Aku berjalan mendekati mereka yang berbalik menatap kami. Aku masih mengatup bibirku saat aku sudah berdiri di depan Zeki dengan melepaskan gendonganku kepada Huri lalu memberikannya kepada Zeki untuk dia gendong. "Apa yang terjadi?" tanyanya sambil memegang lenganku saat aku ingin berjalan mundur menjauhinya.
Aku menggeleng dengan tangan kiriku menyentuh tangannya agar melepaskan lengan kananku. "Kumohon!" tukasku, Zeki baru melepaskannya saat aku sudah mengatakannya.
Aku menarik napas dengan sangat dalam, sambil berjalan lalu berhenti kembali seraya menatap mereka semua satu per satu. "Jika aku katakan, aku mencintai kalian semua ... Apa kalian, akan mempercayaiku?"
"Apa yang kau maksudkan itu, Sachi?!" Izumi membentakku, dengan langkahnya yang bergerak mendekat sambil memegang erat lengan kiriku.
"Apa kau lupa dengan apa yang aku perintahkan kepadamu dulu? Jangan menggunakan sihir tersebut!" Izumi kembali meninggikan suaranya seraya menatapku dengan kedua matanya yang mulai memerah karena amarah.
"Aku harus melakukannya untuk menyelamatkan nyawa kalian. Aku tidak ingin, kalian berakhir seperti penduduk desa ini. Kumohon, percayalah kepadaku," ungkapku, wajahku sendiri tertunduk, berusaha untuk menghindari tatapan Izumi.
"Jadi, jika aku mengatakan, aku mencintaimu ... Apa kau akan mempercayainya, Izu-nii?" sambungku, bibirku tersenyum saat dia hampir tak berkedip menatapku.
"Apa kami juga, sudah tanpa sadar terkena kutukan yang sama?"
Anggukan kepala yang aku lakukan, menjawab pertanyaan Izumi. Lirikan mataku beralih ke arah genggaman tangannya yang telah terlepas, "apa nii-chan, tidak ingin menjawab pertanyaanku?" ucapku sambil mengangkat pandangan menatapinya.
"Aku percaya," jawabnya pelan, hampir seperti berbisik menyentuh telinga.
Aku tersenyum dengan mengalihkan pandangan kepada Eneas, "bagaimana denganmu, Eneas?" tanyaku kepadanya.
"Apa aku akan mati jika tidak menjawabnya?"
"Mau berapa kali lagi kau menyelamatkan nyawaku, nee-chan? Aku, tidak tahu bagaimana harus membalasnya nanti," sambungnya, kepalanya masih tertunduk, seperti tak memiliki niat untuk dia angkat.
"Hanya balas dengan pertanyaanku sebelumnya. Jika aku katakan, aku mencintaimu ... Apa kau, akan mempercayainya?" sautku, aku tersenyum ke arahnya yang dengan perlahan membalas tatapanku.
"Aku percaya," jawabnya dengan mata yang hampir tak berkedip menatapku.
"Haru-nii?" tukasku yang kali ini mengalihkan pandangan pada Haruki.
"Semuanya akan baik-baik saja, percayalah kepadaku," sambungku saat dia masih sangat rapat menutup bibirnya.
"Haru-nii!" Aku sekali lagi memanggil namanya, "kumohon. Kou mengatakan, kita harus meninggalkan tempat ini sebelum malam datang," ungkapku kembali padanya.
Dia menghela napas, "maafkan aku. Aku mempercayai setiap kata yang kau ucapkan," jawabnya, dengan sedikit mengalihkan pandangan.
"Aku pun percaya," saut Amanda ketika aku melirik padanya.
"Bagaimana denganmu, Ebe?"
"Jika itu benar ... Tapi, aku sama sekali tidak merasakan sihir atau kutukan yang dimaksudkan," ungkap Ebe saat aku menoleh ke arahnya yang sudah terasa enggan membuang pandangannya dariku.
"Ini siang, mungkin karena itu aku juga tidak menyadarinya. Kau percaya kepadaku, kan, Ebe?"
Ebe mengangguk, "aku percaya. Kau manusia pertama yang aku percayai," tukasnya yang aku balas dengan senyum kecil.
"Zeki!" panggilku padanya yang tengah menepuk punggung Huri di gendongannya.
"Zeki?" Aku sekali lagi memanggil namanya, ketika dia mengacuhkan begitu saja panggilanku.
"Zeki, apa kau akan bersikap seperti ini terus-menerus? Waktu kita tidak banyak," ungkapku lagi kepadanya, sambil menghela napas saat lidahnya berdecak.
"Kau ingin aku memberikan sesuatu yang kalian sebut dengan kutukan ke Istriku sendiri? Tidak seperti mereka ... Jika terjadi sesuatu kepadamu, aku akan kehilangan Istriku, dan Putriku kehilangan Ibunya. Harus berapa kali aku katakan, hanya pikirkan dirimu sendiri dan keluarga kita-"
"Aku sudah melakukannya!" cetusku memotong perkataannya, "aku memutuskan untuk tidak menolong para penduduk desa karena memikirkan keluargaku. Namun, aku tidak bisa berdiam diri saat bahaya menimpa keluargaku. Kau sendiri yang mengatakan, jika tanpa saudaraku ... Aku mungkin sudah mati sejak lama," sambungku dengan mengangkat kembali pandangan kepadanya.
"Kau, percaya kepadaku, bukan?" Aku lagi-lagi melanjutkan perkataan.
Aku hampir tak berkedip, membalas tatapan yang ia lontarkan kepadaku, "baiklah, aku percaya," ungkapnya, sebelum dia membuang kembali pandangannya.
"Terima kasih," tukasku singkat, dengan menggenggam kedua tangan sambil memejamkan mata.
"Aku harap, aku bisa mengambil kesedihan dan kegundahan mereka. Aku harap, aku bisa mengambil semua kutukan yang mereka terima agar mereka dapat melanjutkan hidup tanpa beban dan bahagia. Mereka ... Adalah orang-orang yang sangat berharga untukku. Jadi Deus, kabulkan doa dan harapanku ini," ungkapku yang mengucapkannya sambil tetap memejamkan mata.
Kedua tanganku semakin erat menggenggam satu sama lain, saat udara dingin tiba-tiba berembus membelai tubuhku. Aku sedikit meringis, ketika udara sejuk itu berganti dengan rasa panas, yang terasa sangat membakar di dalam perut. Tubuhku hampir jatuh tersungkur ke depan, kalau saja Izumi tidak tanggap untuk menangkapnya.
Rasa panas tersebut, terus menjalar dan terus menjalar naik ke atas ... Hingga aku tak kuasa untuk menahan batuk. "Sachi," suara Izumi terdengar sama-samar di telingaku, yang masih belum aku gubris ... Karena aku sendiri, masih terpaku dengan darah yang memenuhi telapak tanganku.
Aku melirik ke arah Zeki yang berusaha mendekat dengan menggendong Huri, kalau saja Haruki tidak menahannya untuk datang mendekatiku. "Sachi! Lepaskan aku, Haruki!" Aku memalingkan wajah, saat teriakan darinya memanggil namaku terdengar berulang-ulang, bercampur dengan tangisan Huri yang juga ikut terdengar.
"Ba-bawa aku, untuk ... Mendekati Kou, nii-chan," bisikku lirih sambil menggenggam erat lengannya yang menahan tubuhku.
Apa ini efek dari kutukan tersebut? Tapi kenapa bisa secepat ini?
Berkali-kali aku batuk, hingga pakaian Izumi yang menggendongku menjadi basah oleh darah yang turut keluar mengikuti batuk tersebut. Aku semakin membenamkan wajah ke tubuhnya, diikuti tanganku yang menggenggam erat pakaian miliknya itu. "Bertahanlah! Jangan membuat kami semua menyesali apa yang terjadi hari ini," ungkap Izumi, ketika dia kembali menurunkanku.
"Maafkan aku, Kou!"
Izumi yang lagi-lagi berbicara, membuat lirikan mataku beralih kepadanya. Dia menggores tubuh Kou menggunakan pedang miliknya hingga darah keluar dari luka yang ia buat. Izumi melempar pedangnya ke tanah, lalu mengangkatku kembali hingga wajahku bergerak mendekati luka di tubuh Naga milikku itu. Bibirku mendekat lalu menempel di luka tersebut, sebelum aku mengisap dengan pelan darah milik Kou.
Entah kenapa, saat aku terus mengisap darahnya ... Mataku justru semakin berat, terasa sulit untuk dibuka. Rasa panas di dalam tubuhku, ikut digantikan oleh rasa dingin yang menyelimutinya.
Mungkin, saat pertama kali aku terkena kutukan, mataku sedang buta hingga tidak bisa melihatnya, dan saat aku mengambil kutukan Ibu, mataku tertutup oleh kain yang aku gunakan untuk menyelimuti tubuh hingga aku juga bisa melihatnya ... Aku masih mengisap darah Kou, sambil melirik ke arah kepulan kecil asap yang sangat hitam, keluar dari semua kuku di jari-jemari tanganku.
Apa asap hitam itu yang disebut kutukan? Lalu, ke arah mana asap tersebut pergi?
![](https://img.wattpad.com/cover/255183933-288-k758823.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...