Chapter DCLXXXVIII

2.2K 479 29
                                    

Langkah Izumi berhenti, ia menurunkan kertas yang sebelumnya dibaca, “Sasithorn?” tukas Izumi seraya membuang penglihatan kepadanya.

“Sasithorn?” sahut Ebe pelan, dengan kerisauan yang semakin nampak jelas terlihat di wajahnya.

Raut wajah Ebe, kian berubah tatkala Sasithorn dengan perlahan maju mendekati Kakakku. Dia tertunduk sambil merangkul kepala Takumi, hingga kepala Takumi menempel di pahanya. Sedang Izumi sendiri, masih terdiam ketika Sasithorn sudah berdiri di dekatnya dengan meremas-remas kedua tangannya.

“Dia tertidur. Tolong bawa mereka terlebih dahulu ke kamar … Aku, akan segera menyusul,” pintaku kepada Zeki yang telah berdiri di dekatku.

Zeki menunduk, “Ihsan, bisa bawakan ini untuk Ayah? Ayah harus menggendong Adikmu,” ungkap Zeki sambil memberikan gulungan kertas yang sebelumnya ia pegang ke Ihsan.

“Takumi! Apa kau ingin ikut Paman? Paman, memiliki sesuatu yang bagus,” sambung Zeki dengan melirik ke arah Takumi yang masih terdiam di rangkulan Ebe.

Zeki meraih lalu menggendong Huri yang masih lelap. Tak banyak kata-kata yang ia keluarkan. Dia masih menutup rapat bibirnya, sambil mengajak Ihsan dan juga Takumi berjalan melewati Izumi dan  Sasithorn. Dan saat bayangan mereka bertiga kian menghilang … Sesekali, aku akan melirik ke arah Izumi yang masih enggan bersuara, sedang Ebe pun juga turut tak bersuara dengan kepala menunduk.

Izumi yang tiba membungkukkan tubuhnya, membuatku terkejut. “Maafkan aku,” ucap Izumi dengan tetap membungkuk di depan Sasithorn.

“I-Izumi,” sahutnya gelagapan sambil sesekali menoleh ke arahku.

Izumi kembali berdiri tegap, “aku membebaskanmu dari pertunangan kita. Bebas di sini, bukan berarti kalau aku akan menikahimu … Tapi aku, benar-benar membebaskanmu untuk melanjutkan hidup. Aku, tidak bisa menikahimu, karena kenyataannya aku sudah menikahi Perempuan lain tanpa sepengetahuanmu. Maafkan aku, aku akan menjelaskan semua ini kepadamu dan Ayah nanti,” ungkap Izumi sebelum dia berjalan melewati Sasithorn yang masih berdiri mematung.

Izumi yang berhenti di depan Ebe. Mengangkat tangannya, meraih lalu menggenggam kuat tangan Ebe, hingga wajah Ebe terangkat menatapinya. Dia menarik tangan Ebe untuk mengikutinya … Mereka berdua, bahkan berjalan begitu saja melewati Sasithorn yang tetap tak bersuara.

“Sachi, apa yang sebenarnya terjadi ini? Siapa Perempuan itu? Dan apa maksud dari perkataan Kakakmu itu?” Aku menggigit kuat bibirku tatkala dia menatapku dengan mata yang memerah basah.

“Di mana Kamarmu, Kak? Aku, akan mengantarkanmu ke sana, lalu menceritakan semua yang terjadi,” sahutku seraya berjalan mendekatinya.

______________.

“Jadi, yang ingin aku katakan hanyalah … Kakakku menikahi seorang perempuan yang kami temui sepanjang perjalanan,” ungkapku sambil menatapinya yang duduk tertunduk di sampingku.

Dia hanya terdiam saat aku telah selesai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. “Itu tidak mungkin … Dia berjanji akan menikahiku, dia sudah berjanji kepadaku,” gumamnya lirih sambil tetap tertunduk.

Aku menghela napas, dengan masih menatapinya. Sesekali, angin yang berembus di Taman, menerbangkan sedikit rambutnya yang tergerai. Dia menolak bantuanku untuk mengantarkannya ke kamar, karena itu … Aku mengajaknya ke Taman yang ada di sebelah Timur Istana.

Tubuhku beranjak, tatkala mataku itu terjatuh kepada bayangan Izumi yang berjalan mendekat. Aku sedikit berjalan menjauhi mereka, saat Izumi sendiri sudah berdiri di depannya. “Sasithorn, maafkan aku,” ucap Izumi sambil ikut menduduki bangku panjang terbuat dari batu yang juga Sasithorn duduki.

“Apa yang tidak aku miliki? Apa yang dimiliki perempuan tersebut? Bagaimana kau bisa menggantikanku dengannya?!”

Aku seketika terkejut, begitu juga dengan Izumi saat Sasithorn dengan secara tiba-tiba meninggikan suaranya. “Ibuku berkata, seorang Putri harus lemah lembut agar pasangannya bisa menyukainya … Aku, aku sudah melakukan semua yang ia perintahkan. Apa perempuan itu, yang menggodamu?”

“Apa yang kau maksudkan? Dan kenapa-”

“Izumi,” tangisannya dengan memanggil nama Kakakku, menghentikan apa yang Izumi katakan, “apa yang akan terjadi kepadaku kalau kau meninggalkanku seperti ini. Aku akan melakukan apa pun … Kumohon, jangan batalkan pertunangan ini,” sambungnya. Aku masih berdiri mematung, seperti sedang berusaha untuk menerima tingkahnya yang baru kali ini aku lihat.

Izumi melepaskan tangan Sasithorn yang memegang lengannya, “maafkan aku, karena jujur, aku sama sekali tidak memiliki perasaan apa pun kepadamu sebagai seorang pasangan-”

“Lalu kenapa kau tempo dulu memberikan kabar bahwa ingin menikahiku … Lalu dengan tiba-tiba, kabar selanjutnya muncul, bahwa kau menunda pernikahan di saat semuanya sudah dipersiapkan di sana. Dan sekarang … Aku tidak ingin menerima hal ini. Takaoka Izumi, adalah pasanganku! Apa pun yang terjadi, kita harus menikah.”

“Aku tidak bisa memberikan suamiku kepadamu.”

Kepalaku dengan cepat bergerak, mencoba untuk mencari asal-muasal suara Ebe yang tiba-tiba terdengar. “Aku tahu kalau kalian bertunangan, tapi dia suamiku … Ayah dari anak kami. Aku, tidak bisa memberikannya kepadamu, walau kenyataannya memang aku yang merebutnya darimu,” sambung Ebe sambil berjalan mendekati mereka.

Izumi beranjak dari bangku yang sebelumnya dia duduki, “aku memintamu untuk menungguku di kamar-”

“Aku tidak bisa melakukannya, walau kau memintaku untuk tenang … Aku tetap tidak bisa melakukannya.”

Izumi menghela napas setelah Ebe memotong perkataannya, “Sasithorn, dia Takaoka Ebe, Istriku. Keputusanku sudah bulat, aku tidak bisa meninggalkannya … Aku, tetap akan bertanggung jawab untuk hidupmu, tapi itu bukan berarti aku akan menikahimu pada akhirnya. Aku, akan bertanggung jawab sampai kau menemukan seorang laki-laki yang mencintaimu apa adanya.”

“Maafkan aku. Namun, aku sekarang sudah memiliki sebuah rumah sebagai tempatku untuk kembali … Dan rumah itu, adalah dia dan anak kami. Aku berharap, kau dapat menerima keputusanku ini,” sambung Izumi, dia merangkul pundak Ebe diikuti langkahnya yang berjalan menjauh mengajak Ebe di sampingnya.

Tangisan Sasithorn pecah, dia berdiri tertunduk dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Dia menepis tanganku, ketika aku berusaha untuk menenangkannya. “Jangan bersikap baik kepadaku … Kau, sama jahatnya seperti mereka, Sachi,” ucapnya sambil berbalik lalu berlari menjauh.

Aku menghela napas sambil menggaruk pelan tengkuk. Kedua kakiku melangkah dengan mata masih melirik ke arah di mana Sasithorn berlari. Aku terus berjalan, lalu berhenti setelah mendengar suara tawa anak-anak yang terdengar dari balik ruangan. Dengan pelan, kubuka pintu yang ada di depanku itu …  Zeki, yang duduk di depan Ihsan dan juga Takumi, menoleh ke arahku yang berjalan masuk mendekati mereka.

“Apa yang kalian lakukan?” tanyaku dengan duduk di dekat mereka.

“Bibi, apa benar Bibi memimpin Kerajaan ini berperang?” seru Takumi dengan sangat antusias kepadaku.

Aku menyandarkan punggung di samping ranjang sambil menatap mereka berdua bergantian, “apa Paman atau Ayahmu yang menceritakannya?”

“Para Kesatria yang menceritakannya, saat mereka mengikuti kami berlatih,” sahut Zeki menjawab pertanyaanku.

“Begitukah? Apa kalian ingin mendengarkannya langsung dariku? Jika iya, mendekatlah sedikit lagi!” pintaku, hingga Ihsan maupun Takumi merangkak mendekatiku setelah mereka berdua saling tatap.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang