa aku juga harus ikut mendengarkan pembicaraan keluarga kalian?” celetuk Bibi yang juga telah duduk di samping Izumi.
“Kakak, anak-anak terlihat akrab denganmu. Jadi-”
“Baiklah, baiklah, Ardella,” tukas Bibi, tangannya yang terangkat ke depan itu, membuat ucapan Ibuku seketika berhenti.
“Sebelumnya, aku sebagai Ayah mereka, ingin berterima kasih kepadamu yang telah menjaga mereka-”
“Tidak perlu berterima kasih! Mereka sudah seperti anak-anakku sendiri … Semua yang aku lakukan, tidak lain dan tidak bukan, hanya karena alasan tadi,” ucap Bibi, yang segera menyergah perkataan Ayahku, sebelum Ayah sempat melanjutkan ucapannya.
Ayah menarik napas yang sangat dalam, sebelum dia mengeluarkannya kembali dengan tatapan yang sangat terfokus ke arah Haruki, dan juga Izumi. “Ayah sangatlah terkejut, saat kalian berdua datang dengan membawa kabar pernikahan Ryu. Ayah bahagia … Tapi di sisi lain, Ayah juga mengkhawatirkan kalian berdua,” ungkap Ayah lagi kepada mereka.
“Kalian menikahkan Adik-adik kalian, tapi bagaimana dengan kalian berdua? Ayah membicarakan hal ini sekarang, karena entah kapan, kalian akan kembali lagi ke Sora,” sambung Ayah kembali, “Haruki, ini sudah lama sejak kepergian Luana, sudah seharusnya kau memikirkan seorang perempuan yang akan mendampingimu, sedang kau, Izumi! Ayah tidak ingin mendengar alasan bahwa kau ingin menikah setelah perang selesai, jika kau tidak ingin menikahi Tunanganmu-”
“Ayah,” lanjut Ayah, menyambung kata-katanya yang sempat terhenti, “sudah memiliki kandidat calon yang tepat untuk kalian berdua-”
“Tapi, Ayah-” kata-kataku yang memotong ucapan Ayah tercegat, sesaat kedua kakakku itu secara bersamaan menoleh ke arahku.
Ada apa ini? Kenapa mereka seperti ingin menyembu-
Mataku, dengan cepat beralih kepada tangan Zeki yang memegang pundakku. Aku tertunduk, disaat tangan Zeki yang ada di pundakku tadi, sudah turun untuk menggenggam kuat tanganku. “Dan untukmu, Sachi!” Kepalaku dengan cepat kembali terangkat, disaat seruan dari Ayah memanggilku, “pewaris tahkta, sangatlah dibutuhkan oleh seorang Raja. Kau pasti paham maksud Ayah, bukan?” ucap Ayah lagi, yang membuatku dengan cepat terkesiap.
“Ayah, aku tidak-”
“Zeki!” Ayah yang kembali membuka suaranya, membuat bibir Zeki terkatup, “walau kau seorang Raja, tapi Duke, Viscount dan lain sebagainya … Semua pendapat mereka, tidak bisa kau abaikan, karena mereka secara tidak langsung, ikut membantumu menjaga sebuah Kerajaan. Memiliki seorang pewaris tahkta, bukan hanya membuat sosokmu semakin kuat di mata mereka … Sosok Putriku yang menyandang status sebagai Ratu yang mendampingimu, akan ikut kuat di mata mereka. Seharusnya, kau sudah paham akan hal ini!”
“Kudou!” Ibu mengangkat suaranya, dengan salah satu tangannya menyentuh punggung Ayah, “ini hari membahagiakan untuk salah satu Putra kita. Bahas hal itu nanti, setelah pernikahan Ryu selesai. Lihatlah mereka! Wajah mereka semua terlihat lelah, jadi biarkan mereka beristirahat,” tutur Ibu, bibirnya tersenyum setelah Ayah menghela napas sambil memijat-mijat kepalanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...