Bernice mendorong kepala Pendeta Tua tadi, hingga tubuh dari Pendeta itu tersungkur di hadapan kami. Mataku terangkat ke arah Bernice yang tengah menggoyangkan pedangnya … Apa yang dilakukan Bernice tadi, membuat darah yang masih menempel di pedang miliknya sedikit memercik bunga dan dedaunan yang kami injak.
Kepalaku tertunduk, kuangkat kaki kananku menginjak kepala dari Pendeta Tua tersebut. Kepala yang aku injak beberapa kali itu, sama sekali tak bergerak ketika aku melakukannya. “Kalian bisa beristirahat terlebih dahulu, sebelum kita melanjutkan perjalanan!” perintahku sambil menjatuhkan tatapan pada Bernice dan juga Sabra.
Tubuhku berbalik, berjalan meninggalkan mereka lalu berhenti di dekat pepohonan yang tumbuh berdekatan, mengelilingi gubuk kecil yang dulu menjadi tempat untuk anak-anak perempuan beristirahat sebelum mereka bertunangan. Aku berjalan mendekati gubuk tadi lalu duduk di terasnya, sambil kulepaskan tas yang bersilang di pundakku dan meletakkannya di sampingku.
Kubuka dan kurogoh benda yang ingin aku ambil dari dalam tas. Aku menarik napas, menatap gulungan kertas yang baru saja kukeluarkan dari tas. Kuletakkan gulungan kertas tadi ke atas pahaku, helaan napasku keluar dengan sangat lembut sesaat gulungan kertas tadi kubuka. Untuk Ibu, sepenggal kata yang tertulis di bagian atas kertas tersebut.
Ibu, ini Ihsan. Paman Tsubaru yang membantu kami membuat surat ini.
Kami baik-baik saja. Bibi Amanda selalu memasak makanan lezat jadi kami selalu makan banyak setiap hari. Paman Tsubaru mengajari kami menulis menggunakan Bahasa Yadgar dan juga Sora. Aku baru bisa menulis beberapa kata, ini sangat susah tapi aku akan terus belajar.
Ibu, aku sudah menambah langkah untuk jarak memanahku. Paman Tsubaru memujiku untuk itu.
Aku akan menjaga Huri, jadi Ibu harus menjaga diri juga. Ihsan menyayangimu, Ibu.
Ibu, ini Huri. Huri belum pandai menulis, jadi Paman Tsubaru yang menuliskannya.
Huri sudah tidak menangis lagi. Huri ingin menjadi seperti Ibu, jadi Huri akan selalu belajar dengan baik dan akan selalu mendengarkan ucapan Nenek, Bibi, dan juga Paman. Ibu … Ibu ingin mengalahkan orang yang jahat, kan? Nenek yang memberitahu kami.
Jika Ibu sudah berhasil melakukannya, ajak Ayah untuk menjemput kami. Huri dan Kak Ihsan, akan menunggu Ayah dan juga Ibu.
Kami menyayangi kalian.
Aku meletakkan surat yang sudah kubaca, ke belakang selembar kertas lagi yang masih tersisa. “Salah satu dari kalian para Leshy. Datanglah padaku!” pintaku sambil terus menatapi lembaran kertas di tanganku.
Aku menarik napas panjang, setelah kurasakan sebuah sihir sudah ada di depanku. Kugulung kembali kertas berisi gambaran di tanganku … Gambaran keluarga kecil kami yang digambar oleh mereka berdua. “Berikan surat ini kepada suamiku! Terbanglah ke arah Barat, dan saat kau mendengar Kerajaan Yadgar … Dia seorang Raja di sana. Sampaikan kepadanya permintaan maaf dariku dan sampaikan juga … Sebelum anak-anak sedikit bisa melindungi dirinya sendiri, aku akan terus menyembunyikan mereka.”
“Aku akan kembali jika dia masih bersedia menerimaku. Katakan juga kepadanya, sampai sekarang aku masih selalu memikirkannya. Jadi, jaga diri baik-baik agar kami juga bisa baik-baik saja di sini,” ucapku kembali pada seekor burung di depanku.
Burung kecil yang ada di hadapanku itu mengubah wujudnya menjadi seekor burung yang lebih besar. Dia terbang mendekatiku lalu mencengkeram dan membawa terbang gulungan kertas di tanganku, “kami mencintaimu, Ayah. Jangan lupakan kami!” gumamku mengulangi tulisan acak-acakan yang ada di gulungan kertas tadi.
Aku meringkuk dengan memeluk kedua kaki yang terlipat. Tanganku yang masih memegang sisa surat, meremas kertas tersebut sesaat sesak kembali memenuhi dadaku. “Kau tidak harus menahan diri,” suara Lux terdengar tiba-tiba di samping telingaku.
“Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin berbagi keresahan yang kurasakan saat ini dengannya … Aku ingin dia menghiburku lalu menyemangatiku. Tapi jika aku bertemu dengannya saat ini … Aku merasa, aku tidak akan bisa bertemu dengannya lagi.”
“Apa yang harus aku lakukan, Lux?” sambungku dengan suara gemetar.
“Kau terlalu banyak memikirkan banyak hal! Beruntungnya, aku sudah terbiasa karena sejak dulu aku sering bersembunyi di balik rambutmu-”
“Jika boleh aku menyarankan. Kita beristirahat terlebih dahulu beberapa pekan sebelum melanjutkan perjalan,” ucap Lux yang membuat wajahku kembali terangkat.
“Aku tidak bisa melakukannya. Aku sudah memutuskan, ke mana kita akan pergi selanjutnya.”
“Kondisimu tidak memungkinkan kita untuk melakukannya. Aku sudah katakan, bukan? Jika kau memaksakan diri, kita semua mungkin akan terbunuh. Dulu, Kakakmu selalu ada untuk merangkulmu walau kau jatuh sekali pun jadi tidak masalah … Tapi sekarang, kau terlihat menanggung ini semua sendirian-”
“Kau menekan perasaanmu sendiri hanya karena kau adalah pemimpin kami … Apa yang aku katakan ini salah?” tutur Lux kembali, menyelesaikan ucapannya yang sempat terhenti. “Il, mungkin bagus untuk kita kunjungi sementara. Di sana ada Danurdara, selama kita beristirahat di sana … Kau bisa mendapatkan informasi darinya. Itu juga akan lebih bagus untuk Bernice dan juga Sabra … Maksudku, kau bisa mengajari mereka seperti apa yang terjadi di Dunia ini. Setidaknya, mereka akan lebih berguna jika saja mereka lebih memahami apa yang terjadi.”
“Mereka memang kuat, tapi mereka seperti anak manusia yang tidak mengetahui apa pun. Mereka hanya mengikutimu tanpa mengetahui apa yang terjadi … Itu tidak baik, kalau saja musuh yang kita hadapi nanti lebih kuat dan juga licik. Kau paham maksudku, kan, Sachi?”
Helaan napasku terasa sangat panjang, “kau benar. Aku pun, ingin bertanya sesuatu pada Danur … Kita akan pergi ke Il setelah ini,” ucapku sambil mendongakkan kepala.
“Malam ini sepertinya akan hujan,” lanjutku setelah cukup lama memandang gumpalan awan hitam yang terbang mendekati gubuk.
“Sepertinya,” jawaban singkat dari Lux membuatku kembali tersenyum.
Kutarik napas sedalam mungkin lalu mengembuskannya dengan sangat kuat. Tubuhku beranjak dengan tangan meraih kembali tas … Kedua kakiku mulai melangkah lagi meninggalkan gubuk dan terus melangkah menjauhinya. “Aku ingin mengunjungi Kastil tersebut untuk terakhir kalinya. Aku tidak ingin terlalu berharap, tapi semoga saja aku bisa menemukan apa yang ingin aku temukan di dalam sana-”
“Aku akan membantumu!”
Aku mencoba untuk melirik bayangannya yang terlihat duduk di atas pundak, “harus! Kau memang harus membantuku, Lux. Kita akan menghabiskan malam ini, untuk membongkar tempat itu,” ucapku menimpali ucapannya yang menyergah perkataanku sebelumnya.
“Tentu saja. Siapa yang akan membantumu selain aku,” sahutnya yang membuat kami berdua tertawa kecil.
“Aku ingin memakan makanan yang manis untuk memulihkan tenaga. Aku pun ingin mandi air hangat kalau bisa … Kau benar, Lux. Aku saat ini benar-benar butuh istirahat.”
“Bernice, Sabra! Ikuti kami memeriksa sesuatu!” sambungku memanggil Bernice dan Sabra, tengah duduk di dekat Kou yang sedang terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasíaKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...