Chapter DCCLXXXIX

1.5K 382 40
                                    

Semakin kurapatkan mantel yang menyelimuti tubuh, dengan sesekali aku akan melirik pada Kei yang ikut berjalan menemaniku menyusuri Istana. Percakapanku dengan Haruki beberapa hari yang lalu masih memenuhi kepalaku … Setiap kata yang ia ucapkan masih teringat jelas di ingatanku sampai sekarang.

Helaan napasku keluar pelan, ketika mataku itu terjatuh pada bayangan dari beberapa pelayan berserta kesatria yang membuntuti kami. Langkah mereka semua dengan serempak berhenti disaat aku menghentikan langkah kaki di depan kamar milik Raja, “kalian boleh kembali!” perintahku sambil membuka pintu kamar lalu berjalan masuk.

Aku menarik napas dalam lalu mengembuskannya, diikuti tanganku yang semakin mencengkeram kuat gagang pintu. Tubuhku berbalik, memandang ruangan yang luas ini dengan sangat seksama. Kamar milik Raja, merupakan tempat yang paling pertama dibangun kembali setelah kerusakan yang terjadi tempo lalu.

Aku melangkah dan berhenti kembali tepat di samping ranjang. Jari-jemariku bergerak menanggalkan mantel, sebelum kusibak kelambu di hadapanku dan beranjak naik ke ranjang tersebut. Kutekuk kedua kaki, sembari melemparkan tatapan pada pintu dengan wajah yang berpangku di kedua lutut. “Kau membuat dada kami semua ikut terasa sesak, My Lord!” sepintas kata dari Lux mengaburkan lamunanku.

“Apa kau mendatangi kamar tersebut karena tahu bahwa dia akan kembali?” suara Lux kembali terdengar di kepalaku.

“Entahlah. Mungkin saja,” jawabku singkat seraya menunduk, menatap seprai yang terlihat kusut oleh kedatanganku.

_____________.

Tok … Tok … Tok

Ketukan berulang-ulang di pintu membuat wajahku yang bersembunyi di kedua lutut kembali terangkat. Tanpa sadar aku sudah menggigiti bibir sendiri, sesaat gagang pintu di sana itu bergerak … Memberitahukan dengan jelas siapa yang akan masuk tanpa perlu meminta izin dariku.

Sosok yang berdiri di depan pintu itu berjalan, lalu berhenti di dekat ranjang memandangku, “saat aku kembali dan menanyakan keberadaanmu. Mereka mengatakan bahwa kau ada di sini,” ucapnya, yang akhirnya duduk di tepi ranjang ketika aku sama sekali tak menjawab perkataannya.

“Maaf, sebagai Ratu … Seharusnya aku menyambut kepulanganmu, Yang Mulia,” sahutku, kembali membuka suara setelah keheningan menyelimuti kami berdua.

“Sachi!” Dia memanggilku, tetapi seperti sebelumnya … Aku tetap tak menjawabnya, “jika bersamaku membuatmu tersiksa, aku akan mundur sebagai Raja dan pergi meninggalkan Yadgar,” katanya yang membuatku dengan cepat menoleh.

“Namun,” sambungnya dengan kepala tertunduk, “izinkan aku untuk sesekali melihat kalian. Izinkan aku, untuk sesekali mengunjungi kalian. Satu hari dalam satu tahun pun tidak masalah.”

“Apa tidak masalah untukmu melakukan semua itu?” Zeki tertunduk lalu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

Tarikan napas yang aku lakukan terasa dalam, sebelum akhirnya aku merangkak mendekatinya. Kecupan singkat yang aku berikan di bibirnya, mampu membuatnya kembali mengangkat wajah menatapku, “jika nanti aku bertemu laki-laki yang jauh lebih baik darimu, aku akan mengecupnya seperti itu … Setiap hari, selama kami bersama.”

Aku segera memeluk tubuhnya dikala raut wajahnya itu mulai berubah, “saat aku lelah, saat aku ingin menangis … Atau disaat aku sedang sangat terluka, aku akan memintanya memelukku … Memintanya untuk menjadi tempatku bersandar, seperti yang sedang aku lakukan sekarang.”

“Ketika aku sudah sangat kewalahan menghadapi kenakalan dan tangisan anak-anak, aku akan memintanya untuk membantuku mengajak mereka bermain. Kami mungkin … Akan tumbuh menjadi keluarga yang bahagia.”

“Maaf,” sahutnya menimpali ucapanku, lengkap dengan pelukan kuat yang ia lakukan, “aku menarik kata-kataku kembali. Aku ingin menghabiskan usia bersamamu … Aku ingin mendampingi anak-anak kita tumbuh dewasa.”

“Hanya katakan, apa yang harus aku lakukan agar keluarga kita bisa seperti dulu?”

Aku tertunduk, membenamkan wajah sangat dalam ke pundaknya, “aku ingin melupakan semuanya, tapi setiap kali aku memasuki kamar … Bayangan kau memperlakukannya seperti kau memperlakukanku, selalu masuk ke dalam kepalaku. Kenapa kau membangun ulang kamar ini menjadi sama persis seperti sebelumnya? Itu, membuatku muak.”

Kepalaku terangkat, menatapnya nanar dengan mata yang telah memanas, “aku sangatlah benci, disaat ada yang menyentuh apa yang menjadi milikku. Kau milikku … Matamu, hanya harus melirik padaku. Semua yang ada padamu, semuanya milikku.”

Lirikan mataku berpaling, kepada tangannya yang menyentuh pipiku. Mataku terpejam, dikala bibirnya turut menyentuh hangat pipiku, “kita mulai semuanya dari awal?” tuturnya dengan tatapan yang dalam.

Aku masih belum menjawab pertanyaannya, hanya tangan kananku saja yang bergerak menyentuh dadanya, “apa pun alasannya, jangan gantikan posisiku dengan wanita mana pun! Jika kau ingin melakukannya … Akhiri terlebih dahulu pernikahan kita, atau tunggu sampai aku sudah tidak bernapas lagi!”

“Jika nanti kau bosan padaku. Tolong katakan, maka aku akan mundur saat itu juga! Apa kau tahu, disaat aku sangatlah tidak menyukai bau keringat dari laki-laki,” ungkapku sambil mengusap bekas debu yang menyelip di dekat alisnya, “aku justru sangatlah menyukai bau keringat tubuhmu. Aku merasakan ketenangan, aku merasa ada yang akan selalu menjaga kami, disaat aku menciumi aroma tubuhmu.”

Aku beranjak, berjalan mundur sambil dengan perlahan melucuti semua kain yang menyelimuti tubuh. Kutendang gaun tidur yang sebelumnya kukenakan itu ke arahnya, lalu berbaring menyamping seraya terus memandangnya, “kemarilah! Aku akan melayanimu malam ini, dan membuat kita berdua melupakan semuanya,” ucapku sembari memutar, hingga telentang dengan satu kaki bertekuk.

Zeki berdiri setelah lama menatapku, dia melepaskan baju yang ia pakai sebelum merangkak naik dengan hanya mengenakan celana panjang berwarna hitam. Aku membuka kedua kakiku, lalu menjepitkannya kepada Zeki yang duduk, hendak mengusap pahaku, “kau pasti sudah tahu, selepas melahirkan … Semua lukaku akan sembuh, baik itu luka yang ada di luar ataupun di dalam.”

“Ini akan menjadi yang ketiga kalinya kau merenggut keperawananku, Yang Mulia. Jangan biarkan aku kesakitan saat kita melakukannya,” sambungku, dengan mengusap bagian intimku itu di hadapannya.

Aku akan mempertahankan, apa yang seharusnya menjadi milikku. Seperti apa yang Kakakku katakan, akan kubuat … Kau, hanya menginginkanku, Zeki.

Bibirku tersenyum, sesaat Zeki beranjak lalu bergerak maju hingga wajahnya berada tepat di atas wajahku. “Aku tidak akan menahan diri malam ini, Ratu,” ucapnya, yang membuatku seketika terpejam dikala isapan bercampur gigitan ia berikan di leherku.

Mataku semakin enggan terbuka, terutama dikala jari-jemarinya mempermainkan bagian tubuhku yang paling intim itu. Napasku meningkat kian tak teratur … Lenguhanku keluar tanpa sadar, ketika bibirnya mengisap kuat dadaku. “Apa kau berniat ingin menghabiskan semua itu sendiri? Aku masih harus menyusui anak-anakmu nanti,” ucapku dengan sedikit tersengal.

Zeki mengangkat wajahnya membalas tatapanku, “haruskah aku berhenti melakukannya? Tapi Ratu, kau terlihat sangat menikmatinya.

Aku merentangkan kedua tangan ke arahnya, “aku menyukai apa pun yang kau lakukan saat ini. Puaskan aku malam ini, Yang Mulia! Berikan usaha terbaikmu untuk melakukannya.”

Senyum di bibir Zeki kian mengembang, disaat kata-kata dariku berhasil memancingnya, “bagaimana dengan anak-anak?” bisiknya pelan di telingaku.

“Para pelayan menjaga mereka. Malam ini, tidak akan ada yang dapat menganggu kita,” balasku berbisik dengan merangkul lembut lehernya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang