Adinata kembali menghela napasnya, “aku benar-benar sulit memercayai ini. Bagaimana dengan Raja Sora sendiri? Apa dia mengetahui, apa yang terjadi kepada kalian?” tanya Adinata dengan kembali mengangkat wajahnya.
“Ayah belum mengetahuinya. Bantu kami untuk menjaga rahasia ini, kami akan memberitahukannya sendiri,” saut Haruki sambil meraih gelas kuningan yang ada di depannya.
Aku menunduk seraya mengambil kembali, makanan berbentuk bola-bola kecil yang ditusuk layaknya Dango … Namun, penuh akan taburan kelapa yang menyelimutinya. Kuberikan makanan tersebut kepada Ihsan yang kembali lahap memakannya, setelah sebelumnya dia mencelupkan makanan itu ke saus gula.
“Apa kau menyukainya?” tanyaku yang dibalas oleh anggukan darinya.
Tatapanku beralih ke arah suara tawa dari Huri dan juga Zeki, “ada apa?” Aku kembali bertanya sambil membuang pandangan ke arah Takumi yang tengah menggosok-gosok lidahnya di lengan pakaian Ayahnya.
“Ayah, buah apa itu? Pahit,” ungkapnya, Izumi hanya menunduk dengan menekan keningnya sendiri.
“Hanya makan saja daging buahnya, Takumi! Jangan menggigit bijinya, karena itu pahit,” ungkapku setelah melirik ke arah buah duku yang telah dikupas di depannya.
“Izumi!”
Izumi yang mendengar panggilan Adinata, menoleh ke arahnya. “Julissa mengundang Sasithorn, dan Ayahku mengundang Ayah kalian. Maksudku, jika kalian berniat untuk menyembunyikan hal ini … Apa yang akan kalian perbuat?” tukas Adinata yang turut membuatku kembali menoleh ke arah Kakakku.
“Tidak ada yang akan aku perbuat untuk melarikan diri. Aku bahagia dengan keluarga yang aku miliki sekarang, aku … Akan membicarakan hal ini kepadanya saat kami bertemu,” jawab Izumi. Dia menunduk dengan mengusap kepala Takumi, saat anaknya itu mulai kembali melahap berbagai makanan di hadapannya.
Adinata menoleh dengan mempersilakan seorang laki-laki paruh baya untuk masuk ke dalam. Aku masih memerhatikannya yang mengangguk, setelah mendengar apa yang dikatakan laki-laki tersebut. “Kamar kalian telah siap. Para Pelayan, akan mengantar kalian ke kamar masing-masing untuk beristirahat,” ucap Adinata kepada kami semua.
_____________.
Aku melirik ke arah Huri yang tertidur lelap di samping Ihsan. Kuusap pelan kepalanya, agar dia semakin lelap. Aku beranjak dari atas ranjang, menyelimuti mereka dengan kain berwarna cokelat, sebelum akhirnya aku berjalan meninggalkan mereka berdua di kamar. “Jaga mereka, Kou!” perintahku, sambil terus melangkah menyusuri Istana.
Aku terus saja berjalan, hingga bunyi riuh disertai angin kuat terasa … Ketika aku, sedikit keluar dari lorong-lorong yang berada di dalam Istana itu sendiri. “Ebe?” tukasku, seraya melangkah mendekatinya yang tengah berdiri dengan menampung air hujan yang jatuh dari atap.
Ebe menoleh ke arahku dengan wajahnya yang terlihat basah. Mungkin, percikan air hujan yang melakukannya. Dia menurunkan kembali tangannya saat aku sendiri sudah berdiri tepat di depannya. “Apa yang kau lakukan di sini, Ebe?” tanyaku, dia membuang lirikan ke samping, ke arah bayangan gelap yang ada di depan kami.
“Aku hanya tidak bisa tidur, Sachi,” jawabnya seraya berbalik dengan menatapi tetesan air hujan yang jatuh.
“Apa kau mengkhawatirkan sesuatu? Mungkinkah, perkataan Adinata tadi siang, mengganggumu?” Aku kembali bertanya sembari turut berbalik sepertinya.
Ebe menunduk dengan menggenggam erat kedua tangannya sendiri, “seperti apa Sasithorn itu, Sachi?” gumamnya lirih, suaranya hampir sulit terdengar oleh hujan yang tiba-tiba berubah deras.
“Dia cantik, dia baik … Hanya itu yang aku ketahui, karena dia sulit untuk diajak berbicara. Aku pun sebenarnya, tidak terlalu mengerti dengan dirinya,” jawabku, saat dia kembali mengangkat wajahnya membalas tatapanku, “Takumi, adalah bukti cinta kalian berdua. Kau pasti masih ingat, bukan? Bagaimana Kakakku, berusaha menahan dinginnya air sungai saat kau melahirkan Takumi.”
Ebe mengangguk, “tentu saja aku masih mengingatnya. Saat dia menangkap Takumi yang hampir hanyut ketika aku baru saja melahirkannya … Atau saat Takumi baru mulai menangis untuk pertama kalinya, aku masih mengingat jelas bagaimana dia ikut menangis. Aku tidak ingin berpisah dengan mereka, Sachi. Aku ingin tetap bersama keluargaku,” ucapnya yang berakhir sesenggukan, dia menunduk dengan menutup rapat wajahnya sendiri menggunakan telapak tangan.
Aku melangkah semakin mendekat lalu memeluk erat tubuhnya, “tidak ada yang akan memisahkanmu dari mereka. Kau adalah Istri Kakakku, kau juga Ibu dari Anaknya … Siapa yang menjaga, memenuhi kebutuhan mereka selama ini, kalau bukan kau, Ebe!”
“Mereka membutuhkanmu! Kakakku membutuhkanmu! Keponakanku membutuhkanmu! Tidak ada yang bisa merebut mereka darimu … Kakakku, tidak akan mengkhianatimu, percayalah kepadaku!” pintaku sambil menepuk punggungnya beberapa kali.
Aku masih terdiam saat mataku itu terjatuh ke arah bayangan yang berjalan semakin mendekat. Sesekali aku melirik ke arah Ebe yang tak menyadari kedatangan mereka … Aku tidak menyalahkannya, karena derasnya hujan seakan menelan semua suara yang ada. “Apa kau sudah tenang sekarang?” tanyaku, dengan mata yang tetap tertuju ke arah Haruki, Izumi, Zeki, Eneas dan Adinata yang telah berhenti melangkah sedikit jauh dari kami.
“Terima kasih, Sachi. Berbicara denganmu, membuatku sedikit tenang,” jawabnya, diikuti pelukannya padaku yang mulai merenggang.
Aku melepaskan pelukanku, lalu tersenyum dengan mengusap matanya yang sembab. “Kembalilah ke kamarmu! Takumi mungkin akan mencarimu kalau dia terbangun-”
“Bagaimana denganmu?” Dia balas bertanya kepadaku.
“Aku? Aku akan kembali ke kamarku setelah selesai mencari udara segar,” jawabku yang dibalas anggukan kepalanya.
“Baiklah,” saut Ebe, dia tersenyum sambil mengusap lagi matanya, sebelum akhirnya berjalan melewatiku.
Aku masih mengatup rapat bibirku, dengan mata yang masih mengikuti jejak Ebe yang mulai perlahan menghilang dari pandangan. “Apa yang terjadi kepadanya? Apa yang kalian bicarakan?” tanya Izumi berulang-ulang kepadaku.
Aku menghela napas dengan menggaruk kening, “nii-chan, selesaikan pertunanganmu dengan Kak Sasithorn secepatnya! Mau bagaimana pun, kalau hal ini akan terus terjadi berlarut-larut … Itu juga tidak baik untuk kalian semua. Istri mana, yang tidak akan gelisah kalau orang-orang di sekitar mereka … Beranggapan bahwa suaminya berpasangan dengan perempuan lain, dan bukan dia.”
“Aku pun, kalau menjadi Ebe … Tentu akan risau. Istrimu butuh pengakuan, Putramu pun butuh pengakuan. Nii-chan melihatnya sendiri siang tadi, bukan? Semuanya juga pasti turut melihatnya … Bagaimana Putramu, terlihat sangat bangga memperkenalkan dirinya sebagai Putra kalian-”
“Dan juga, luka seorang anak … Akan tetap membekas, walau dia sudah tumbuh dewasa sekali pun. Kita sendiri, yang telah menjadi bukti akan hal tersebut, nii-chan,” sambungku dengan masih menatapi Izumi yang terus menunduk.
Kepalaku menoleh, mengikutinya yang berjalan meninggalkanku. Aku menghela napas sambil menjatuhkan lirikan ke arah Zeki yang telah berdiri di dekatku. Kurangkulkan tanganku di lengannya, tatkala dia turut berjalan di sampingku, “apa yang kalian lakukan?” tanyaku sambil mengusap lalu mencium lengannya.
“Hanya membantu Adinata mempersiapkan pernikahannya, sekaligus memberikan saran kepadanya. Kau sendiri, apa yang kau lakukan di luar? Ini sudah larut,” ungkapnya dengan menoleh menatapku.
“Aku hanya tidak bisa tidur. Temani aku berjalan-jalan terlebih dahulu, sebelum kita kembali ke kamar … Kau mau, kan, Darling?” sambungku sambil meraih lalu mencium telapak tangannya yang mengusap pipiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...