Chapter DCLXXIX

2.2K 502 22
                                    

Kuda yang aku tunggangi melamban, tatkala kami dengan perlahan mulai memasuki hutan. "Berhati-hatilah!" perintah Zeki yang tiba-tiba sudah menunggangi kudanya di sampingku. Dia kembali membuang pandangannya ke depan saat aku mengangguk, menjawab perkataannya.

"Ayah, Ibu, seperti apa Istana itu?"

"Kapan kita akan pulang ke Istana kita, Ayah?" tanya Ihsan dan Huri secara bergantian kepada kami.

"Istana, kah?" ucap Zeki sambil mendongak, "Kerajaan kita, termasuk Kerajaan yang besar, orang-orang memanggilnya dengan Yadgar. Bisa dikatakan, kalian berdua adalah Pangeran dan Putri Yadgar. Istana kita sangatlah luas, dengan banyak sekali kamar, halaman luas yang bahkan Kou bisa tidur di sana ... Dinding tinggi, dengan banyak sekali ornamen berlapis emas."

"Kalian, bisa mendapatkan apa pun di Istana. Namun, tidak untuk saat ini ... Karena saat ini, kita masih belum bisa pulang ke Rumah. Bersabarlah! Saat semuanya sudah baik-baik saja, Ayah berjanji akan membawa kalian pulang," sambungnya dengan tangan kanan terangkat mengusap kepala Ihsan.

Kuda kami berjalan beriringan, semakin masuk ke dalam hutan. "Ada apa?" tanya Zeki tatkala aku dengan tiba-tiba menghentikan langkah kuda.

Aku masih mengangkat kepala, menatapi dedaunan yang terbang di atas kepala. Kuberikan tali kekang yang aku pegang kepada Zeki seraya aku beranjak turun dari atas kuda. Aku meraih dan menggendong Huri, lalu memberikannya kepada Zeki sebelum akhirnya aku berjalan menjauhi mereka semua menuju pepohonan yang ada di sekitar. "Bibi? Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanyaku setelah berhenti berlari di depannya.

Bibi menggeleng dengan jari telunjuk mengarah ke arah seorang laki-laki yang berdiri bersandar di salah satu pohon, "temui dia!" pinta Bibi sambil mendorong pundakku.

Aku berjalan mengikuti dorongan yang ia lakukan, dengan sesekali menoleh ke arahnya yang turut berjalan di belakang. "Kakek? Apa Kakek memanggilku?" tanyaku kepadanya, saat dia telah menoleh ke arahku.

"Di mana Putrimu?" Dia balas bertanya tanpa menoleh ke arahku.

"Dia bersama Ayahnya. Aku akan mengajaknya ke sini, tapi sebelum itu ... Kami mengangkat seorang anak laki-laki menjadi anak kami. Aku hanya ingin, kalian menganggapnya sama seperti Huri, tidak membeda-bedakannya, karena kami tidak ingin dia mengetahui kenyataan tersebut," ucapku dengan menatap mereka bergantian.

Aku terdiam, hampir tak berkedip saat Kakek berbalik lalu menatapku, "baiklah. Aku tidak akan mempermasalahkannya."

Aku membungkuk ke arah Kakek setelah dia mengatakan kata-kata tersebut, "ikuti aku, Kakek, Bibi! Karena yang ingin bertemu kalian, bukan hanya Huri ataupun Ihsan," ucapku seraya berbalik lalu melangkah.

"Jadi namanya Ihsan?" Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Bibi yang telah berjalan di sampingku.

"Naga milikmu itu, membuat benteng perlindungan yang sangat kuat, Bibi bahkan sulit untuk menyelinap ke dalamnya. Dia benar-benar berhati-hati, tidak seperti wilayah dari Naga milik Kaisar-"

"Bibi menyelinap ke sana?" tanyaku memotong perkataannya.

Dia mengangguk, "sihir Bibi membaur dengan pepohonan, Bibi ingin memastikan keberadaan Robur Spei di sana, tapi Bibi tidak menemukannya."

Aku menyilangkan lengan dengan kening mengerut tertunduk, "bukankah Bibi dulu pernah mengatakan, Bibi merasakan keberadaan Robur Spei?" Aku kembali bertanya kepadanya.

"Memang, tapi entah kenapa ... Sihir yang Bibi rasakan, tiba-tiba menghilang begitu saja," jawabnya yang juga sudah menyilangkan lengannya di dada, sama sepertiku.

"Menghilang?"

Sebenarnya, yang mana yang benar? Uki mengatakan, bahwa Robur Spei itu belum tentu bunga ... Bibi sekarang justru mengatakan, sihir Robur Spei tiba-tiba lenyap. Jadi, yang mana yang benar?

Aku sedikit mempercepat langkah, "Huri, Ihsan, ada yang ingin bertemu dengan kalian," ucapku seraya berjalan mendekati kuda yang Zeki tunggangi.

Mataku sedikit terpejam dengan kepalaku yang pelan mengangguk, tatkala Zeki menatap hampir tak berkedip ke arahku. "Siapa, Ibu?" tanya Huri, saat aku telah meraih lalu menggendongnya turun.

Aku kembali beranjak berdiri dengan meraih Ihsan lalu menurunkannya di samping Huri, "Kakek Buyut, dan Nenek kalian," ucapku seraya berjalan ke belakang mereka.

"Ayo temui mereka!" perintahku sambil menepuk pelan punggung mereka berdua.

Huri dan Ihsan berjalan, dengan sesekali melirik ke arahku yang berjalan di belakang mereka. "Bibi, Kakek, ini Ihsan, dan ini adiknya, Huri," ucapku dengan sedikit berharap cemas, agar mereka dapat melakukan yang aku pinta.

Aku menggigit pelan bibirku, saat Bibi berjongkok di depan kami, "ini pertama kalinya kita bertemu. Aku, Kakak dari Nenek kalian, bisa dikatakan bahwa aku juga Nenek kalian. Sedang beliau, adalah Ayah dari Nenek kalian-"

"Dia, Kakek buyut kalian," ucapku memotong perkataan Bibi.

Bibi mengangguk, "Ihsan, Huri, senang bertemu kalian," ucapnya sambil tersenyum menatap mereka berdua bergantian.

Keningku mengernyit tatkala kepala Huri bergerak, kadang menatap Bibi, kadang menatap Ihsan yang berdiri di sampingnya. "Ibu, kenapa telinga Bibi panjang, tidak seperti kita?" celetuk Huri dengan mengangkat kepalanya menatapku.

Bibi beranjak dengan tersenyum ke arahnya, "karena kami bukanlah manusia, kami dari bangsa Elf," ucap Bibi dengan mengangkat tangannya ke samping.

Aku turut membuang pandangan ke arah tangannya menunjuk. Suara dari anak-anak masuk ke dalam telingaku, tatkala sebuah pohon tumbuh meninggi dengan banyak sekali buah apel kemerahan memenuhi daunnya. Akar-akar hijau turut tumbuh, memetik beberapa buah apel lalu bergerak memberikan satu per satu apel tersebut ke anak-anak.

"Ayah, dia hebat sekali!" seruan Takumi membuatku beralih ke arahnya yang berdiri di samping Ebe dengan sebutir apel di tangannya.

Takumi berlari mendekati kami, tatkala aku melambaikan tangan ke arahnya. "Bibi, Bibi, siapa mereka?" tanya Takumi saat dia sendiri telah berhenti di sampingku.

"Apa kau anaknya Izumi? Matamu sama sepertinya," ucap Bibi yang dibalas anggukan kepala Takumi.

Kami semua menghening, saat angin tiba-tiba berembus diikuti akar yang tumbuh di dekat kami. Aku masih terdiam, menatapi akar yang tumbuh dengan bunga kecil berwarna merah muda tersebut mengelilingi pergelangan tanganku. "Jika kalian berada dalam bahaya, ambil dan tanam salah satu bunga lalu katakan sesuatu ... Kami, akan datang membawa kalian pergi dari sana," ucap Bibi dengan menatapi Huri, Ihsan, dan Takumi yang juga sama-sama telah mendapatkan gelang akar tersebut di tangan mereka.

Aku mengikuti lirikan Bibi, yang menoleh ke arah Kakek, "Ihsan, Huri," ucapku pelan sambil menyentuh punggung mereka.

Kepalaku mengangguk tatkala mereka menoleh ke arahku. Mereka kembali menunduk dengan berjalan pelan mendekati Kakek, "Kakek buyut," ungkap Ihsan dan Huri hampir bersamaan, saat mereka berdua telah berdiri di depan Kakek yang masih mengatup rapat bibirnya.

Aku balas menatap Kakek yang membuang pandangannya kepadaku. Mataku yang menatapnya itu, hampir tak berkedip sebelum akhirnya aku sedikit bernapas lega tatkala dia mengangkat kedua tangannya, mengusap kepala mereka berdua. Aku menunduk dengan senyum merekah, saat Ihsan ataupun Huri tersenyum ketika Kakek duduk berjongkok membalas pelukan mereka berdua.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang