Chapter DCLV

2.7K 495 28
                                    

Zeki beberapa kali mengusap kepalaku, bersambung kecupan yang ia lakukan di kening. Aku kembali membuka mataku, saat sebelumnya kecupan darinya itu turun ke kelopak mata. "Aku mendapat undangan pernikahan Adinata dan juga Julissa. Apa kau, ingin menghadirinya sebagai tunangan atau istriku?"

Kuangkat kedua tanganku melewati kedua lengannya, lalu kurangkulkan dengan erat di pundaknya, "aku lebih memilih, diperkenalkan sebagai ibu dari anakmu," jawabku, dengan mengecup lengannya yang ada di samping wajahku.

Aku membalas pagutan bibir Zeki, saat mata kami kembali bertemu. Tanganku bergerak merangkul lehernya, ketika kurasakan ... Jari-jemarinya dengan perlahan menelusup ke dalam pakaian yang aku kenakan. "Kau tidak memakainya?" bisik Zeki, mataku sedikit terpejam saat tangannya mengusap pelan dadaku.

"Aku harus menyusui anakmu, aku belum sempat untuk memakainya kembali. Apa kau merasa terganggu?"

"Tentu saja tidak. Angkat tanganmu, agar aku bisa melihat kembali tubuhmu," ucap Zeki, aku mengikuti apa yang ia perintahkan, dengan melirik ke arah tangannya yang bergerak ke atas menanggalkan baju yang aku pakai.

Mataku kembali terpejam, sambil tanganku bergerak mengusap rambutnya saat bibirnya mengecup daun telingaku, lalu turun dan semakin turun menyusuri leherku, "aku merindukanmu," Dia kembali berbisik dengan kecupan hangat menyentuh pipiku.

Tanganku bergeak mengusap pipinya yang tepat berada di hadapanku itu, "aku pun, Yang Mulia," tukasku, kepalaku sedikit beranjak mendekatinya.

Kedua tanganku kembali bergerak melingkar di lehernya, saat bibir dan napas kami semakin dalam menyatu. Aku sempat membuka mata sejenak, sebelum kembali terpejam ... Menikmati dan membalas, kecupan demi kecupan yang ia lakukan di bibirku. "Kenapa? Apa ada yang mendekat?" tanyaku, saat dia tiba-tiba menghentikan apa yang ia lakukan.

Zeki menggaruk kepalanya, diikuti tubuhnya yang bergerak menjauhiku. "Sachi nee-chan! Nee-chan, apa kau di dalam?" tukas suara diikuti bayangan yang berdiri di balik tenda.

Aku beranjak, meraih baju milikku yang Zeki berikan, "iya Eneas, ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanyaku, dengan melirik ke arah Zeki yang menekuk wajahnya menatapku.

"Semua orang sudah berkumpul untuk makan, aku diperintahkan untuk memanggilmu, nee-chan."

"Benarkah? Baiklah, aku akan menyusul ke sana. Pergilah terlebih dahulu!"

"Baiklah," jawab Eneas singkat, diikuti bayangannya yang semakin lama semakin hilang dari pandangan.

Aku merangkak lalu mengecup pipi Zeki, "kita akan melanjutkannya nanti," ucapku, dengan kembali merangkak mendekati Huri.

Kuangkat Huri dengan perlahan ke gendonganku, dia tersenyum dalam tidurnya saat aku mengusap ujung bibirnya. Aku beranjak lalu melangkah mendekati Zeki yang juga telah beranjak terlebih dahulu, "kenapa terasa menakutkan saat kau tidak menggerutu?" tanyaku, saat berjalan melewatinya yang menyingkap tirai kain di tenda kami.

"Aku, sudah kebal akan semua gangguan ini. Lagi pun, aku paham jika kondisi di sini memang tak memungkinkan. Tapi tetap, aku akan menagih janjimu itu."

"Nanti malam, bukan?" sambungnya berbisik dengan mengecup kepalaku.

"Entahlah, anakmu nyenyak sekali tidur sekarang ... Mungkin, dia akan membuat kita berjaga sepanjang malam," ucapku, aku berusaha menahan tawa saat menatap raut wajahnya yang perlahan berubah.

"Huri, apa kau tidak ingin bangun, Nak?"

Aku menyikut perutnya menggunakan salah satu tanganku, "dia baru bisa tidur nyenyak, dan kau berniat untuk membangunkannya," tukasku geram, dengan memukul lengannya.

"Aku Raja, dan aku laki-laki paling dihormati di Yadgar. Bisa-bisanya kau memarahiku?"

"Apa kau sekarang berubah menjadi laki-laki yang gila hormat? Baiklah, Yang Mulia ... Ampuni aku. Apa Yang Mulia, berniat untuk memenggal kepalaku?"

"Untuk apa aku melakukannya. Aku lebih menyukai, saat tubuhmu berbaring tidak berdaya dengan banyak sekali keringat yang keluar," bisiknya, sambil tersenyum menatapku.

Zeki kembali menjauhkan wajahnya, dengan kembali melanjutkan langkahnya di depanku, "aku sudah tidak sabar, menunggu nanti malam," sambungnya berbicara, sambil terus melangkah.

Aku membuang pandanganku ke samping, sambil menarik napas dalam, sekedar untuk menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku. Helaan napasku keluar, sembari melanjutkan langkah lagi mendekati kerumunan yang tak terlalu jauh dari tempatku berdiri sebelumnya.

Langkahku terus berlanjut, mendekati Zeki yang telah berdiri sambil melambaikan tangannya ke arahku. "Duduklah!" perintahnya, dia turut duduk di sampingku saat aku sendiri pun telah duduk di samping Amanda yang menggendong Hikaru.

"Hikaru, apa kau menyukainya? Dia lahap sekali," ucapku sambil mencubit pipinya yang kadang kala terpejam mengecap sepotong jeruk di tangannya.

"Aku suka sekali dengan buah jeruk, Bibi," ungkap Amanda, diikuti tangannya yang bergerak membuang biji di buah tersebut, sebelum memberikannya lagi kepada Hikaru.

"Bagaimana keadaannya?" sambungnya bertanya dengan menatap ke arah Huri yang aku gendong.

"Dia sudah baik-baik saja."

"Benarkah? Syukurlah. Dia pasti merindukan kalian berdua, mungkin karena itu dia tidak bisa tenang sebelumnya," ucap Amanda, yang tersenyum menatap kami.

"Siapa dia?" bisik Zeki di telingaku, aku menoleh lalu menggeleng pelan, seakan memintanya untuk jangan membahasnya di sini.

"Sachi, apa itu anakmu?"

Aku mengalihkan pandangan kepada Ebe, lalu mengangguk membalas perkataannya, "namanya Huri, dia perempuan," ucapku, sambil menatap Ebe yang tak berkedip di seberang kami.

"Aku pun, rasanya ingin segera memiliki anak-"

"Pinta kepada laki-laki di sebelahmu, atau paksa dia untuk memberikan kalian anak," saut Zeki, dia beranjak dengan mengambil potongan daging yang ia letakan di atas lembaran daun.

"Adik ipar, kenapa kau selalu mencoba untuk memancing emosiku seperti istrimu itu," ungkap Izumi, Zeki masih bergeming dengan meletakan potongan daging yang ia ambil tadi ke hadapanku.

"Seluruh lelah yang nanti kau rasakan, akan langsung runtuh saat melihat anakmu sendiri. Kau akan mengerti apa yang aku katakan, jika sudah memilikinya."

"Buka mulutmu!" sambung Zeki yang kali ini memerintahku, sambil meraih potongan daging menggunakan ranting pohon dengan ujungnya yang tajam.

Aku membuka mulutku, melahap potongan daging tersebut, "bagaimana?" tanyanya yang aku balas dengan anggukan kepala.

"Apa Sachi sudah menceritakan semuanya kepadamu?"

"Dia sudah menceritakannya. Lalu, apa yang ingin kau lakukan kali ini, kakak ipar?" Zeki balas bertanya, dengan meraih potongan daging yang lain lalu melahapnya.

Aku mencoba untuk menoleh ke arah Haruki yang duduk di samping Amanda. "Aku pun tidak tahu apa yang harus dilakukan," ucap Haruki, sambil meraih gelas bambu yang Amanda berikan kepadanya.

"Jika kau bertanya kepadaku, aku akan membawanya pulang ke Yadgar ... Dari apa yang aku simpulkan, aku akan meminta Uki untuk tinggal bersama kami. Mereka berdua, akan aman di bawah perlindunganku, ini juga akan membuatku lebih tenang melakukan apa pun," ungkap Zeki yang menimpali perkataan Haruki kepadanya.

"Zeki-"

"Aku ingin Putriku mendapatkan yang terbaik. Membiarkannya berbaring di tanah beralaskan kain, sedang aku sendiri tidur di ranjang yang mewah. Apa itu masuk akal?" sambung Zeki memotong perkataanku.

"Kau seorang Raja-"

"Tapi aku seorang Ayah dan juga suami yang harus bertanggung jawab kepada keluargaku. Keputusanku sudah bulat, Sachi. Jangan mencoba untuk membantahnya!" perintahnya, dengan tak berkedip menatap Huri di gendonganku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang