Chapter DCXI

1.8K 323 8
                                    

“Kenapa? Kenapa nii-chan tidak memberikan kabar kepadaku? Aku, aku ingin sekali melihatnya lahir,” ucapku dengan membenamkan wajah di dadanya.

“Aku tidak ingin, kesehatanmu terganggu. Aku hanya ingin, kau beristirahat saja selama kehamilanmu,” jawabnya, diikuti usapan pelan di belakang kepalaku.

Lama aku menatapnya sebelum akhirnya membuang pandangan ke arah bayi yang tengah Izumi gendong, “namanya?” tanyaku, dengan mengalihkan pandangan kembali pada Haruki.

“Hikaru.”

“Hikaru? Nama yang bagus,” ucapku tersenyum sebelum melepaskan pelukanku pada Haruki.

“Hikaru,” ungkapku dengan berjalan mendekati Izumi, “ikut dengan Bibi,” sambungku sambil meraihnya dari gendongan Izumi.

Aku menggendongnya dengan sebelah tanganku memegang lalu mengusap salah satu tangannya. Matanya berkedip beberapa kali menatapku, dengan sebelah tangannya yang lain … Dihisap oleh bibirnya sendiri. “Dia tampan sepertimu, nii-chan,” ucapku sambil mencium pipi Hikaru yang bersemu merah itu.

“Aku pun ingin melihatnya,” tukas suara Zeki yang terdengar di sampingku.

Bibirku tersenyum kecil saat melirik ke arahnya yang telah berdiri di sampingku. “Aku harap, dia memiliki sisi kemanusiaan, tak seperti Ayahnya-”

“Untuk pertama kalinya, aku setuju denganmu, Zeki,” sahut Izumi menimpali perkataan Zeki.

“Jangan dengarkan kedua pamanmu, Hikaru. Mereka mengatakan hal itu, hanya karena tidak bisa melawan setiap perkataan Ayahmu-”

“Hal itu pun berlaku untukmu,” ucap Izumi memotong perkataanku.

Aku berbalik, menyerahkan kembali Hikaru kepada Haruki, “karena itulah, aku mengatakan kata-kata seperti itu, nii-chan,” tukasku dengan melirik ke aranya.

“Kemarilah Sa-chan! Ikuti aku!” perintah Haruki, dengan masih kutatap dia yang telah berjalan meninggalkan kami.

Aku turut mengikuti langkahnya dari belakang, selama kami berjalan … Beberapa Elf yang kami lewati, pasti menghentikan langkah dengan menganggukkan kepalanya. Haruki menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah besar terbuat dari kayu, “masuklah!” perintahnya kembali, ketika dia telah membuka pintu rumah tersebut.

Aku berjalan masuk melewatinya, berjalan mendekati kursi yang tak terlalu jauh dari pintu lalu menduduki salah satu dari kursi tersebut. “Jadi, kalian tinggal di sini?” tanyaku, dengan melemparkan pandangan ke seluruh ruangan yang tak ada hiasan apa pun itu.

“Kakek dan Bibi, membangunkan kami rumah ini untuk kami tinggali selama di sini,” ucap Haruki, yang berjalan melewatiku lalu duduk di salah satu kursi yang tak terlalu jauh dariku.

“Aku hanya akan menyediakan air biasa untuk sekarang. Aku, belum sempat mencari makanan,” tukas Izumi yang membuat pandangan mataku teralihkan.

Aku menatapnya yang tengah berjalan mendekati sebuah ruangan, “tapi nii-chan, aku tidak bisa meminum apa pun kecuali air kelapa,” ucapku yang membuat langkah kaki Izumi terhenti.

“Apa katamu?”

“Selain air kelapa, dia pasti memuntahkan apa pun yang ia minum,” jawab Zeki, sambil berjalan melewati lalu duduk di kursi panjang yang sama denganku.

Aku masih menatapi Izumi yang mendongakkan kepala dengan menggigit bibirnya sendiri. Dia menghela napas kuat sambil mengarahkan kembali pandangan matanya ke arahku, “baiklah, demi saudari kami tercinta. Apa pun akan kami turuti,” ucap Izumi yang tersenyum sebelum akhirnya kembali melangkah ke arah pintu.

“Izu nii-san, aku akan membantumu,” timpal Eneas, yang turut berlari mengikuti langkah Izumi.

“Jadi? Bagaimana keadaan di luar sana?” Haruki yang tiba-tiba bersuara, membuat pandangan mataku teralihkan kepadanya.

“Aku, telah menaklukan dua Kerajaan kecil yang ada di perbatasan Yadgar,” sahut Zeki, kulirik dia yang duduk dengan menyandakan dirinya di kursi.

“Kau bergerak dengan cepat, Zeki. Tapi tahan ambisimu, kau tidak ingin menarik perhatian Kaisar, bukan?”

“Aku mengerti, aku akan mencobanya,” jawab Zeki, sambil melirik lalu mengusap kepalaku.

“Lalu nii-chan, apa kau bertemu dengannya?”

“Sayangnya tidak,” jawab Haruki dengan tersenyum menatapku, “kemungkinan dia pergi ke Kerajaan tetangga saat kita menghabiskan waktu di hutan. Aku, telah memerintahkan beberapa orang untuk mencari keberadaannya,” ucap Haruki yang beranjak lalu berjalan memasuki suatu ruangan.

Aku menyandarkan kepalaku ke pundak Zeki, saat hanya ada kami berdua saja di ruangan tersebut. Kuangkat kembali pandanganku, ketika Haruki keluar dari ruangan yang sebelumnya ia masuki, tanpa membawa Hikaru di gendongannya. “Aku telah mengetahui apa yang terjadi kepada kalian,” ucapnya, yang menghentikan langkah lalu duduk kembali di hadapan kami.

“Apa maksudmu, nii-chan?” tanyaku, dengan kepala yang enggan beranjak dari pundak Zeki.

“Aku meminta Tatsuya untuk menyelidiki semua itu, ramuan yang selama kau minum di Istana … Ayah yang meminta Tabib untuk menukarnya.”

“Ayah?” Haruki menganggukkan kepalanya, membalas tatapanku.

“Aku meminta Tatsuya, untuk memberikan kabar kepada Ayah jika Izumi ingin menikah setelah kami pulang, saat itu juga aku memintanya untuk menyelidiki semuanya,” tukas Haruki yang tersenyum menatap kami.

“Jadi, bagaimana keadaan keponakanku?” sambung Haruki, yang sedikit memajukan tubuhnya ke arah kami.

“Semuanya baik-baik saja, bahkan aku sudah mulai merasakan gerakannya di perutku. Semua orang, menjaga kami dengan baik di sana. Hanya saja, di kepalaku selalu muncul bayangan anak harimau putih. Aku meminta Zeki untuk mencarikanku bayi harimau putih, tapi dia malah-”

Perkataanku terhenti ketika kedua jari Zeki mencengkeram pipiku, “sudah aku katakan, untuk apa seorang ibu hamil menginginkan bayi harimau?” geram Zeki dengan semakin mempererat jepitan jarinya di pipiku itu.

“Harimau putih? Byakko?”

Kedua mataku membesar tatkala Haruki mengatakannya, “mungkinkah itu?” ucapku, sambil mendorong tangan Zeki menjauh.

“Seharusnya, aku yang bertanya hal tersebut kepadamu, Sa-chan.”

“Byakko? Apa itu Byakko?” timpal Zeki kepada kami berdua.

“Di kerajaan kami memiliki sebuah legenda, empat hewan penjaga mata angin. Sebenarnya, aku sudah mencurigai hal ini, terlebih saat Sachi sudah mendapatkan Kou dan juga Uki di pihaknya.”

“Aku tidak mengerti apa yang kalian maksudkan.”

“Seiryu, Suzaku, Byakko dan juga Genbu. Tidak banyak yang mengetahui hal ini, karena hal tersebut sudah dilupakan oleh banyak orang. Dan lagi pun, aku sedikit sulit menerimanya karena dalam legenda hanya terdapat satu Naga, dan itu berwarna biru ... Sedangkan, Sachi dan Kaisar punya masing-masing Naga di pihak mereka, dan warna kedua Naga itu pun berbeda dengan apa yang diceritakan," ucap Haruki dengan melirik ke arah kami berdua bergantian.

"Seiryu sebutan untuk Naga berwarna biru, Suzaku itu burung seperti Uki, Byakko yang tidak lain adalah harimau putih, dan yang terakhir Genbu, kura-kura hitam yang memiliki ekor ular," ucapku menimpali perkataan Haruki saat Zeki berbalik menatapku.

"Kenapa tidak bertanya hal tersebut kepada Kou? Mungkin dia mengetahui sesuatu."

"Aku ragu jika Kou mengetahuinya," jawabku dengan kembali menyandarkan diri di kursi.

Mataku teralihkan kepada Haruki, saat dia beranjak dari kursi yang ia duduki. "Kita akan mendiskusikannya setelah Kakek pulang. Beristirahatlah terlebih dahulu kalian berdua, jalan lurus nanti kalian akan menemukan tangga, di lantai dua ada beberapa kamar kosong untuk kalian tempati," ucap Haruki yang kembali berjalan, memasuki ruangan yang sebelumnya ia masuki.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang