Chapter DCCLXXVII

1.5K 395 81
                                    

Aku bernapas lega, sungguh-sungguh bernapas lega ketika suara tangisan kedua ikut memenuhi ruangan. Mataku yang sayu itu, terus menatapi Amanda … Dia berjalan mendekatiku sambil menggendong bayi yang baru saja kulahirkan. “Aku akan membersihkan tubuh Adiknya. Susui Kakaknya terlebih dahulu, dia pasti lapar,” ucap Amanda sesaat dia sudah duduk di dekatku.

Tanganku bergerak, meraih bayi tersebut ke gendonganku. Seketika, mataku terasa panas disaat dia yang terbungkus kain putih itu menggeliat. “Dia laki-laki. Mereka berdua laki-laki,” sambung Amanda sambil mengusap kepalanya.

Kepalaku terangkat, memandang Amanda yang kembali melangkah pergi. “Sabra, apa kau bisa membantu merobek pakaianku? Aku, harus menyusui mereka,” ungkapku dengan tak melepaskan pandangan dari bayiku itu.

Aku membaringkannya di sampingku tatkala Sabra sendiri telah muncul menjawab panggilanku. Pisau kecil di tangan Sabra merobek gaun yang kukenakan hingga ke perut, “terima kasih,” ucapku kembali sambil menggendong lagi bayiku.

Aku termenung, memandangnya yang terlihat lahap mengisap payudaraku, sambil kuraih dan kuusap telapak tangannya yang menekan dadaku. “Kenapa kau murung seperti itu! Seorang Ibu seharusnya bahagia melihat anaknya lahir dengan selamat!” tutur Nenek Abony yang masih sibuk membersihkan area intimku.

“Aku bahagia Nenek, hingga tidak bisa berkata-kata lagi,” sahutku seraya mengusap kepala putraku.

______________.

Aku membaringkan bayi kedua yang baru selesai kusapih. Hening benar-benar terasa menyelimuti kamar ini, karena Nenek Abony melarang siapa pun untuk datang agar istirahatku tidak terganggu. “Sachi!” panggilan yang seperti bisikan terdengar dari balik pintu.

Aku segera merapikan pakaianku dengan mengikat kedua ujungnya, “masuklah!” jawabku setelah selesai melakukannya.

Pintu terbuka dengan deritan yang mengiringinya. Kakakku, Izumi, berjalan masuk sambil membawa nampan di kedua tangannya, “aku membawakanmu makanan. Makanlah! Ini masih hangat,” ucap Kakakku itu setelah duduk di tepi ranjang.

Dia menoleh pada dua bayi yang tidur berbaris di sebelahku, “Amanda mengatakan, mereka berdua laki-laki. Huri dan Ihsan, terlihat sangat senang saat mendengarnya,” sambungnya yang sama sekali belum kutanggapi.

“Aku iri, pada Kak Amanda dan juga Ebe … Kedua Kakakku menemani pasangan mereka, bahkan tidak melepaskan genggaman saat proses menyakitkan itu berlangsung. Aku tidak tahu harus memanggil mereka berdua apa … Aku, sama sekali tidak terpikirkan nama yang akan kuberikan untuk mereka,” tuturku sambil memandang kosong ke depan.

“Aku ingin tidur, nii-chan! Letakkan saja makanan itu ke meja! Aku akan memakannya … Kalau lapar,” lanjutku sambil berbaring menyamping, membelakangi Kakakku itu.

Mataku terpejam, tanpa memedulikan kehadirannya lagi. “Panggil aku, jika kau membutuhkan sesuatu,” kata-kata singkat dari Izumi, terasa menimpali usapan di belakang kepalaku.

Aku terus mendengarkan langkahnya yang terdengar kian menjauh. Kedua mataku baru terbuka kembali, disaat deritan suara pintu mengusik keheningan. Tubuhku beranjak, lalu bersandar di kepala ranjang setelah aku memastikan tidak ada seorang pun di kamar kecuali aku dan kedua bayiku.

Mataku menoleh, ke arah mereka berdua yang terlihat sangat lelap. Tanpa bisa kukendalikan, air mataku jatuh setelah menatap lama wajah mereka. “Rasanya melelahkan … Apa kau tahu? Mengandung dan melahirkan anak kembar rasanya sangat melelahkan,” suaraku yang bergumam itu terdengar gemetar.

“Aku melahirkan anak-anakmu lagi … Seharusnya kau ada di sini, memberikan nama untuk mereka berdua, Zeki.” Aku sesegukan, berusaha kuat untuk tak menangis terlalu keras agar mereka tetap terlelap, “aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Aku pun tidak tahu, apa yang terjadi kepadamu sekarang … Tapi, kumohon, kumohon … Kau tetap harus baik-baik saja demi keluarga kita.”

Tangisanku menguat dikala kedua tanganku bergerak menutupi wajahku yang tertunduk. Aku segera menghentikan tangisan, lalu menoleh dan menepuk-nepuk paha salah satu putraku yang baru saja hendak menangis. “Tidurlah! Ibu ada di sini,” ucapku tersedu-sedu di sela-sela tangisan yang berusaha kuhentikan.

__________.

Aku duduk, menyandarkan punggung di kepala ranjang. Mataku menatap lurus ke depan sambil tanganku menepuk-nepuk paha salah satu putraku yang aku timang di pangkuan. “Kau sudah bangun? Aku membawakanmu sarapan,” tukas suara laki-laki melintas.

Mataku baru menoleh, pada sosok laki-laki tersebut setelah dia duduk di dekatku. “Apa kau sama sekali tidak memakannya? Izumi pasti kecewa, karena dia sendiri yang langsung memasaknya untukmu,” ungkap Haruki sesaat matanya terjatuh pada makanan di piring pemberian Izumi yang sama sekali tak kusentuh sejak semalam.

“Baringkan anakmu terlebih dahulu dan makanlah ini! Aku akan meminta Amanda atau Ebe untuk membantumu membersihkan tubuh,” sambungnya, dia terus berbicara walau aku tak menyahutnya.

“Sa-chan!”

Dia mengangguk, tatkala mataku terangkat menjawab panggilannya. Kubaringkan putraku itu di samping saudaranya, sebelum tangan kananku bergerak untuk meraih sepiring makanan yang diberikan Haruki. Aku tertunduk tanpa bersuara, menatapi kumpulan nasi putih di piring itu, “Haru-nii, apa yang akan terjadi pada kami?” ucapku gemetar sambil memegang sendok di piring.

Air mataku kembali jatuh, membasahi nasi yang kakakku bawa. “Apa ada kabar mengenai Yadgar ataupun Zeki? Kalian tidak pernah memberikanku informasi apa pun karena mengkhawatirkan kondisiku. Namun nii-chan, aku tidak bisa membesarkan empat orang anak secara sekaligus sendirian.”

“Haru-nii pasti sudah tahu apa yang terjadi … Beritahu aku! Beritahukan aku, agar aku bisa melakukan apa yang seharusnya aku laku-”

“Zeki, memperkenalkan seorang perempuan sebagai Ratu pada rakyatnya,” kata-kata Haruki yang memotong ucapanku, membuatku seketika tertegun, “apa kau masih ingat dengan keponakan Viscount Okan yang diangkat menjadi Duke? Dia, yang memberikan kabar tersebut padaku,” sambungnya yang semakin membuatku tak bisa berkata-kata.

“Di dalam suratnya dituliskan, Raja bertingkah aneh sejak kepulangannya ke Yadgar. Dia mengeksekusi seluruh Kesatria Sora yang mengantarnya, saat Kesatria tersebut menyebut nama Sora! Aku tidak tahu persis apa yang terjadi, tapi perkiraan tersebesarku hanyalah … Kutukan tersebut, mengacaukan ingatannya.”

“Dia tidak mengingat Sora, dan itu berarti dia juga tidak mengingatmu … Dia, sudah pasti tidak mengingat bahwasanya kalian sudah memiliki anak-”

“Kalau itu hanya kutukan, Uki pasti bisa menyembuhkannya,” ungkapku menyahuti ucapannya.

“Mereka sedang menanti kelahiran anak mereka,” ucapan Haruki membuatku seketika membisu, “apa kau tidak paham maksud dari ucapanku sebelumnya? Dia mengangkat seorang Ratu, dan itu berarti dia telah menikahi perempuan tersebut … Anak mereka akan segera lahir. Apa kau masih ingin menyelamatkannya?”

Haruki beranjak sambil meraih nampan berisikan makanan sisa semalam, “di dalam suratnya juga bertuliskan, setiap hari beberapa mayat dibawa masuk ke dalam Istana. Jika sudah menyangkut soal mayat, kau pasti telah mengerti, siapa yang bersembunyi di dalam sana-”

“Sihir Bibi sangat menakjubkan, tapi dia justru kehilangan nyawanya karena kalah melawan sesuatu yang bersembunyi di sana. Lupakan semuanya, Sachi! Kakakmu ini, lebih dari mampu jika hanya untuk merawat dan memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu,” lanjut Haruki dengan melangkah membawa nampan tadi keluar kamar.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang