Chapter DCCLXVIII

1.6K 380 12
                                    

Aku berhenti sejenak setelah cukup lama menyusuri Kastil. Kutarik napas sebelum mulai melangkah lagi menaiki anak tangga yang ada di hadapanku. Beberapa obor di dinding yang masih menyala, membuat pandanganku menangkap jejak darah di sepanjang anak tangga yang terlihat samar-samar.

Langkahku terus berlanjut, walau mataku akan sesekali melirik pada mayat laki-laki dengan seluruh isi perutnya tercecer di sekitar anak tangga yang baru saja aku lewati. Aku termangu setelah anak tangga yang kunaiki akhirnya berakhir, “mereka membuat tempat ini terlihat menyeramkan,” gumamku seraya lanjut berjalan melewati beberapa mayat tertutup jubah yang tergeletak begitu saja di lantai.

Aku berbelok, memasuki satu-satunya ruangan tanpa pintu di sini. Kepalaku bergerak … Menatapi lemari-lemari penuh buku yang ada di ruangan tersebut. Baru saja aku ingin melangkah masuk, suara napas tak teratur … Terdengar dari dalam ruangan tadi.

Aku memberanikan diri memasukinya … Hingga, langkahku kembali berhenti di depan tubuh seorang laki-laki yang berbaring telentang di dekat deretan meja yang ada di tengah-tengah ruangan. “Ada yang masih hidup ternyata,” ucapku sambil menatap laki-laki tersebut yang terlihat kesulitan untuk mengambil napas.

Dia mengerang kesakitan, dikala kaki kananku menginjak luka besar, bekas cakaran di dadanya. “Ternyata, kalian juga manusia biasa. Bagaimana rasanya … Menunggu kematian diri sendiri?” tuturku dengan memperkuat pijakan kakiku di luka laki-laki itu.

“Sebelum kau mati. Apa kau bisa memberitahukanku, di mana aku bisa mendapatkan catatan-catatan penting milik kalian?”

“Kalian benar-benar keras kepala,” sambungku setelah perkataanku hanya dijawab oleh erangan menahan sakit dari laki-laki tersebut.

Mataku menyipit lalu berjalan meninggalkannya yang masih mengerang kesakitan. Aku berhenti di depan sebuah buku yang menyelip di antara buku-buku lainnya. Cukup lama aku memandang buku tersebut, sebelum menariknya lalu membawanya menjauh dari rak. Aku menarik salah satu kursi yang ada di dekat jendela lalu mendudukinya. Helaan napas kukeluarkan sambil kuletakkan buku yang ada di tanganku itu ke meja.

Kubuka lembar per lembar halaman pada buku. Mataku membaca semua yang tertulis di sana dengan seksama … Huruf demi huruf, kata demi kata dan kalimat demi kalimat. “Apa yang kau baca?” Aku sedikit terperanjat disaat suara Lux tiba-tiba terdengar.

Mataku menoleh kepadanya yang terbang di sampingku. Saat aku memandang Lux, mataku ikut menangkap sosok Bernice dan juga Sabra yang berjalan masuk dengan salah satu di antara mereka membawa sebuah obor di tangan. “Aku hanya membaca nama-nama perempuan yang rencananya akan dieksekusi dalam beberapa pekan kedepan,” ucapku sambil menjatuhkan lagi tatapan pada buku di meja.

Lux terbang di hadapanku, “ini banyak sekali. Apa yang akan kau lakukan dengan semua ini?” tanyanya yang kembali menatapku setelah membaca cukup lama tulisan di buku.

“Tidak ada. Terlalu banyak … Mereka tersebar di banyak Kerajaan, mustahil untukku menyelamatkan mereka,” sahutku menjawab pertanyaan Lux.

“Aku membaca Yadgar di sana. Apa Yadgar masih menjalani tradisi tersebut?”

Aku kembali menghela napas dengan tatapan yang kubuang ke luar jendela, “kakakku meminta Zeki untuk menjalani hubungan yang baik dengan Kekaisaran. Jadi mungkin saja … Dia masih melakukan tradisi tersebut agar Kekaisaran tidak curiga.”

“Dia memang mengizinkannya, dengan balasan hukuman yang sama pada laki-laki yang menolak pertunangan. Karena itulah, walau masih ada, tapi eksekusi sudah jarang dilakukan di sana,” sambungku dengan memangku dagu menatapi jendela.

“Kau menerima semua hal tersebut begitu saja?”

“Mau bagaimana lagi, dia Raja dan aku Ratu. Kami tidak bisa menggunakan perasan pribadi untuk memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan Kerajaan. Mungkin karena Ayahku adalah Adik Kaisar jadi Kaisar tidak terlalu menyerang Sora secara terang-terangan … Tapi hal itu tidak akan berlaku untuk Yadgar. Aku tidak ingin, tindakan sembrono yang kulakukan justru menghancurkan Kerajaan tersebut.”

Helaan napasku lagi-lagi keluar, kali ini lebih kuat dari sebelum-sebelumnya, “bahkan sampai sekarang pun, kekuasaan milik Kaisar masih sulit untuk diruntuhkan,” sambungku bergumam seraya terus memandang titik-titik air yang menempel lalu jatuh mengalir di jendela.

Suara gemuruh terdengar dari luar, diikuti titik-titik air yang semakin banyak berkumpul hingga membasahi seluruh permukaan jendela. Mataku terpejam, merasakan semilir angin dingin yang masuk dari celah-celah jendela menyentuh wajah dan rambutku. “Jika Yadgar menjalin hubungan dengan Kekaisaran … Bukankah itu tidak baik untukmu, Sachi? Maksudku, pernikahanmu dan Zeki bahkan tidak diketahui oleh rakyat Yadgar itu sendiri,” ucapan Lux membuatku kembali membuka mata.

“Aku hanya tidak ingin, kejadian yang lama akan terulang lagi … Terlebih, Kaisar memiliki kekuasaan untuk melakukan apa pun pada hidup seseorang, walau dia Raja sekali pun,” sambung Lux, bersambung dengan suara guntur hingga kilatan cahaya yang menembus jendela.

“Aku sudah merperkirakan kalau hal itu mungkin akan terjadi. Aku menyerahkan semua keputusan kepada Zeki … Dia akan mempertahankanku atau tidak, aku tidak memiliki hak untuk ikut andil dalam keputusan tersebut.”

“Menyedihkan, bukan, Lux? Aku bahkan selalu menyebut-nyebut bahwa aku adalah Ratu Yadgar … Padahal, rakyat Yadgar sendiri tidak tahu kalau mereka memiliki seorang Ratu. Jika dunia ini masih berpihak penuh pada laki-laki … Aku mengkhawatirkan nasib Putriku yang mungkin akan kehilangan haknya,” lanjutku sambil kugigit kuat bibirku yang gemetar itu.

“Sekarang aku baru sadar … Kenapa dulu kakakku, Haruki, melarang kami untuk jangan memiliki anak terlebih dahulu. Andai aku tahu kalau hidupku akan berakhir seperti sekarang … Aku mungkin akan menolak mentah-mentah rencana tersebut. Aku mungkin, akan menolak ajakan Zeki untuk menikah. Bodoh sekali … Aku masih tetap merasa bahagia memiliki mereka,” ungkapku kembali, dengan kali ini menyembunyikan wajah ke dalam kedua lenganku yang terlipat di atas meja.

“Aku tidak terlalu khawatir pada Zeki. Dengan melihatnya saja, aku sudah tahu seperti apa dia mencintaimu. Jadi jangan habiskan tenagamu untuk menangisi sesuatu yang tak berguna! Aku akan meminta Bernice dan Sabra membantuku membawakan buku-buku penting yang ada di sini … Kau harus membantuku nanti untuk membaca semua itu!” Aku mengangguk, setelah dia menyelesaikan ucapannya.

Kuangkat dan kumiringkan kepala hingga mataku kembali jatuh ke jendela, “aku sangatlah penasaran … Seperti apa Kaisar itu,” gumamku lembut sambil memejamkan mata.

Cukup lama aku memejamkan mata, sebelum dikejutkan oleh suara yang masuk ke dalam telinga. “Kau benar-benar mengagetkanku!” ucapku kepada Bernice yang telah duduk di kursi di seberang meja.

“Kau terlihat seperti seseorang yang hendak mati. Hanya dengan melihatmu, membuat tanganku ingin sekali memukulmu!”

Aku tersenyum setelah mendengar dia yang menggerutu. Tubuhku beranjak, meraih beberapa buku yang ada di hadapannya, “kau bisa melakukannya jika aku nantinya melakukan hal yang sama,” jawabku seraya kembali duduk setelah meletakkan buku-buku tadi ke hadapanku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang