Sudah lepas beberapa bulan sejak kelahiran putra kembarku. Awalnya, aku kesulitan untuk merawat mereka … Karena aku selalu beranggapan, jika saja aku tidak hamil dan melahirkan mereka, semua waktuku tidak akan terbuang sia-sia. Aku, mungkin bisa mencegah semua itu.
Namun apa yang aku lakukan, justru menyiksa diri sendiri dan bahkan menyiksa anak-anakku yang sama sekali tak melakukan kesalahan apa pun. Jika mereka semua tidak berada di sini … Jika Kakakku, Izumi, tidak berada di dekatku, mungkin … Aku tidak akan pulih secepat ini.
Rasa sakit tersebut, tidak serta-merta hilang. Aku masih merasakannya, masih sangat merasakannya … Hanya saja, aku sudah berdamai dengan rasa sakit itu. Aku menerima semuanya, dan aku merasa jauh lebih baik dibanding harus menyangkal semua hal tersebut.
Bibirku tersenyum, menatapi salah satu putra kembarku yang menelungkup sambil mengecap tangannya sendiri. Aku segera mengangkat dan memangku dia, “lihatlah! Kakakmu Ihsan, dia sudah sangat pandai memanah,” ucapku sambil menunjuk ke arah Ihsan yang tengah belajar memanah bersama Haruki.
Aku tersenyum sambil mencium kepala Sema, putra yang lahir pertama di antara si kembar. Sema, berartikan juga sebagai Surga. Nama yang aku ambil menggunakan Bahasa Yadgar, dengan harapan jika dia nanti dapat membahagiakan semua orang di sekitarnya. Sedang Adiknya kuberi nama Anka, berartikan keajaiban … Berisikan harapan, jika nanti ketiga kakaknya menemui kesulitan, dia akan mampu mengusir keresahan yang dialami ketiga kakaknya, seperti halnya keajaiban itu sendiri.
“Tsubaru, jika dia sudah tertidur, kau bisa membaringkannya,” ungkapku sambil menepuk kain yang menjadi alas duduk di atas rerumputan.
Tsubaru masih menimang Anka, sambil sesekali menyanyikan lagu tidur dikala Anka mulai menggeliat, “Pangeran Anka akan langsung bangun kalau dibaringkan. Tidak apa-apa, Ratu. Aku akan menggendongnya saja seperti ini,” sahut Tsubaru yang tersenyum menatapku.
“Aku bukanlah Ratu, jadi jangan memanggilku seperti itu lagi, Tsu nii-chan,” ucapku sambil kembali menunduk dengan tangan mengusap rambut tipis Sema.
“Hanya diriku sendiri yang berhak memutuskan untuk memanggilmu seperti apa. Aku tidak akan mengubahnya.”
“Baiklah. Terima kasih, Tsubaru. Aku benar-benar sangat tertolong berkat kehadiranmu,” jawabku yang kembali tersenyum menatapnya.
_____________.
Aku menyendok kuah sup yang meletup-letup di hadapan, “Tsu nii-chan, coba cicipi ini! Apa menurutmu ini sudah pas?” panggilku sambil meniup asap yang mengitari kuah di sendok.
Tsubaru meninggalkan piring yang hendak ia susun ke meja, dan berbalik menjawab panggilanku. Dia membuka sedikit bibirnya, menyeruput kuah di sendok yang kujulurkan padanya, “rasanya sudah lezat, tapi mungkin akan sedikit kurang untuk Pangeran Ihsan. Dia lebih menyukai masakan yang sedikit asin.”
“Benarkah? Aku baru tahu hal ini … Ini kali pertama untukku memasak makanan untuk mereka setelah sekian lama.”
“Mungkin karena mereka sudah tinggal beberapa lama di tepi pantai, atau mungkin karena dia memang sangat menyukai masakan Ibunya. Aku akan menyiapkan mangkuk berisi garam, khusus untuk Pangeran Ihsan … Ratu, tidak perlu khawatir,” balasnya sambil berbalik pergi mendekati meja makan.
Aku meraih dua lipatan kain yang ada di dekat tungku, lalu membawa panci berisi sup panas itu ke meja. “Aku akan memanggil anak-anak. Apa aku bisa menyerahkan sisanya kepadamu, Tsu nii-chan?”
“Tentu,” sahutnya dengan kepala mengangguk.
“Terima kasih.” Bibirku tersenyum sebelum meninggalkannya sendirian. Aku berjalan menyusuri anak tangga lalu berhenti, tepat di depan kamarku. Kubuka pintu kamar, lalu menghela napas berat setelah menemukan Ihsan dan Huri yang tertidur di lantai dengan banyak sekali kertas berhamburan di dekat mereka.
Aku duduk seraya menepuk pelan punggung Huri yang lelap tertidur dengan posisi tengkurap, “Huri, Ihsan, bangunlah! Kita makan terlebih dahulu, baru kalian bisa lanjut tidur,” panggilku sembari mencoba untuk membangunkan mereka secara bergantian.
Ihsan terbangun, lalu beranjak dengan mata yang setengah sadar. “Bangunlah Ihsan! Ajak Adikmu untuk makan malam! Paman Tsubaru sudah menunggu kita di bawah,” ungkapku sambil mengusap kepalanya.
Ihsan menunduk, menatapi Huri yang masih tertidur di dekatnya, “Huri! Bangunlah!” panggil Ihsan disela-sela mulutnya yang menguap lebar.
“Kakak, aku masih ingin tidur,” sahut Huri dengan mata yang enggan terbuka.
Aku beranjak lalu berjongkok sembari memunguti satu per satu kertas yang tercecer, “Huri, kau harus makan kalau ingin menjadi kuat. Ibu tidak akan mengizinkanmu latihan lagi kalau kau malas makan seperti ini!”
Dia segera bangun setelah perkataanku selesai kuucapkan. “Tuntun dia, Ihsan! Lalu berhati-hatilah saat menuruni tangga!” perintahku, sesaat kedua mata Huri yang merah itu, bertemu dengan tatapanku pada mereka.
Ihsan yang telah berdiri, masih berusaha untuk menarik lengan Huri yang terlihat enggan untuk beranjak. Aku kembali menghela napas, memperhatikan mereka yang sudah mulai beriringan, melangkahkan kaki meninggalkan kamar. Setelah mereka benar-benar pergi, pandanganku baru beralih pada kedua putra kecilku yang tertidur lelap di atas ranjang.
Aku duduk di tepi ranjang sambil meletakkan kumpulan kertas yang berhasil kukumpulkan ke kasur. Tubuhku sedikit maju, merapikan selimut yang sedikit tersibak di kaki Sema. “Untungnya, mereka tidak terlalu sering menangis,” ucapan Uki yang melintas di kepala, membuat mataku segera menoleh padanya yang tertidur di ujung ranjang.
Uki membuka kedua matanya, lalu lama menatapku, “apa kau ingin melakukan pembalasan pada mereka? Kami sudah lebih dari cukup beristirahat,” sambung Uki seraya beranjak dengan kedua sayapnya yang terbuka lebar.
Aku kembali menjatuhkan pandangan pada Sema dan juga Anka, “aku sudah kehilangan ambisiku untuk mengalahkan Kekaisaran. Aku hanya ingin … Menjadi seorang Ibu yang membesarkan anak-anaknya.”
“Aku, sudah terlalu takut untuk kehilangan siapa pun lagi. Aku, sudah lelah mengorbankan kebahagiaanku untuk mewujudkan kebahagiaan orang lain,” sambungku dengan menoleh lagi padanya.
“Bagaimana dengan Robur Spei? Bagaimana dengan kegelapan? Dan bagaimana dengan mereka yang ingin sekali kau tolong?”
Aku tersenyum getir, setelah mendengar ucapannya, “aku bahkan tidak bisa menolong diriku sendiri. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan kebahagiaanku sendiri … Akan terasa sangat arogan, jika saja aku mengatakan ingin menolong mereka semua.”
“Aku berniat, untuk meminta Saudara-saudaraku menyerah dalam membalas dendam pada Kekaisaran. Namun sepertinya hal itu akan percuma, karena Kaisar telah membunuh orangtua mereka. Aku hanya takut, jika nanti Prajurit-prajurit dari Kerajaan Sekutu justru mengkhianati kita … Seperti yang sering aku katakan dulu pada mereka, laki-laki tidak memiliki alasan kuat untuk memberontak pada Kaisar.”
“Bagaimana jika Kaisar berhasil menyakinkan mereka dengan mengatakan … Selama aku berkuasa, kalian tidak akan disamaratakan dengan para perempuan yang tak berharga itu. Kalian akan tetap menjadi kalian, jadi untuk apa berjuang untuk memberikan apa yang sudah kalian miliki pada mereka yang sangat tidak layak?”
“Aku benar-benar akan kehilangan segalanya jika itu terjadi. Aku bahkan terlalu takut untuk membayangkan semua itu. Kekaisaran sangatlah mengerikan, Dunia ini sangatlah mengerikan … Sudah, cukup, aku menyerah.”
“Kau benar-benar menyedihkan,” tutur Uki, aku hanya bisa tersenyum kecil mendengar ucapannya yang menimpali perkataanku, “jika saja air mataku mampu untuk menyembuhkan lukamu itu, aku akan memberikannya … Sebanyak apa pun yang kau butuhkan,” sambungnya sambil kembali duduk dan memejamkan matanya.
Aku menghentikan lirikan, pada tumpukan kertas milik Ihsan dan Huri yang berhasil kukumpulkan. Kuraih tumpukan kertas yang ada di hadapanku itu … Aku tertunduk, dengan tangan kiri menutup kedua mata. Kugigit bibir, diikuti tangan kananku yang meremas kuat kertas berisi penuh huruf-huruf Yadgar yang ditulis oleh mereka.
“My Lord, apa kau bisa mengunjungiku? Ada sesuatu, yang ingin aku tunjukkan,” tukas suara Kou yang dengan tiba-tiba terbesit di dalam kepala.
![](https://img.wattpad.com/cover/255183933-288-k758823.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasíaKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...