Chapter DCXC

2.3K 479 39
                                    

Pintu tersebut semakin terbuka lebar, hingga Adinata muncul lalu menutup pintu itu kembali. “Kau memintaku menyusulmu jika saat makan malam terjadi sesuatu. Apa ada yang kau butuhkan, Haruki?” tukasnya sambil berjalan mendekati kami.

Adinata bergerak duduk di samping Haruki, dengan tatapan yang hampir sulit lepas ke arah Sasithorn yang kembali menundukkan kepalanya. “Sadarkan kedua adikku, seperti apa perempuan yang ada di depan kita ini!” pinta Haruki seraya membuang lirikan ke arah Adinata.

“Baiklah,” sahut Adinata diikuti helaan napas darinya, “kalian pasti tahu, bahwasanya Haruki meminta kami menaklukan Wattana. Kami berhasil melakukannya berkat semua informasi yang Haruki berikan. Saat kami menggeledah Istana tersebut … Kami menemukan, bahwa Kerajaan Wattana mendukung Kekaisaran, dan kami menemukan banyak sekali surat-surat yang dikirimkan Putri Sasithorn kepada Ibunya di dalam Istana itu.”

“Itu tidak benar! Percayalah kepadaku, Izumi. Aku, aku bahkan tidak pernah bertemu lagi dengan Ibuku sejak lama,” ungkapnya yang memotong perkataan Adinata sambil menggenggam erat lengan Izumi.

Aku menoleh ke arah Haruki yang beranjak mendekati sebuah lemari yang ada di dekat ranjang. Dia membuka laci di lemari tersebut, mengeluarkan beberapa lembar kertas lalu memberikan kertas-kertas tersebut kepada Izumi. “Tulisan tangan yang terukir di sana. Sama persis seperti yang sering kau dapatkan, bukan?”

Haruki menarik tangan Sasithorn yang memegang lengan Izumi … Mulutku tanpa sadar terbuka, tatkala dia mematahkan lengan kecil yang ia genggam itu, hingga Sasithorn jatuh tersungkur sambil mengerang kesakitan. “Haruki! Apa kau harus memperlakukan perempuan seperti itu?!”

Haruki menoleh ke arah Izumi yang meneriakinya, “perempuan? Lalu kenapa? Aku kehilangan Anakku berserta Ibunya, karena perempuan ini … Apa kau pikir, aku akan memperlakukannya dengan baik, Izumi?”

Kaki Haruki bergerak, menginjak pundak Sasithorn yang lengannya sempat ia patahkan, “Perempuan yang harus aku perlakukan dengan baik, hanya keluargaku. Sejak kapan, aku bersikap baik pada seseorang yang tidak sudi untuk kukenal,” sambung Haruki, Sasithorn semakin mengerang kesakitan tatkala Haruki menginjak kuat pundaknya.

“Aku akan mengampuni nyawamu, hanya beritahukan kepadaku … Apa alasan kau melakukan hal tersebut kepada seorang wanita yang akan menjadi Ibu untuk anakku? Siapa yang memerintahkanmu?Ibumu? Atau mungkin, Kaisar?”

“Ampuni aku! Kumohon! Aku tidak akan melakukan perbuatan seperti ini kalau kalian memperlakukanku dengan baik!”

“Izumi selalu berjanji untuk menikahiku, tapi dia sama sekali tidak berniat untuk mewujudkannya! Beberapa kehidupan, aku menunggunya untuk menepati janji tersebut. Aku iri dengan siapa saja yang menemukan kebahagiaan! Aku tidak ingin lagi mendengar salah satu anakmu bertanya, kapan Bibi akan menikah dengan Paman Izumi.”

“Beberapa kehidupan? Mungkinkah?” Aku bergumam sambil tetap menatapi Haruki yang masih belum bergerak dari menginjak pundak Sasithorn.

“Jadi ini kesalahan kami? Baiklah, kami meminta maaf. Beranjaklah! Aku akan membebaskanmu,” ungkap Haruki dengan mengangkat kakinya.

Haruki membungkuk sambil tersenyum dengan menjulurkan tangannya ke arah Sasithorn. Sesaat Sasithorn beranjak, tangannya bergerak cepat mencekik kembali leher perempuan yang ada di depannya itu. Beberapa kali Sasithorn berusaha untuk memukul lengan Haruki, berusaha agar Haruki melepaskan cekikan yang ia lakukan. Namun, berselang lama … Tubuh Sasithorn menegang, lalu jatuh terkulai ketika Haruki melepaskan cekikannya.

“Adinata, bantu aku untuk membuang jasadnya, aku tidak ingin dia dan anakku melihat tubuh perempuan ini di sini! Dan untuk kalian berdua, Luana sudah menganggap perempuan ini seperti Adiknya sendiri. Jadi, tutup rapat mulut kalian kalau kalian tidak ingin terjadi sesuatu yang lebih buruk!” ancam Haruki kepadaku dan Izumi bergantian, sebelum dia berjalan meninggalkan kami semua di dalam kamar.

“Kakak kalian itu, benar-benar mengerikan. Aku bahkan tidak bisa berkutik saat dia sudah memberikan perintah,” sahut Adinata sambil beranjak dari ranjang yang sebelumnya ia duduki.

________________.

“Sachi?”

“Sachi!”

Aku tersentak tatkala suara Zeki yang memanggil namaku tiba-tiba meninggi begitu saja di telinga. “Ada apa denganmu? Sejak semalam kau selalu seperti ini, sebenarnya apa yang terjadi?” Dia bertanya, diikuti Ihsan dan juga Huri yang turut menoleh ke arahku.

Kepalaku menggeleng pelan, “tidak ada yang terjadi. Aku kemungkinan hanya kurang beristirahat,” jawabku sembari beranjak dengan melangkah keluar kamar meninggalkan kamar.

Apa kejadian semalam benar-benar terjadi? Apa Haru-nii benar-benar membunuh Kak Sasithorn? Pengkhianat? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku, harus meminta penjelasan darinya hari ini juga!

“Sachi!”

“Ibu!”

Langkahku berhenti oleh panggilan mereka. Aku berbalik, menunggu mereka yang berjalan mendekat. “Terjadi sesuatu, bukan? Jelaskan kepadaku nanti apa yang terjadi,” ungkapnya seraya menggerakan sedikit kepalanya, seakan memintaku untuk kembali lanjut melangkah.

Aku mengikuti perintahnya yang membawa kami ke ruang jamuan. Saat masuk dan memberi salam, kami berempat duduk di depan meja panjang dengan banyak sekali makanan yang terhidang. Sesekali aku melirik ke arah Haruki, Adinata dan bahkan Izumi yang bertingkah seperti tak terjadi apa pun semalam.

“Di mana Paman?” tanya Zeki sambil menatap Adinata yang tengah mengupas buah menggunakan pisau kecil di tangannya.

“Ayahku, Calon Ayah Mertuaku, Aydin dan Duke Masashi, sedang melakukan pertemuan dengan beberapa Bangsawan Kerajaan kami,” jawab Adinata seraya melahap daging buah yang telah ia potong.

Mataku terjatuh ke arah Amanda yang terlihat risau sambil sesekali melirik ke arah pintu yang dibiarkan terbuka, “ada apa, Kak?” tanyaku kepadanya, hingga pandangannya mengarah kepadaku.

“Apa dia mengurung diri di kamar? Dia mungkin belum memakan apa pun sejak semalam sama seperti kalian … Aku, sedikit mengkhawatirkannya,” ucapnya dengan kembali membuang tatapan ke arah pintu.

“Dia dilayani oleh pelayan yang melayani Duke Masashi, hidupnya lebih terjamin dibandingkanmu. Jangan memikirkan orang lain! Pikirkan dirimu sendiri terlebih dahulu dan anak-anak kita,” sahut Haruki, dia mengangkat tangannya hingga membuat seorang pelayan yang menuangkan teh di cangkirnya berhenti.

Amanda menundukkan kepalanya, “tubuhnya sangatlah lemah. Mustahil bagiku untuk tidak memikirkan atau bahkan mengkhawatirkannya.”

Haruki menyeruput cangkir di tangannya, “dia mungkin sedang beristirahat atau sedang mencoba untuk menenangkan diri. Bahkan Sachi saja tidak bisa menenangkannya, bagaimana caranya kau akan menenangkannya? Serahkan saja semuanya kepada Sachi, dia akan membuat semuanya baik-baik saja. Kakakmu ini benar, bukan, Adikku?” ungkapnya sembari tersenyum menatapku setelah dia kembali meletakan cangkir yang ia pegang ke meja.

Aku membuang pandangan, karena baik dirinya, Adinata dan bahkan Izumi, membuang tatapan mereka serempak kepadaku, “benar. Baik Kak Amanda ataupun Ebe, tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Aku, akan mengurus semuanya,” ucapku, dengan sangat berusaha tersenyum ke arah mereka berdua.

Aku menunduk sambil meraih gelas berisi air di dekatku. Bibir gelas tersebut, menempel di bibirku … Kuletakan kembali gelas tersebut ke atas meja. “Nii-chan, aku ingin kita membahas sesuatu setelah ini,” ucapku dengan hampir tak berkedip menatapnya.

Haruki mengangguk pelan, “baiklah, apa pun untuk Adikku,” ungkapnya dengan bergerak menyuapi Miyu yang sudah ia pangku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang