Kami terlebih dahulu berjalan meninggalkan pedagang tadi, menuju ke arah yang ia tunjuk. Setelah cukup lama berjalan, kami tidak menemukan bangunan yang dimaksud, melainkan sebuah barisan panjang laki-laki ... Mengantre di depan sebuah meja panjang dengan beberapa Kesatria duduk dan berdiri di hadapan mereka.
Setelah satu per satu laki-laki yang mengantre berhasil berbicara dengan Kesatria-kesatria itu. Mereka akan kembali sambil membawa selembar kertas pemberian Kesatria tadi. "Kertas apa yang mereka pegang itu? Aku penasaran sekali ingin membacanya," ungkapku sembari tetap menjatuhkan mata pada laki-laki paruh baya yang baru saja kembali dengan selembar kertas di tangannya.
"Apa kau ingin aku mendapatkannya?"
Sahutan dari Bernice, membuatku segera menoleh padanya, "apa kau bisa melakukannya tanpa meninggalkan jejak sedikit pun? Jika iya, aku akan menunggumu di penginapan, kalau perlu kau bisa mengajak Sabra bersama-"
"Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri tanpa bantuannya. Aku juga telah mengingat jalan untuk kembali ... Jadi serahkan ini kepadaku," ungkapnya sambil berlalu di depanku.
"Bernice, berhati-hatilah!"
Langkahnya terhenti dengan mengalihkan pandangannya padaku, "khawatirkan dirimu sendiri. Aku akan baik-baik saja," jawabnya sembari melanjutkan lagi langkahnya.
_____________.
Kami bertiga yang telah kembali ke penginapan, hanya duduk terdiam menunggu kembalinya Bernice. Mataku dengan cepat menoleh kepada Sabra yang beranjak setelah mendengarkan ketukan pintu dari arah luar. Pedangnya yang sebelumnya ia pegang dengan sangat erat, kini ia longgarkan sedikit sesaat dia membuka pintu untuk memastikan siapa yang datang.
Bernice yang berjalan masuk, segera membuka jubah miliknya, yang disusul oleh Lux di belakangnya. "Kalian bersama?" tanyaku, sambil menatap Lux yang telah hinggap dan duduk di kepala Ebe.
"Aku bertemu dengannya di jalan menuju ke sini. Aku memintanya untuk membawaku ke sini ... Karena itu kami bersa-"
"Kertas yang kau inginkan," sahut Bernice sambil menjulurkan kertas kecokelatan kepadaku sebelum Lux sempat untuk menyelesaikan perkataannya.
Aku meraih kertas pemberiannya lalu membaca baik-baik apa yang tertulis di sana. Beruntungnya, huruf-huruf yang ditulis ... Bukan menggunakan Bahasa Kerajaan Juste, jadi aku bisa memahami apa yang tertulis.
"Dalam beberapa hari, mereka akan mengadakan festival. Festival dengan jumlah hadiah terbesar di Kerajaan Juste ... Di sini tertuliskan, bahwa kita bisa meminta apa pun sebagai pemenang kepada Raja."
"Lux, kau menemuiku, apa ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?" lanjutku yang kali ini mengalihkan pandangan padanya.
"Aku belum menemukan di mana anak-anak itu, tapi aku mengetahui satu hal tentang Kerajaan ini. Selama pergi ke pasar, apa kalian melihat sebuah papan dengan banyak lukisan di sana?" Aku menjawab pertanyaan Lux dengan anggukan kepala.
"Di sini, hanya memperbolehkan beberapa ratus perempuan paling cantik di Ibukota Kerajaan yang boleh tinggal, sisanya ... Mereka akan dibuang atau bahkan dibunuh karena dianggap tidak berguna. Mereka yang dibuang, akan dikirim ke luar Ibukota untuk dijadikan budak kasar sedang yang bertahan di sini, dijadikan sebagai pemuas nafsu semua laki-laki yang ada."
Mataku seketika membelalak setelah mendengar apa yang Lux ucapkan. "Laki-laki keluar-masuk dari tempat itu dan bisa memilih perempuan mana saja yang mereka inginkan, tentu dengan imbalan yang harus dibayar oleh mereka. Semakin kecil angka di bawah lukisan, semakin mahal juga harganya. Para perempuan itu dipaksa tanpa henti untuk memuaskan laki-laki yang datang, bahkan anak-anak yang perempuan-perempuan itu lahirkan akan dikurung dan dipilih untuk nantinya dapat menggantikan Ibunya."
"Tempat itu dilindungi oleh Kerajaan, karena Kerajaan juga yang meraup untung dari bayaran-bayaran laki-laki itu. Kau tahu apa yang lebih biadab dari semua itu, Sachi? Anak laki-laki yang dilahirkan dari perempuan-perempuan itu, akan diberikan ke penduduk yang dapat membayar mahal untuk memiliki seorang keturunan tanpa mengetahui Ibu mereka ... Saat anak-anak itu beranjak dewasa dan mengunjungi tempat tersebut, mereka tidak akan tahu perempuan yang ada di sana adalah Ibu, saudara atau bahkan anak mereka."
Lux terdiam cukup lama setelah menyelesaikan perkataannya. "Bato," ungkapku, memecah kesunyian di antara kami, "Festival itu bernama Bato, dan sangatlah berbahaya karena kita diberi izin untuk melakukan apa pun agar menang-"
"Kita akan mengikutinya!" sergah Bernice yang kali ini memotong ucapanku.
"Aku tidak tahu seperti apa festival ini berlangsung ... Kalian akan kehilangan nyawa hanya karena mengikuti-"
"Apa kau ingin lari ? Apa kau ketakutan?"
Aku tertawa kecil mendengar kata-kata yang diucapkan Bernice dengan mudahnya, "tentu saja tidak. Aku hanya mengkhawatirkan kalian. Namun, jika kalian memang ingin mengikutinya, aku ingin kita menyembunyikan identitas ... Aku ingin Sabra membuatkan topeng untuk kita berempat sebelum kompetisi festival itu, dan aku akan menjahit pakaian yang tak boleh kalian tolak apa pun yang terjadi."
"Katakan setuju maka kita akan melakukannya. Lagi pula, kita memang harus menang ... Aku ingin meminta Raja mereka mengabulkan permintaan kita. Lux, apa kau bisa mencari tahu seperti apa Festival tersebut? Agar kami bisa menyiapkan semuanya selain dua hal yang aku sebutkan sebelumnya."
"Aku akan melakukannya, tapi untuk sekarang ... Izinkan aku untuk tidur beberapa saat, aku benar-benar lelah."
"Tidurlah! Apa ada buah yang ingin kau makan? Aku akan membelinya untukmu!"
"Jika kau menemukan jeruk, bawakan saja itu untukku!" perintahnya sambil terbang menjauh dari kepala Ebe.
Aku beranjak dengan melirik pada Sabra yang masih berdiri di dekat pintu, "ikut aku, Sabra! Kita akan membeli peralatan yang diperlukan untuk mengikuti Festival," ungkapku sembari berjalan meraih tas dan jubahku yang tergeletak di atas ranjang.
____________.
Jarum yang aku pegang, menari-nari di atas potongan kain yang ada di tanganku. Saat aku menjahit pakaian yang akan kami pakai, sesekali aku akan melirik pada Sabra yang terlihat fokus mengukir potongan kayu di hadapannya. "Kau ingin kita memakai pakaian ini? Apa kepalamu itu sudah tidak berguna?" Kutarik napas sedalam mungkin disaat suara Bernice memecah keheningan.
Kepalaku terangkat menatapinya yang telah berdiri sambil memegang potongan pakaian yang sebelumnya aku berikan kepadanya, "apa kau tidak bisa mengecilkan suaramu? Apa kau ingin membuat mereka yang tinggal di kanan dan kiri kita mendengarkan apa yang kita bicarakan?" tukasku hingga membuatnya seketika terdiam.
"Apa kau tidak mendengarkan apa yang Lux katakan kemarin? Kalian bertiga cantik, bentuk tubuh kalian pun menggoda," ungkapku sambil meletakkan kain yang ada di tanganku ke kursi lalu berjalan mendekati Bernice.
"Lihatlah tubuhmu, Bernice! Bagian menonjol yang ada di depan dan belakang tubuhmu ini, pasti membuat para laki-laki yang melihatnya ... Ingin sekali menyentuh mereka seperti ini," ucapku kembali, dengan tangan yang meremas kuat bokongnya.
Bernice yang sontak terkejut, langsung berbalik dengan membuang pukulan yang hampir mengenaiku, jika saja aku tidak cepat menghindar, "apa kau ingin mati?" ancamnya sambil mengepal kuat tangan kanannya.
"Kita akan menyembunyikan wajah kita, tapi sebaliknya, kita akan mengundang perhatian mereka dengan tubuh kita. Kita membutuhkan perhatian agar rencana ini dapat berjalan lancar ... Pakaian ini juga akan membuat kita mudah untuk bergerak, apa kau tidak ingin menghabiskan mereka semua dan membuat mereka mengakui kehebatanmu?"
"Apa kau pikir ini akan berhasil?" sahut Bernice kembali padaku.
"Entahlah, tapi yang pasti ... Kita harus menarik perhatian orang-orang itu. Harus!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...