Chapter DCXXXIX

1.3K 293 3
                                    

Tatapan mataku bergerak mengikuti Haruki yang berjalan mendekati Ebe yang masih duduk jauh membelakangi kami, “namamu Ebe, bukan?” tanya Haruki yang membuat Ebe mengalihkan pandangan ke arahnya.

“Apa kau, ingin menikah dengan adikku, Izumi?” sambung Haruki yang membuat kedua mataku membelalak ketika mendengarnya.

“Apa yang kau maksudkan itu, Haruki?!”

Aku dengan sigap beranjak berdiri dengan meraih lengan Izumi yang hendak berjalan mendekati mereka berdua. “Haru-nii, jangan bermain-main dengan mereka berdua!” pintaku sambil membuang kembali pandangan kepada Haruki.

“Aku sudah mengatakannya, bahwa aku akan bertanggung jawab menikahi Sasithorn yang telah lama menungguku! Kenapa kau harus mengatakan kata-kata tidak masuk akal tersebut kepadanya!”

Genggaman tanganku di lengan Izumi merenggang, diikuti lirikan mataku yang beralih kepada Ebe. “Aku pun, tidak tertarik kepadanya … Bagaimana mungkin, aku menikah dengan manusia sepertinya,” ucap Ebe, gigitanku di bibir semakin menguat tatkala dia mengucapkannya dengan suara yang gemetar menyentuh telinga.

Haru-nii … Apa dia sengaja memancing mereka berdua? Mungkinkah, dia mengetahui pembicaraan kami sebelumnya? Tega sekali … Aku memang ingin membuat Ebe menyerah, tapi tidak seperti ini.

“Ebe?” panggilku sembari melepaskan genggaman tanganku di lengan Izumi.

“Apa kau memerlukan sesuatu, Sachi?” tanyanya yang seakan berusaha memintaku untuk mendukung kebohongannya. “Tidak ada. Apa kau, masih memiliki rumput laut? Aku, ingin mencoba untuk memakannya,” ucapku sambil berjalan melewati Haruki lalu duduk di samping Ebe.

Ebe bergerak hingga dia berbaring menelungkup, “aku, akan mencarikanmu rumput tersebut kalau kau ingin,” ucapnya, suaranya kembali bergetar saat dia mengatakannya.

Aku beranjak berdiri, menatapnya yang telah bergerak menggunakan tangannya ke arah lautan, “aku, akan ikut membantumu mencarinya,” ucapku dengan melangkahkan kaki menyusulnya berenang ke dalam laut.

“Ebe!” panggilku, sambil tetap berusaha menyusulnya, “maafkan mereka,” sahutku kembali, hingga ekornya yang membelah air laut itu berhenti lalu bergoyang pelan.

“Tidak perlu meminta maaf, Sachi,” ucapnya sambil berbalik menatapku, “aku, sudah tahu hal ini akan terjadi. Aku, sudah tahu dari awal … Bahwa aku, tidak akan bisa mendapatkannya.”

Aku berenang mendekatinya, dengan kedua tanganku yang memeluk erat dirinya yang menutup wajahnya sendiri menggunakan telapak tangan. “Aku sudah tahu, bahwa harapanku ini sia-sia … Sachi,” ucapnya kembali dengan suaranya gemetar, diikuti kedua tangannya yang membalas pelukanku.

“Maafkan aku, Ebe. Kami manusia, telah dijodohkan sejak kecil … Perempuan seperti kami, akan langsung kehilangan nyawa saat pasangan kami menolak untuk menikah. Kakakku, dia laki-laki yang baik … Dia-”

“Aku tahu … Karena itu, aku tidak ingin mengganggu hubungan mereka. Perempuan itu pun, pasti telah menunggu lama untuk dapat menikah dengannya. Aku, sadar diri,” ucap Ebe, aku melepaskan pelukanku saat dia pun melakukan hal yang sama.

“Kau, harus segera kembali. Mereka pasti mengkhawatirkanmu … Aku, akan menemui kakakku sekarang,” sambung Ebe, dia berenang mundur sebelum berbalik lalu menggerakkan ekornya berenang menjauh.

Aku berbalik, lalu berenang mendekati pantai. Kutangkis tangan Izumi yang hendak membantuku, saat aku sendiri pun sedikit terhuyung oleh pakaianku yang basah, “apa kau, harus mengatakannya dengan jelas seperti itu, nii-chan?” ucapku lirih seraya melangkah melewatinya.

“Aku, benar-benar kecewa … Seharusnya, aku mengajarkan kalian sejak dulu bagaimana caranya menghargai perasaan perempuan,” ucapku, yang duduk dengan meraih tas milik Eneas yang sebelumnya tak pernah ia lepaskan.

Eneas hanya terdiam, ketika aku sendiri merogoh ke dalam tas tersebut, “lakukan ini untukku, Izu-nii … Kumohon, pinta Ebe untuk memakannya,” ucapku sambil melempar kerang berisi mutiara pemberian Ebe yang aku titipkan ke tas milik Eneas ke pasir di hadapan Izumi.

“Kenapa kau memintaku untuk melakukannya?”

“Karena dia akan mati oleh kutukan kalau kau menikah dengan perempuan lain!”

“Hanya mutiara di dalam kerang tersebut yang bisa menyelamatkannya … Dia memintaku untuk menyimpannya, dia memintaku untuk memberikan mutiara di dalamnya kepadamu saat nyawa Izu-nii berada dalam bahaya. Kumohon, baik dia dan Julissa adalah teman baikku-”

“Kita, mungkin telah kehilangan Eneas … Kalau saja dia tak membantuku dulu,” tangisku diikuti kedua tangan yang mengusap mata.

“Apa maksudnya? Kenapa dia harus kehilangan nyawa hanya karena aku menikah?”

“Karena dia mencintaimu. Aku, menguping pembicaraan antara Sachi dengannya … Setiap makhluk memiliki kelemahan, Izumi. Seperti aku yang lemah dengan air, dan tidak bisa memakan hewan … Bangsa duyung pun, pasti memilikinya,” sahut Lux yang membuatku beralih menatapnya.

“Jadi, aku hanya harus memintanya untuk memakan mutiara di dalam kerang ini, bukan?” tukas Izumi, aku masih terdiam dengan melirik ke arahnya yang membungkuk meraih kerang yang sebelumnya aku lempar.

_____________.

Aku menunduk, menatapi pergelangan kakiku yang telah terendam oleh air laut. Tak ada yang tertidur di antara kami berlima semalam, keheningan pun turut mengikuti malam kami hingga pagi kembali menjemput seperti sekarang. Kedua kakiku melangkah pelan, sebelum akhirnya aku berenang setelah air laut yang ada telah mencapai pinggangku. Aku semakin berenang … Menyelam, mendekati Ebe dan juga Dekka yang telah menunggu kami dengan beberapa Hippocampus yang berenang di dekat mereka.

“Ebe, sejak kapan lebam di dadamu ini muncul?” tanyaku, tangan kananku bergerak menyentuh lebam biru hampir menghitam yang ada di atas dadanya.

Ebe melirik ke arah Dekka, yang sepertinya juga baru menyadari hal tersebut, “ini, karena aku menabrak karang semalam saat hendak menemui kakakku-”

“Apa yang kalian bicarakan? Dan, lebam apa itu?” tanya Dekka yang memotong perkataan Ebe.

“Sachi hanya bertanya kenapa ini bisa muncul, saat aku hendak menemui kakak … Aku ceroboh hingga menabrak karang. Tidak perlu khawatir, nanti juga menghilang. Bukankah lebih baik, kalau kita melanjutkan perjalanan, kakak?” tukas Ebe sambil berenang mendekati Hippocampus miliknya.

Aku turut berenang mendekati Kuro, kuusap lehernya hingga dia sendiri pun berenang menyusul Hippocampus milik Ebe yang telah berenang menjauh meninggalkan kami sebelumnya. “Ebe, mau coba untuk berlomba denganku?” tanyaku, saat Kuro sendiri telah berhasil menyusul mereka.

“Berlomba?”

“Untuk membuktikan siapa yang lebih cepat. Kuda milikku, atau milikmu-”

“Baiklah, aku tidak akan kalah. Jangan meremehkanku,” ucapnya yang memacu Hippocampus miliknya semakin cepat setelah sebelumnya tersenyum membalasku.

“Tidak akan,” sahutku sambil turut mengusap leher Kuro, hingga dia berenang semakin cepat mengejar Ebe dan Hippocampus miliknya.

Hippocampus milik kami, berenang cepat … Menghindari beberapa batu karang yang tumbuh, lalu berhenti mendadak saat Ebe sendiri mengehentikan Hippocampus miliknya dengan memintaku untuk berhenti mengikutinya. “Kakak!” teriak Ebe dengan menggerakkan kepalanya menoleh ke belakang.

“Aku tahu, terlalu berbahaya jika kita hanya berenang lurus … Kita akan sedikit mengambil jalan memutar untuk menghindari pusaran,” tukas Dekka, saat dia sendiri telah menghentikan Hippocampus miliknya di dekat kami.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang