Chapter DCCLXXXV

1.5K 432 115
                                    

Aku masih terdiam, dengan mata yang terus menatapi Kei. Kei berhenti sambil menjatuhkan seonggok daging yang sebelumnya ia gigit, lalu mulai menurunkan kepalanya untuk melahap tubuh kecil di hadapannya. Apa yang dilakukan Kei saat itu, mampu membuat perempuan itu berpaling.

“Terkutuklah kalian! Terkutuklah kau Sachi!” Seketika aku terkesiap disaat dia memaki, ketika kepala dari tubuh bayi yang Kei lahap menggelinding lalu berhenti di dekatnya, “Putraku … Kalian telah membunuh Putraku!” teriaknya dengan mata membelalak ke arahku.

Dia yang sempat beranjak, kembali duduk … Seakan ada sesuatu memaksanya untuk tidak bisa pergi ke mana-mana. “Lepaskan aku! Lepaskan aku sekarang juga!” sambungnya memekik sambil tak berhenti untuk mencoba melepaskan diri dari angin milik Kei yang membelenggu dirinya.

“Apa kau tidak tahu! Dia Putra dari Raja Yadgar! Dia, Putra dari Raja Zeki Bechir!” tuturnya dengan terus menatapku menggunakan tatapannya yang tajam itu.

“Benarkah?” Aku balas bertanya sembari melangkah, meninggalkan lantai yang telah basah oleh tetesan air di tubuhku, “bagaimana rasanya merebut suami seseorang? Apa suamiku, melayanimu dengan baik?” ucapku mencoba untuk meladeni perkataannya.

Aku berhenti melangkah lalu berjongkok meraih potongan kepala bayi yang ada di dekat meja rias, “apa bibir suamiku, juga ikut bergerak menelusuri seluruh jengkal bagian tubuhmu hanya untuk membuatmu puas?” tuturku sambil meletakkan kepala tadi di atas paha, “atau, apa dia membuat tubuhmu sulit untuk bergerak sehabis kalian melakukannya?”

“Kau pasti paham maksudku dengan arti kata melakukannya, bukan?” lanjutku kembali, tapi kali ini dengan mengusap pelan kepala bayi tadi. Aku menarik napas lalu mengembuskannya pelan, “Kerajaan ini milik anak-anakku. Yadgar milik anak-anakku. Jika ada anak lain yang ingin merebut semua itu dari mereka … Sebagai Ibu mereka, aku tidak akan segan-segan menghilangkan nyawa dari orang-orang yang ingin menyakiti mereka.”

Aku mengangkat kepala tadi dan menggelindingkannya ke arah Kei yang baru selesai menyantap habis seluruh badan bayi yang dibawanya, “bagaimana, Yoona? Apa kau tidak sakit melihat anak yang susah-payah kau lahirkan, sekarang menjadi santapan dari hewan milikku-”

Belum sempat aku menyelesaikan kata-kata, pekikan dari Yoona yang ada di belakang … Membuat telingaku seketika merintih. “Aku akan membunuhmu, Sachi! Seperti yang sudah kalian lakukan pada Ayah dan Kakakku … Aku akan membunuh kalian semua!”

Aku menghela napas sambil beranjak menatapnya, “bukan aku yang membunuh Ayahmu, dia kalah dalam pertarungan melawan Kakakku, Haruki. Bukan aku yang membunuh Kakakmu, aku bahkan baru datang setelah semuanya berakhir … Dan juga, bukan aku yang membunuh anakmu, hewan yang ada di sana melakukannya,” ungkapku seraya menunjuk pada Kei yang masih menggigiti kepala tadi.

“Lalu apa alasan kau ingin membenciku? Apa kau lupa, siapa  yang telah membawa kalian pergi dari tempat itu? Apa kau lupa, siapa yang sudah menolongmu untuk tetap hidup sampai saat ini! Disaat aku berjuang untuk memperjuangkan hak perempuan! Disaat aku, harus meredam keinginanku sendiri untuk mencapai semua itu!”

“Kau di sini berusaha untuk menggoda suamiku! Kau di sini berusaha untuk menghancurkan rumah dan keluargaku … Kenapa tidak membusuk saja di perut salah satu hewan milikku, Yoona? Dengan begitu, semua penderitaanmu akan terselesaikan.”

Aku berpaling, lalu berjalan meninggalkannya yang menangis histeris sendirian. “Apa kau tidak ingin menanyainya perihal Kaisar, My Lord?” sahutan Kei melintas di kepala secara tiba-tiba.

“Apa kau pikir, manusia sepertinya akan memberitahukanku semua hal itu?”

Aku menarik napas panjang, sebelum merebahkan tubuh ke atas ranjang, “selesaikan semuanya, Kei! Tangisannya … Membuat kepalaku berdenyut,” bisikku diikuti kedua mata yang perlahan menutup.

_____________.

Mataku terbuka, dengan sosok mengabur yang terlihat di hadapanku. Aku beranjak duduk, sambil terus menatapi Zeki yang berbaring lelap di sampingku. Kuangkat telapak tanganku yang terasa basah setelah menyentuh seprai, sebelum lirikan mataku bergerak ke arah celananya yang penuh akan sobekan.

Aku mengibas sobekan di celananya itu, kuperhatikan dengan betul … Apa luka membusuk di kakinya telah menghilang atau belum. Setelah puas memastikannya, tubuhku beranjak meninggalkan ranjang tersebut dan meninggalkan Zeki sendirian di dalam kamar. Kou, aku ingin kembali ke Dunia Elf! Kalian sendiri tetaplah di sini untuk memastikan tidak ada serangan lagi yang datang!” perintahku sembari tetap melangkahkan kaki menyusuri Istana.

Tarikan napasku kian dalam, disaat hawa dingin berkumpul … Membentuk suatu gerbang yang tak terlalu jauh dariku. Aku menutup mata dengan telapak tangan, ketika sinar matahari terasa menyilaukan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi … Jika sebelumnya, di Yadgar siang hari, maka di Dunia Elf pun akan sama. Namun apa yang terjadi sekarang justru berkebalikan … Apa ini, karena kejadian tempo dulu?

Aku segera bergegas, berlari menuruni bukit kecil. Kedua kakiku tak berhenti, walau beberapa Elf yang berlalu-lalang kadang kala menyapaku. “Sachi! Perempuan di sana yang bernama Sachi! Ingin ke mana kau?!” langkahku seketika berhenti oleh panggilan keras Izumi yang entah di mana asalnya.

Kepalaku mencoba untuk mencarinya, “Izu-nii?” tukasku kepadanya yang berdiri di depan jendela dengan menggendong salah satu bayi kembarku.

“Masuklah! Kedua bayi kembarmu ada bersama kami,” tuturnya sambil berbalik hingga sosoknya tak terlihat lagi di mataku.

Aku mengikuti perintah Kakakku dengan berjalan mendekati pintu rumahnya yang berada di Dunia Elf. Kubuka pintu tersebut, “permisi!” ucapku seraya berjalan masuk lalu menutupnya kembali.

Aku masih berdiri, menunggu bunyi langkah yang terdengar mendekat. “Anka!” panggilku dengan berlari mendekati Izumi.

“Dari mana kau mengetahui bahwa dia Anka?” Izumi bertanya, sembari memberikan Anka ke gendonganku.

“Naluri seorang Ibu,” sahutku sambil mengecup pipi Putra Bungsuku itu, “nii-chan, di mana Sema?” Aku balik bertanya dengan kepala bergerak seperti sedang mencari sesuatu.

Izumi menunjuk ke belakang menggunakan ibu jarinya, “bersama Ebe. Dia baru saja tertidur,” ungkap Kakakku itu, diikuti tubuhnya yang berbalik melangkah.

“Dari mana kau?” tanyanya ketika aku sudah mulai berjalan mengikutinya.

“Aku pergi ke Dunia Kou-”

“Benarkah?” tanyanya kembali padaku, “lalu bagaimana kau akan menjelaskannya? Kakimu yang kotor, dan bekas darah serta robekan di gaun yang kau pakai?”

Aku terkesiap, kepalaku segera menunduk setelah mendengarkan ucapannya. Aku tidak terlalu menyadarinya, hingga kakakku itu mengatakannya … Kakiku kotor, dipenuhi debu dan baru tersadar bahwasanya alas kaki milikku telah menghilang. Sedang pakaian yang aku kenakan, sama persis seperti yang ia ucapkan.

Sebelah tanganku terangkat, berusaha untuk menutupi robekan di gaunku itu, “aku mengunjungi Yadgar bersama yang lainnya, nii-chan,” jawabku, yang membuatnya seketika menoleh.

“Kau pergi ke mana? Katakan sekali lagi hal tersebut kepadaku!” sahutnya dengan berjalan mendekat lalu berhenti tepat di hadapanku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang