Chapter DCLXI

2.7K 482 24
                                    

Aku melirik ke arah Izumi yang menunggangi kudanya melewati kami. "Apa yang kau janjikan kepada para penduduk itu?" tanya Izumi kepada Haruki yang berkuda di depan kami.

"Kau pasti menjanjikan sesuatu hingga mereka membiarkan kita lewat begitu saja, bukan?" Izumi kembali bertanya saat kuda yang ia tunggangi sudah berjalan berdampingan dengan kuda milik Haruki.

"Aku hanya menjanjikan mereka tempat tinggal. Aku mengatakan akan mencari tahu kutukan tersebut, itulah kenapa beberapa laki-laki yang berjalan di belakang kita ikut memastikan janji yang aku buat-"

"Kenapa kau selalu bersikap egois!" suara Izumi yang meninggi membuat perkataan Haruki terhenti.

Kuda yang kami tunggangi berhenti saat kedua kuda yang ditunggangi kakakku telah berhenti lebih dahulu. "Apa yang egois?" tukas Haruki dengan menoleh ke arah Izumi.

"Lebih egois mana dengan seorang Pangeran yang tidak bisa menjaga rakyat mereka? Hanya karena, Pangeran tersebut takut oleh suatu hal yang belum dia ketahui. Kembalilah ke Sora, kalau kau takut untuk melangkahkan kedua kakimu, Adikku," Haruki menyambung perkataannya sebelum dia kembali menggerakan kudanya berjalan.

"Apa mereka selalu seperti itu sepanjang kalian melakukan perjalanan?"

Aku masih terdiam saat mendengar bisikan yang Zeki lakukan, "aku sulit untuk menjawabnya," ungkapku sambil menepuk punggungnya.

Aku kembali menunduk menatapi Huri ketika kuda yang kami tunggangi mulai berjalan. Sesekali aku melirik ke arah Izumi yang masih sangat rapat mengatup bibirnya. Kadang kala mata kami saling bertemu, sebelum dia membuang kembali pandangannya.

___________.

Kuda kami terus berjalan maju, walau kadang-kadang berhenti ketika Haruki bertanya arah jalan ke beberapa laki-laki yang berjalan mengikuti kami dari belakang. Tanganku meraih kain yang Zeki berikan, lalu membentang kain tersebut, mengikatkan kedua ujungnya melingkari leher hingga kain tadi menutup dadaku. Sambil melirik ke sekitar, aku sedikit mengendurkan gendongan Huri, menarik pakaianku ke atas untuk menyusuinya yang mulai terbangun.

Sebelah tanganku memegang pakaian Zeki dengan sebelah tanganku yang lain menggendong Huri. "Apa masih jauh?" tanyaku sambil memindahkan tubuh Huri agar bisa menyusu ke sebelah dadaku yang lain.

"Sepertinya sebentar lagi kita akan sampai. Apa kalian berdua baik-baik saja?"

Aku mengangguk dengan mencoba untuk mendekatkan Huri ke dadaku, "kami baik-baik saja," ucapku pelan seraya kembali menatap punggungnya.

Kuda-kuda kami yang memang sebelumnya berjalan lamban, kini terhenti saat sebuah benteng dengan gerbang yang terbuka menganga berada di hadapan kami. Aku mengangkat Huri sambil menurunkan kembali pakaianku. Aku menarik kain yang sebelumnya menutupi dada lalu memberikannya kepada Zeki, setelah selanjutnya aku menggendong lagi Huri menggunakan kain gendongan yang sebelumnya aku lepaskan.

"Apa kau telah selesai?"

"Hanya tinggal mengencangkan gendongannya saja," jawabku sambil kembali mengikat gendongan tersebut agar lebih kencang.

"Aku sudah selesai melakukannya."

Zeki yang mendengar perkataanku, mulai kembali menjalankan kuda milik kami yang sempat berhenti. Sesekali aku menunduk, menjauhkan rambutku dari genggaman Huri yang hendak ia dekatkan ke mulutnya. "Jangan lakukan itu, Huri!" gumamku dengan meraih tangannya lalu mendekatkan tangannya tadi ke bibirnya hingga dia pun kadang kala bergumam sambil mengecap tangannya sendiri.

Semakin kami mendekati gerbang tersebut, aku justru tidak merasakan apa pun keanehan. Semua yang aku rasa sama ... Sihir yang sangat kuat terasa seperti semalam, benar-benar tidak aku rasakan. Aku bahkan berpikir, apa kami benar-benar di tempat yang tepat sekarang?

Namun, semakin kami maju ... Bau busuk yang entah dari mana, semakin menyeruak masuk ke dalam hidung. Aku memeluk erat Huri saat tangisannya mulai terdengar, lirikan mataku turut beralih pada Hikaru yang juga ikut menyusul tangisannya. "Berpeganglah!" Tanpa sadar, aku dengan cepat melingkarkan lenganku di pinggangnya tatkala Zeki tiba-tiba membuka suaranya.

Dia memacu kuda miliknya berlari secepat mungkin saat aku sudah mengikuti perintahnya. Aku menghela napas, dengan berusaha sekuat mungkin menahan Huri yang kadang kala memberontak di gendonganku. Aku mendongak, menatap Uki yang terbang di atas kepala kami ... Bayangan dari sayapnya, menghalangi sinar matahari jatuh ke arah kami.

"Zeki!"

Suara Izumi, terus-menerus memanggil Zeki dari arah belakang. "Jangan terburu-buru! Kita tidak tahu apa yang ada di depan kita!" bentak Izumi saat kuda miliknya telah berlari di samping kami.

Zeki menoleh ke arahnya dengan menarik tali kekang hingga kuda yang dia tunggangi berhenti, "aku hanya ingin membawa keluargaku keluar dari sini secepatnya!" balas Zeki kepada Izumi.

"Apa kalian kehilangan akal! Jangan memisahkan diri di tempat asing!" suara amarah Haruki turut menimpali pembicaraan mereka dari arah belakang.

Zeki menoleh ke arahnya dengan kedua matanya yang sedikit memerah, "lihat anakmu sendiri! Apa kau ingin membuatnya berlama-lama di tempat busuk seperti ini!"

"Aku tidak peduli dengan keadaan mereka yang ada di sini! Jika aku yang memimpinnya, tempat ini akan aku bakar habis agar menghilangkan kutukan itu-"

"Seseorang yang selama hidupnya tidak pernah merasakan kutukan, tidak akan paham rasanya," ungkap Haruki memotong perkataannya sambil membawa kuda miliknya melewati kami.

"Siapa orang yang ingin hidup dalam kutukan? Menerima sesuatu yang menyusahkan, sesuatu yang bahkan tak dia harapkan. Membakar habis mereka, kah? Lucu sekali, saat seseorang harus menerima kemalangan lagi dari sesuatu yang telah membuatnya malang," sambung Haruki, kudanya berhenti dengan berbalik menatap ke arahku.

"Sa-chan, cari tahu dari mana asal-muasal kutukan tersebut! Sebelum kau menemukannya, kita tidak akan meninggalkan tempat ini," ungkapnya, dia melompat turun dari atas kudanya dengan meraih Hikaru yang sudah sedikit tenang di gendongan Amanda. Haruki menimang Putranya dengan sebelah tangan, dengan tangannya yang lain berjalan menarik kuda yang masih ada Amanda duduk di atasnya

"Aku benar-benar akan-" gumaman yang Zeki lakukan terhenti saat Izumi memukul dada Zeki sebelum dia membawa kuda miliknya berjalan menyusul Haruki.

"Kau ingin kita bertukar posisi? Aku, akan menggantikanmu menunggangi kuda-"

Perkataanku terhenti ketika dia dengan cepat melirik ke arahku. "Inilah kenapa, aku tidak memintamu untuk terlalu baik.Jika saja kau tidak menganggapnya sebagai kakak, aku tidak bisa memastikan akan bisa bersikap baik kepadanya," ungkap Zeki, dia membuang pandangannya ke depan lalu menjalankan kembali kuda yang ia tunggangi.

Aku menoleh ke arah belakang ketika suara desis terdengar kuat bercampur dengan suara teriakan laki-laki. Kedua mataku membelalak, saat tatapan mataku itu terjatuh ke seekor ular besar yang tengah melilit seorang laki-laki di tubuhnya. "Shin, apa yang kau lakukan?!" bentakku, ketika dia membuka mulutnya lalu dengan perlahan menelan laki-laki yang ia lilit.

Aku membuang pandangan ke arah beberapa laki-laki lainnya yang berlari tak tentu arah meninggalkan kami. "Ada apa?" tanya Zeki diikuti suara jeritan perempuan yang turut meramaikan suasana.

"Tidak apa-apa, itu hewanku," ungkapku gemetar sambil meraih dan menggenggam pakaian Zeki.

Aku tertunduk dengan menutup mata, saat tubuh laki-laki malang itu benar-benar telah habis ditelan oleh Shin. Kepalaku bergerak ke samping dengan cepat saat suara teriakan laki-laki terdengar ... Disusul, jasad seorang laki-laki yang melayang di udara oleh ekor Manticore yang menancap di dadanya, "apa aku, bisa memakannya?" suara Acey turut terdengar saat dia meletakan tubuh laki-laki yang ia bunuh tersebut di hadapannya.

Aku lebih tak habis pikir, ketika lirikanku itu mengarah kepada Uki yang hanya diam menyaksikan semuanya dengan hinggap di atas kuda yang Eneas tunggangi. "Jangan menatapku seperti itu, My Lord. Kami hanya menjalankan kewajiban untuk melindungimu," ungkap suara Uki saat matanya menoleh ke arahku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang