Chapter DCCLXXXI

1.4K 424 56
                                    

“Jadi My Lord, apa kau telah siap?”

“Siap? Siap untuk?” tanyaku terheran-heran mendengar celetukan Kou.

Kou berbalik dengan membuka lebar mulutnya. Serpihan es yang berterbangan keluar dari mulutnya itu, membentuk sebuah lingkaran gerbang es di hadapannya, “tentu saja. Kita pergi untuk menyerang dia yang bersembunyi di Yadgar,” sahutnya setelah kembali menoleh padaku.

“Buatlah kekacauan di sana, kalian budak-budakku!”

Aku yang masih terdiam itu, segera mengalihkan pandangan pada Shin yang merayap mendekati gerbang buatan Kou setelah sebelumnya dia bergumam mengucapkan kata-kata tersebut. Menyusul Shin, Tama turut berjalan di belakangnya, “memanggil hewan yang dapat kukendalikan dengan budak, kau benar-benar kejam, Shin!” seru Tama, dengan sosoknya yang menghilang dari pandangan sesaat dia melangkah memasuki gerbang.

“My Lord!”

Wajahku segera berpaling pada panggilan Kou. Aku berjalan mendekatinya disaat dia terus menatapku dengan kedua matanya yang masih merah. Ekor Kou mengangkatku ke punggungnya … Mataku seketika terpejam, tatkala raungan dari Kou menyulut raungan dari Para Manticore.

Manticore-manticore itu, lari beriringan mendekati gerbang yang Kou buat untuk kami. Kou sendiri kembali diam, tak bergerak menyaksikan semuanya hingga … Dia baru mulai melangkah, setelah semuanya selain kami berdua, telah meninggalkan tempat ini.

Tubuhku seketika membeku dengan seluruh bulu kudukku yang berdiri secara bersamaan, dikala … Kou sudah membawaku melewati gerbang. Aku mengangkat wajahku, menatap sesuatu mengerikan yang tak bisa kulihat. Merinding … Kata itulah yang tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini, terlebih ketika sekawanan Manticore berlari kencang mendekati hawa sihir yang kuat mengelilingi sebuah tembok tinggi di sana.

Kepalaku seketika bergerak kembali, tatkala sihir yang tak kalah kuat, kurasakan di dekat kami. Tubuh Uki, sudah terbakar dengan api yang warnanya berbeda dengan api, yang juga membakar tubuhnya tempo lalu. Api tersebut, berwarna merah pekat … Hampir menyerupai hitam, yang menghilangkan semua bulu-bulu indahnya.

Hujan turun, sesaat Uki yang bertengger di kepala Kou, melebarkan sayapnya. Hujan yang menyentuh kami, terasa semakin lebat disaat sayap milik Uki mulai berkepak … Walaupun begitu, walau hujan terus mengguyuri kami, api di sekujur tubuhnya tetap menyala, justru semakin membesar ketika tetesan hujan yang jatuh menyentuhnya.

“My Lord!” panggil Uki yang terbang membelakangi kami, “walau tubuhku jauh lebih kecil dibandingkan Kou. Tolong ingatlah ini! Tidak ada yang akan bisa melukaiku! Dan tidak akan ada yang bisa melukaimu dibawah perlindunganku!” seru Uki, sebelum dia melesat terbang, menarik hujan untuk mengikutinya.

“Hancurkan mereka! Selama kepala kalian baik-baik saja, kalian tidak akan mati!”

Aku terhenyak, dengan tanpa sadar telah meneguk ludahku sendiri setelah Uki mengucapkan perintah tersebut. “Pergilah, My Lord! Selamatkan dia yang ingin kau selamatkan! Aku dan Tama akan berjaga di sini, karena jika kami ikut menyerang … Rumah kalian, akan benar-benar rata tak bersisa,” tutur Kou sambil mengangkatku dengan ekornya, lalu menurunkanku kembali ke punggung Kei yang ada di dekatnya.

“Cari Leshy yang menghilang! Dia, sedang bersama dengan Leshy tersebut saat ini.”

Tubuhku sedikit tersentak tatkala Kei tiba-tiba berlari sesaat Kou menghentikan ucapannya. Aku terus melihatnya, walau sosoknya semakin jauh dariku saat ini, terlebih derasnya hujan yang membuat pandangan mata kian terbatas. “Berpeganglah yang kuat! Aku tidak akan berhenti walau kau terjatuh!” Kepalaku kembali bergerak, menunduk, menatapi bulu putih yang dimiliki Kei.

“Ayah, kapan kita pulang ke Yadgar? Huri ingin sekali melihat Istana milik kita.”

Kata-kata dan kenangan disaat Zeki menceritakan perihal Yadgar kepada anak-anak untuk pertama kalinya, terbesit di pikiranku begitu saja. Semuanya kembali mencuat … Senyuman mereka ketika kami bercengkerama, wajah damai dikala mereka tertidur … Atau, upaya-upaya konyol yang mereka lakukan hanya untuk meredakan kemarahanku.

“Kei, suamiku berada di sana. Aku ingin sekali menemuinya,” gumamku pelan diikuti tangan yang menggenggam bulunya.

“Kau mengurungkan niatmu untuk menyerah?”

“Dia menungguku sejak beberapa kehidupan, dia bahkan tak menyerah walau aku sama sekali tidak mengingat semua itu. Aku masih belum bisa melepaskannya … Tidak, aku memang tidak bisa melepaskannya. Sekarang aku baru yakin, bahwa dia tidak akan meninggalkanku demi perempuan lain.”

“Kenapa kau begitu yakin?”

“Kenapa?” sahutku menimpali ucapannya, “mungkin karena aku menakjubkan. Bahkan kau saja, sudah sulit melepaskan diri dari pesonaku.”

“Eratkan peganganmu!” perintahnya yang membuat senyumku terlukis, oleh hawa sihir miliknya yang meningkat tiba-tiba.

Kei mempercepat larinya, hanya dalam sekejap … Kami sudah melewati gerbang yang telah dihancurkan. Kei terus berlari mendekati pusaran kecil angin lalu melompat, menjadikan pusaran angin tadi sebagai pijakan untuk dia berlari membawaku ke atas bangunan-bangunan yang masih berdiri kokoh di sekitar.

Entah kenapa, Kei tiba-tiba mengubah haluannya. Dia berbelok tajam ke kiri, meninggalkan atap sebuah rumah yang ia pijak. Kei terus membawaku berlari melewati rumah-rumah penduduk … Kepalaku segera menoleh, sesaat bunyi tawa melengking dari seorang perempuan tiba-tiba mencuat.

“Berikan dia kepadaku! Agar Kaisar menerima kami kembali.”

Mataku seketika membelalak, menyaksikan sosok setengah perempuan pemakan bangkai yang dulu kami temui di hutan milik Kaisar. Sosok tersebut terbang mengejar kami dengan kedua tangannya yang menjulur hendak meraihku. “Takaoka Sachi! Takaoka Sachi!” Dia terus menyebut namaku berulang-ulang saat mengejar kami.

“Kami tahu kau akan datang!” ucapannya kembali terdengar, kali ini dengan suara tawa yang membuatku merinding.

Tubuhku kaku. Jantungku tak berhenti berdegup kencang, ketika … Tanah yang baru saja kami lewati, porak-poranda. Aku terdiam, menatapi sosok Shin yang tiba-tiba muncul begitu saja dari dalam tanah. Sisik-sisik hitamnya, terlihat sangat indah dibasahi hujan, saat dia masih membelakangi kami.

Shin tetap tak bergerak, dia masih berdiri dengan setengah tubuhnya yang masih terbenam di dalam tanah.  “Shin?” Dia baru menoleh sesaat namanya kupanggil.

Kata-kata yang sebelumnya ingin aku ucapkan, tiba-tiba menghilang dari dalam kepala. Mataku tak bisa berpaling, pada sosok makhluk setengah perempuan tadi yang telah tergolek di mulut Shin. Kulit putih pada makhluk tersebut, telah berubah hitam seperti dibakar.

Entah sudah berapa kali aku meneguk ludahku sendiri hari ini. Namun aku tetap tanpa sadar telah melakukannya, sesaat tubuh hitam makhluk tadi jatuh di depan Shin tatkala dia melepaskan gigitannya di tubuh makhluk tersebut. “My Lord!” Kepalaku yang sebelumnya tertunduk menatap tubuh kaku perempuan setengah burung yang diserang Shin, segera mendongak secepat kilat dikala dia memanggilku.

“Terima kasih telah kembali.”

Aku tertegun mendengarkannya mengucapkan kata-kata itu. “Terima kasih juga, karena telah membawaku kembali, Kalian Semua,” ucapku menahan haru oleh perkataannya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang