Aku duduk di samping Zeki, sedang Huri dipangku oleh Kakek dan Ihsan oleh Bibi. “Ada apa, Kakek, Bibi? Apa terjadi sesuatu?” tanya Haruki dengan menepuk tangannya pelan ke paha Hikaru yang ia pangku.
Bibi melirik sejenak ke arahku, “sebenarnya, Bibi hanya mau memberikan kabar kepada kalian, kalau ternyata Bibi sudah tidak bisa merasakan sihir Robur Spei. Bibi tidak tahu kenapa, hanya saja sihir tersebut tiba-tiba menghilang begitu saja-”
“Apa yang kau maksudkan?” Kali ini, Lux yang duduk di pundak Eneas memotong perkataan Bibi.
“Aku juga tidak tahu kenapa hal ini bisa terjadi. Itulah kenapa, saat aku merasakan kalian sudah keluar dari tempat tersebut … Kami langsung datang untuk memastikan keadaan, Ryu, Hikaru ataupun Huri.”
“Ayah, memberikan gelang tersebut ke masing-masing dari kalian, karena jika nanti terjadi sesuatu kepada kalian … Kami, dapat dengan cepat menolong kalian semua. Ingatlah ini baik-baik! Nyawa mereka, bergantung kepada sihir tersebut,” sambung Bibi yang kali ini menatapku dan Haruki bergantian.
Berkat Ryu yang dulu tidak pernah lepas mengalirkan sihirnya kepadaku, mungkin aku dan Huri sudah tidak bersama mereka lagi sekarang. Jika apa yang dikatakan Bibir itu benar, apa yang akan terjadi kepa-
“Ibu!”
Aku mengangkat wajahku, menatapnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, “ada apa, Huri?” tanyaku menjawab panggilannya.
“Kenapa Nenek jahat sekali! Kenapa Nenek membuat Ibuku menangis?” tukas Huri yang beranjak lalu berlari mendekatiku, “Ibu, kalau Ibu sedih … Huri dan Kakak bagaimana?” sambungnya berkata dengan mata yang turut berkaca memandangku.
“Ibu!” suara Ihsan yang turut memanggilku, membuat lirikanku bergerak ke arahnya yang telah berdiri di samping Huri. “Ibu terlihat cantik saat tersenyum,” lanjut Ihsan sambil mengusap mataku.
“Dari mana kau belajar kata-kata tersebut?” Aku terkejut seraya masih memandang mereka berdua yang saling tatap satu sama lain.
“Ayah yang mengajariku, saat Ayah pergi dan Ibu sedang sedih … Kata Ayah, Ihsan harus mengatakannya untuk menghibur Ibu atau Huri,” sautnya, dengan Zeki yang membuang pandangannya ke samping tatkala mataku beralih menatapnya.
“Apa kau mengajari mereka sesuatu yang aneh-aneh tanpa sepengetahuanku?”
Zeki menoleh sambil menggelengkan kepalanya, “aku hanya mengajari mereka berbagai cara untuk bertahan hidup. Kemarilah, Ihsan! Duduklah di pangkuan Ayah!” perintah Zeki, sembari melingkarkan lengannya di pinggang Ihsan yang telah duduk di pangkuannya.
Aku menoleh lalu turut merangkul Huri yang juga sudah duduk di pangkuanku, “jangan membuat mereka khawatir. Sesuatu seperti ini, tidak pantas untuk dibicarakan di depan anak-anak,” ucap Zeki, kedua mataku melebar saat dia mengatakannya menggunakan Bahasa Jepang.
“Walau mereka tidak mengerti maksud dari pembicaraan ini. Itu bukan berarti, mereka makhluk bodoh yang tidak akan paham dengan kesedihan orang-orang di sekitar mereka. Aku tahu jika kalian mengerti dengan apa yang aku katakan, kalian sudah lama hidup dengan mengawasi manusia … Jadi, mustahil jika kalian berdua tidak mengerti dengan apa yang aku katakan,” sambungnya, seraya tetap menggunakan Bahasa Jepang, dengan tatapan mata yang hampir tak berkedip menatap Kakek dan juga Bibi.
“Ayah, apa yang Ayah katakan?”
Zeki menunduk, memandang Ihsan yang mendongak ke arahnya, “Ayah hanya mengatakan, bahwa Ayah menyayangi kalian semua. Ayah mengatakannya menggunakan bahasa Kerajaan Sora, Kerajaan milik Ibu dan Pamanmu … Kalau kalian ingin mempelajarinya, pinta Ibumu untuk mengajari kalian! Semakin kalian mempelajari banyak bahasa, semakin bagus untuk kalian,” ucap Zeki menjawab pertanyaan Ihsan.
“Huri! Ihsan! Ikut Bibi kalian sebentar bersama yang lain!” tukas Haruki, yang membuat tatapan mata mereka berdua beralih kepadanya.
Amanda dan Ebe beranjak berdiri dengan menggandeng Hikaru, Takumi dan juga Miyu setelah Haruki menyelesaikan perkataannya. “Ayo, Nak! Ibu akan menyusul kalian setelah berbicara dengan Kakek dan juga Nenek,” ucapku saat Huri terasa enggan untuk beranjak dari pangkuanku.
“Huri!” seru Ihsan, dia telah berdiri dengan tangan kanan yang menjulur ke arah Huri, “tidak apa-apa, kakak di sini,” sambungnya, Huri baru beranjak dengan membalas genggaman tangan Ihsan setelah kakaknya itu menyelesaikan perkataannya.
Mataku masih mengikuti langkah mereka berdua yang berjalan menjauh. “Jadi, apa yang harus kami lakukan?” cetus Haruki tatkala bayangan Amanda dan Ebe yang membawa pergi anak-anak, tak terlihat lagi.
“Bibi juga kurang tahu harus melakukan apa saat ini, akan tetapi tetaplah berhati-hati! Jika terjadi sesuatu kepada mereka, segera beritahukan kami! Itulah kenapa, kami memberikan kalian masing-masing gelang tersebut-”
“Aku, akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Secepatnya,” ucap Bibi kembali seraya beranjak berdiri mengikuti Kakek.
Bibi membuang pandangan matanya ke arah Kakek, lama mereka saling bertatap sebelum lemparan mata Bibi berubah ke arah kami, “kalian ingin ke mana? Kami akan mengantar kalian agar lebih cepat sampai ke sana,” sambung Bibi, diikuti sebuah gerbang terbuat dari akar yang muncul di sekitar pepohonan yang ada saat Kakek mengangkat sebelah tangannya.
____________.
Kuda yang aku tunggangi, berjalan pelan melewati gerbang akar yang dibuat Kakek. “Sachi!” Kudaku itu kembali berhenti oleh panggilan Bibi, “berhati-hatilah!” Kepalaku mengangguk, sebelum kugerakan kembali kudaku itu menyusul mereka semua yang telah keluar.
“Ibu, tempat apa tadi?”
“Itu dunia di mana para Elf tinggal. Dunia di mana, Kakek dan Nenek kalian tinggal, kalau kalian ingin mengunjungi mereka … Tanam bunga yang ada di gelang kalian ke tanah! Mereka, akan membawa kalian ke sana!”
“Ibu, Hikaru mengatakan kalau kakek buyut itu adalah Ayah dari Ayahnya Ibu … Dia bertanya, kenapa Kakek buyut kami tidak tua? Huri harus menjawab apa, Ibu?”
“Apa, ya,” sautku, dia terlihat semakin antusias saat aku membalas tatapannya, “mereka spesial, Huri. Mereka tidak akan menua … Bagaimana, Kakek Buyutmu tampan, bukan?” Bibirku tersenyum saat dia mengangguk membalas perkataanku.
Kuda kami terus berjalan menjauhi Hutan, lalu berhenti dikarenakan dua orang laki-laki yang mengarahkan ujung tombak di tangan mereka kepada kami. “Apa yang ingin kalian lakukan?” tanya mereka berdua kepada kami.
“Hime-sama, datang berkunjung!” jawab Haruki singkat yang membuat mereka saling menatap.
Salah seorang laki-laki menatap ke arahku sebelum akhirnya dia berbalik lalu berjalan mendekati pintu gerbang. “Hime-sama, datang berkunjung!” Laki-laki tersebut, mengulangi apa yang Haruki katakan kepadanya.
“Hime-sama?” gumam Huri dengan tetap menerawang ke depan.
Aku mengusap kepala Huri, tatkala dia terlihat gugup dengan menggenggam erat kedua tangannya di leher kuda tatkala pintu gerbang besar yang ada di depan kami itu mulai terbuka perlahan. Kudaku kembali melangkah, mengikuti mereka yang telah berjalan … Melewati beberapa Kesatria yang membungkuk selama kami menunggangi kuda di depan mereka.
“Selamat datang di Balawijaya,” gumam Izumi saat kuda miliknya bergerak melewatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...