Chapter DCXCIV

2.8K 465 20
                                    

Aku berjalan mendekati pintu kamar lalu membukanya. “Ada apa, Chandini?” tanyaku kepadanya yang telah berdiri di balik pintu.

Tubuhnya membungkuk ke arahku, “Putri Julissa menunggu di Taman,” ucapnya, pelan sebelum kembali berdiri tegak.

Aku menoleh ke belakang, ke arah Ihsan dan juga Huri yang tengah bermain di atas ranjang. “Baiklah, aku akan segera ke sana,” ungkapku seraya berbalik menatapi mereka berdua, “Ihsan, Huri! Ibu ingin pergi sebentar. Kalian ingin tetap di kamar atau ikut dengan Ibu?”

Mereka berdua saling bertatap satu sama lain dengan lama, sebelum akhirnya beranjak turun dengan berlari ke arahku. “Kami ikut dengan Ibu,” ungkap Huri sambil memeluk erat pahaku.

Aku menghela napas, “baiklah. Ambil dan pakai sandal kalian! Ibu akan menunggu!” perintahku dengan berjalan sedikit keluar kamar.

Mereka dengan cepat kembali mendekati ranjang, lalu balik lari ke arahku setelah melakukan apa yang aku perintahkan. “Tunjukkan kami jalannya, Chandini!” pintaku sambil meraih dan menggenggam tangan Ihsan dan Huri di kanan dan kiri tubuhku.

Chandini mengangguk lalu berjalan melewati kami setelah sebelumnya dia membantuku menutup kembali pintu.  Dia membawa kami cukup jauh menelusuri lorong Istana. “Julissa!” panggilku ke arah seorang perempuan berambut pirang yang duduk membelakangi kami.

Perempuan tersebut dengan cepat menoleh ke arahku, “Sachi,” balasnya memanggil, hanya saja menggunakan nada suara yang sangat pelan.

“Ibu ingin berbicara dengan Bibi Julissa. Kalian, mainlah di sekitar sini!” pintaku seraya menatap Huri dan Ihsan secara bergantian.

Genggaman tanganku kepada mereka terlepas ketika anggukan pelan mereka lakukan. Aku melirik ke arah Chandini yang berjalan menjauh setelah Julissa memintanya untuk meninggalkan kami. “Ada apa?” tanyaku sembari berjalan lalu duduk di sampingnya.

“Bagaimana ini, Sachi?” tukasnya lemah dengan kedua tangan menutupi wajahnya yang tertunduk.

“Julissa, kau tidak menanggapi setiap perkataanku dengan serius, bukan?”

“Tentu saja tidak!” sahutnya dengan tiba-tiba, “kalau apa yang kau katakan itu benar. Kau, kau tidak akan mungkin sampai memiliki dua anak seperti sekarang!” ucapnya lagi, kali ini disertai matanya yang memerah menatapku.

“Lalu? Apa yang kau khawatirkan?”

Dia kembali menyandarkan dirinya sambil meremas kedua tangannya sendiri, “aku takut … Bagaimana jika Adinata tidak menyukai tubuhku, lalu dengan tiba-tiba dia meninggalkanku? Aku, tidak ingin kehilangannya,” ungkapnya lemah seraya tetap mempermainkan jari-jemarinya.

“Kau tahu, Julissa! Saat aku dan Zeki, baru saja menikah,” jawabku dengan duduk menyandarkan diri di bangku kayu yang ada di Taman, “aku pun, juga merasakan kekhawatiran yang sama. Tapi semakin lama aku tersadar, dia laki-laki … Seorang Raja, yang bisa memilih perempuan mana saja yang ia inginkan, tapi dia justru menungguku dan memilihku untuk menemani hidupnya.”

“Aku menyadari semua kelemahanku, kewajibanku sebagai pasangannya. Dan saat kami melakukan hal tersebut untuk pertama kalinya pun, yang ada di dalam pikiranku hanyalah … Bagaimana jika dia kecewa setelah melihat tubuhku? Tapi dia berhasil menenangkanku, dan jujur, aku menikmati setiap perlakuan yang ia lakukan malam itu.”

“Seperti yang kau katakan, kalau aku tidak menikmatinya … Mustahil aku bisa memiliki mereka berdua,” ungkapku lagi, bibirku kembali tersenyum tatkala wajah Julissa memerah menatapku, “tapi Julissa, sebagai teman, aku hanya akan memberikanmu nasihat ini. Tidak banyak perempuan yang memiliki hidup seberuntung kita. Jaga baik-baik apa yang kau dapatkan! Laki-laki juga manusia, terlebih untuk para Bangsawan yang sejak lahir sudah diberikan apa pun dari kedudukannya. Lakukan apa pun untuk membahagiakan suamimu, jangan malu untuk melakukan apa pun terlebih dahulu kepadanya … Ambil inisiatif apa pun, agar dia tidak bisa berpaling kepadamu, tapi tetap berikan dia kebebasan untuk melakukan apa yang ia sukai.”

“Hanya pikirkan saja seperti ini, saat kau ingin melakukan sesuatu kepadanya … Jika aku diperlakukan seperti itu, apa aku akan menyukainya? Temanku tidaklah bodoh, untuk tidak mengerti maksud dari perkataanku, bukan?” tukasku yang lagi-lagi tersenyum dengan menepuk pelan pundaknya.

_________.

“Sachi, berhati-hatilah!” ungkapnya sembari memeluk erat tubuhku.

Aku membalas pelukannya sambil mengusap pelan punggungnya, “kau pun, Julissa. Jaga dirimu!” ucapku, seraya menepuk pelan pipinya saat pelukan di antara kami terlepas.

Dia tertunduk dengan mengangguk pelan menjawab ucapanku. “Paman, Adinata … Aku menitipkan temanku ini pada kalian,” sambungku yang kali ini mengalihkan pandangan kepada Raja Bagaskara dan Adinata bergantian.

“Berhati-hatilah!” sahut Raja Bagaskara singkat kepadaku.

“Segera beri kabar kepada kami kalau saja kalian memerlukan sesuatu sepanjang perjalanan,” lanjut Adinata menimpali perkataan Ayahnya.

Kepalaku mengangguk, membalas perkataan mereka berdua. “Sampai bertemu lagi, Julissa,” tukasku, dengan sedikit menunduk, meraih tangan Huri yang berdiri menungguku.

“Huri, nanti ke sini lagi untuk menemui Bibi, ya! Bibi, akan membuatkanmu gaun yang cantik saat kalian datang ke sini lagi!” pungkas Julissa, diikuti tangannya yang melambai ke arah kami.

“Huri, katakan apa kepada Bibi Julissa?”

Huri turut melambaikan tangannya setelah menoleh ke arahku, “sampai jumpa lagi, Bibi Julissa. Huri senang sekali, bermain di sini bersama Bibi,” sahut Huri dengan tersenyum lebar.

“Kakek, sampai jumpa! Huri akan menjaga hadiah Kakek, baik-baik,” sambungnya yang kali ini melambaikan tangan ke arah Raja Bagaskara.

Aku membungkuk lalu berjalan mengajak Huri, tatkala Raja Bagaskara membalas lambaian tangannya. Aku membawa Huri mendekati kuda, lalu mengangkatnya hingga ia duduk di atas kuda tersebut sebelum aku duduk menyusulnya. “Kakek memberikanmu hadiah?” tanyaku sambil menunduk menatapinya.

Kuda yang aku tunggangi bergerak, mengikuti langkah kaki kuda lainnya yang telah mulai berjalan. “ini Ibu, cantik, bukan?” tukasnya sambil menunjukkan sebuah Mahkota kecil dari dalam tas miliknya.

Mahkota yang dilapisi emas itu, terlihat sangat cantik dengan hamburan batu permata yang menghiasinya. “Kakek mengatakan, bahwa aku bisa memakainya saat nanti kita pulang. Kak Ihsan juga dapat satu dari Kakek, Ibu,” ungkapnya sambil tersenyum lebar dengan menggenggam erat Mahkota itu.

“Benarkah? Huri akan terlihat sangat cantik saat memakainya. Simpan baik-baik agar Huri bisa memakainya nanti,” ucapku sambil mengusap pelan kepalanya yang mengangguk pelan.

Aku membantunya menyimpan lagi Mahkota tersebut ke dalam tas miliknya yang hanya diisi oleh benda itu saja. Kugerakan kembali tali kekang kudaku, menyusul Zeki yang turut menghentikan kuda miliknya menunggu kuda kami yang sebelumnya berhenti. “Jangan tiba-tiba berhenti seperti itu!” tukasnya, saat kudanya sendiri telah berjalan di sampingku.

Aku kembali tertunduk tanpa menjawab perkataannya. Karena jujur, pikiranku terlalu berkemelut dengan keadaan Ihsan dan Huri ... Saat mereka mengetahui, bahwasanya kami akan menitipkan mereka ke sana, ke tempat yang sangat jauh dari kami.

"Jangan lemah dengan keputusanmu sendiri!"

Kepalaku dengan cepat terangkat, menatapinya yang masih menoleh ke arahku, "aku tahu. Aku mengerti. Aku tidak akan melakukannya," ungkapku menjawab perkataannya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang