Chapter DCLIX

2.7K 487 25
                                    

Aku duduk bersandar di sebuah pohon sambil menatap Haruki dan juga Eneas yang tengah membangun tenda. Kugerakan tanganku membuka ikatan gendongan, hingga Huri sendiri benar-benar berbaring di pahaku. "Sachi, air untukmu!" tukas suara Ebe yang membuatku menoleh ke arahnya.

Aku meraih kantung air yang ia berikan kepadaku, membuka penutup pada kantung tersebut lalu meminum air yang ada di dalamnya. "Dia tidur nyenyak sekali," sambung Ebe saat dia duduk di dekatku sambil menatap Huri.

"Da akan membuatku atau Ayahnya berjaga malam nanti, tapi aku juga tidak tega untuk membangunkannya," jawabku sambil kembali memberikan kantung air tersebut kepada Ebe.

"Keadaanmu sendiri bagaimana Ebe, apa kau sudah mulai terbiasa?"

Ebe mengangguk sembari menyimpan kantung kulit berisi air di tangannya ke tas besar di sampingnya, "aku baik-baik saja. Kak Amanda sangat membantuku, aku jadi bisa berbicara dengan banyak penduduk suku, dan mereka semua baik-baik."

"Kau tahu, saat aku mendengar bahwa Izumi menikahi perempuan lain selain Sasithorn, membuatku sama sekali tidak terkejut ... Aku justru, sangat penasaran dengan sosok Ebe," saut Amanda yang membuat pandanganku beralih kepadanya.

"Izumi sering mengatakan, akan menikahinya tapi dia bahkan tidak berusaha mendekatinya. Berbeda sekali dengan hubungan di antara Haruki dan juga aku ... Aku memberikannya dua anak, walau kami belum menikah. Aku dulu tidak pernah peduli dengan anggapan orang-orang yang mungkin menganggapku murahan, tapi bagiku dia tetaplah laki-laki terbaik yang pernah aku temukan-"

"Jadi Ebe, jika nanti kau mendapatkan banyak sekali kata-kata yang terasa menyulitkanmu. Dengarkan hanya kata-kataku ini, Izumi adalah laki-laki yang bertanggung jawab, jika dia memang memilihmu itu berarti kau memang yang terbaik untuknya. Percaya padaku, pasti di setiap perjalanan banyak sekali perempuan yang berusaha menggoda mereka ... Asal mereka akhirnya kembali kepada kita, itu sudah lebih dari cukup."

"Aku pun, jika nanti Haruki ingin menikahi bangsawan lain, aku akan mendukungnya. Aku paham benar, bagaimana seorang Bangsawan harusnya bekerja ... Pernikahan untuk memperluas kekuasaan, aku akan mendukungnya untuk melakukan semua itu."

"Apa yang kau maksudkan, kak?" ucapku yang dengan cepat menyalip perkataannya.

"Kakakmu melamarku tapi aku justru menolaknya. Aku, benar-benar tidak tahu malu, bukan?" ucapnya sambil berusaha tersenyum dengan bibirnya yang gemetar.

"Aku berharap dia tidak menemukanku lagi, tapi di sisi lain aku tidak ingin berpisah darinya ataupun Hikaru. Saat menjadi Luana, aku merasa sedikit pantas untuk mendampinginya ... Tapi saat menjadi Amanda, aku sadar dia seharusnya mendapatkan pasangan yang lebih baik. Ebe, bisa kau menggendong Hikaru sebentar? Mereka sepertinya membutuhkan bantuan," sambungnya sambil beranjak dengan menyerahkan Hikaru yang tengah mengecap tangannya sendiri kepada Ebe.

Amanda berjalan mendekati Haruki dan juga Eneas yang baru saja selesai membangun tenda. "Kenapa dia mengatakan kata-kata tersebut? Aku tidak mengerti kenapa kakak mengatakan kata-kata tersebut."

Lirikan mataku beralih ke arah Ebe yang juga sedang menatapi mereka, "karena dia seorang Putri, yang mengerti akan statusnya."

"Dia dibesarkan sebagai seorang Putri, dia belajar untuk menjadi seorang Putri ... Dia paham benar, arti kekuasaan di mata seseorang yang akan menjadi Raja. Seorang Raja, memiliki istri lebih dari satu, merupakan hal biasa karena mereka harus mendapatkan pewaris takhta. Namun, dia lupa ... Kakakku terlalu pintar kalau hanya mengandalkan pernikahan untuk memperluas kekuasaan," sambungku, aku tersenyum kecil lalu menunduk saat Haruki mengecup bibirnya sebelum melangkah menyusul Eneas.

"Sachi, apa kau-"

"Ebe, bersikaplah seperti kau tidak melihatnya. Berbaliklah menatapku!"

"Aku mengerti," jawab Ebe singkat ketika aku memerintahkannya.

Aku mengangkat tangan mengusap pipi kecil Hikaru, "Hikaru, bantu Ayah dan Ibumu untuk bersatu. Jangan biarkan takdir mempermainkan mereka lebih jauh," ucapku, bibirku tersenyum saat Hikaru balas tersenyum ketika aku mencubit lembut pipinya.

Aku kembali mengangkat pandangan ke arah Amanda yang berjalan mendekat, "ada apa, kak?" tanyaku, saat dia hanya berdiri di dekat kami tanpa mengeluarkan suara.

"Kak?" Aku memanggilnya sekali lagi, yang kali ini sedikit membuatnya terhentak. "Kakakmu dan Eneas sedang mencari kayu bakar. Tenda, sudah selesai mereka bangun, jadi kita bisa membaringkan Hikaru dan juga Huri di sana," ucapnya sedikit gelagapan sambil meraih kembali Hikaru dari pangkuan Ebe.

Ebe turut beranjak berdiri, "baiklah, aku akan membawakan tas ini," ungkap Ebe sambil mengangkat tas besar tersebut di pundaknya.

"Kau bisa meninggalkannya-"

"Bagaimana jika orang-orang jahat itu mencurinya? Semua barang-barang kita ada di sini," saut Ebe memotong perkataanku.

Aku beranjak sambil menghela napas mengikuti mereka yang sudah terlebih dahulu berjalan mendekati tenda tersebut. Langkahku terhenti saat tanganku basah oleh air hangat yang mengalir, aku lagi-lagi menghela napas saat baju yang aku pakai turut basah oleh air tersebut. "Ebe, bisa carikan aku celana milik Huri di dalam tas? Dan tolong pakaian untukku juga," pintaku sambil melanjutkan langkah menyusul mereka.

___________.

"Jadi kalian menangkap ikan?" tanyaku sambil duduk dengan menatap Izumi dan juga Eneas yang tengah menyusun ikan mengelilingi api unggun.

"Aku lapar sekali."

Kepalaku menoleh ke belakang, ke arah Zeki yang berjalan berdampingan dengan Haruki sambil membawa sebuah ember kayu di masing-masing tangan mereka. "Kau dari mana?" tanyaku saat dia sendiri telah duduk di sampingku setelah menaruh ember tadi di sebelahnya.

"Kami menukar hasil buruan dengan ember agar bisa mengambil air di sungai. Kalian membutuhkan air untuk membilas dan membasuh pakaian milik Huri dan Hikaru, bukan?" jawabnya, Zeki menunduk sambil mengecup kening Huri yang duduk bersandar di gendonganku.

"Jangan memaksakan dirimu," ungkapku sembari mengusap rambutnya yang sedikit kotor.

"Aku tidak memaksakan diri, aku melakukan semuanya karena aku ingin."

"Sachi, di mana kau menyimpan pakaian kotor?"

Aku berbalik saat suara Amanda menyentuh telinga, "di samping tenda. Memang ada apa , kak?"

"Aku akan membasuhnya-"

"Tapi aku bisa membasuhnya sendiri, biarkan saja!" ungkapku memotong perkataannya.

Lirikanku berjalan, mengikutinya yang meraih sebuah ember di samping Haruki, "tidak apa-apa. Kau terlihat sangat kelelahan, jadi beristirahat saja," ucapnya sambil melanjutkan kembali langkahnya mendekati tenda.

"Yang dia katakan itu benar. Berikan Huri kepadaku lalu tidurlah! Aku akan membangunkanmu lagi saat mereka telah selesai memasaknya," saut Zeki seraya mengangkat kedua tangannya meraih Huri dari gendonganku.

"Aku seperti menyusahkan kalian kalau seperti ini-"

"Tidak ada yang merasa disusahkan, kita akan bergantian menjaganya. Jadi itu adil, bukan?"

Kepalaku mengangguk, sebelum aku membaringkan kepalaku di pahanya. Aku berbaring menyamping, menatapi api unggun yang ada di depan kami, "aku hanya akan memejamkan mata sebentar, setelah ini aku akan kembali menjaganya-"

"Tidurlah! Percayakan saja semuanya kepada Suamimu ini," potong Zeki, diikuti usapan pelan yang menyentuh kepalaku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang