Chapter DCCXXI

2.3K 381 14
                                    

“Pergi? Sekarang?” bisikku tanpa suara kepada Haruki yang masih menatapku.

Kepala Haruki lagi-lagi bergerak, seperti memberikan kepastian pada perintahnya untuk segera aku laksanakan. “Bibi, apa aku boleh meminjam salah satu kuda yang ada di sana?” tanyaku, sambil mengalihkan pandangan ke Bibi Nekhii dan Khunbish.

“Aku berpikir, ingin menyusul Sarnai menyambut Kakek dan juga Paman. Bibi pasti tahu, kalau dulu kami pernah melakukan kesalahan yang sangat besar kepada mereka … Jadi aku berpikir, ingin menyambut kedatangan mereka sekaligus meminta maaf,” sambungku dengan jari telunjuk yang masih mengarah ke beberapa ekor kuda yang terikat.

Bibi Khunbish mengangguk, “gunakan saja! Lalu pergilah menuju arah Timur setelah kau menemukan tonggak pohon penuh ukiran yang ditanam. Jika kau lurus saja dari sana, kau akan bertemu dengan mereka,” ucapnya, sambil terus menggerakan tangan saat kata-katanya menuntunku ke arah mana yang harus aku datangi.

Aku beranjak sambil meraih pedang milikku ke genggaman, lalu membungkuk sedikit ke arah mereka, “terima kasih, Bibi. Aku pergi dahulu,” ungkapku berjalan mundur mendekati sandal milikku yang tergeletak di tanah.

Kedua kakiku dengan cepat mengenakan alas kaki, sebelum akhirnya aku berlari laju mendekati salah satu kuda berjejer yang diikat.

Aku membungkuk, melepaskan ikatan salah satu kuda. Menarik kuda tersebut sedikit menjauh, sebelum akhirnya aku bergerak naik ke punggungnya.

Kuda tersebut berlari kencang, mengikuti arahan dari tali kekang di genggamanku. “Bunga berduri? Yang dimaksud itu Sarnai, bukan?” gumamku, sambil mempercepat laju kuda untuk menyusul Sarnai yang jejaknya sudah tidak bisa aku temukan.

Apa Haru-nii, tertarik kepadanya?

Kugelengkan dengan kuat kepalaku itu, saat pikiran tersebut tiba-tiba melintas di dalam kepala. “Aku harus menemukan Sarnai, sebelum dia semakin menjauh,” gumamku kembali, dengan tangan yang semakin kuat mengayun tali kekang pada kuda yang aku tunggangi.

Aku kembali membungkuk, tatkala kudaku itu menambah kecepatan berlarinya. Mataku sendiri, tak terlalu mengindahkan pandangan beberapa orang yang bergerak meminggir saat kuda yang aku tunggangi itu berlari melewati mereka. “Sarnai!” Aku berteriak, memanggil sosok perempuan yang berkuda di depanku itu.

Tanganku menarik cepat tali kekang, sesaat kuda yang ditunggangi Sarnai dengan tiba-tiba berhenti lalu berbalik ke belakang. “Ada apa? Kenapa kau mengikutiku?” tukasnya, lengkap dengan tatapan tajam yang terjatuh kepadaku.

“Aku hanya ingin ikut menyambut kedatangan Kakek dan juga Paman,” ucapku menjawab datar pertanyaannya.

Dia terus saja menatapku, saat kudaku itu berhenti tepat di samping kuda yang ia tunggangi. “Apa yang kau inginkan? Kau, tidak akan melakukan hal ini tanpa sebuah tujuan.”

Jarang sekali, aku bertemu perempuan sepertinya. Aku paham, kenapa Haru-nii memintaku untuk mendekatinya.

Bibirku tersenyum membalas tatapannya, “kau benar, aku mengikutimu karena memiliki tujuan. Aku hanya ingin meminta maaf secara langsung kepada Kakek, Paman, serta Sepupu laki-laki yang dulu sempat kami buat tak bisa berbicara … Apa setelah aku mengatakan hal ini, kau masih meragukan niat baikku?”

“Aku, tidak mempercayai kalian setelah apa yang kalian perbuat-”

“Aku tidak memintamu untuk mempercayaiku, karena aku pun tidak bisa mempercayai seseorang yang tidak begitu kukenal,” ungkapku yang memotong ucapannya, sambil kugerakan kudaku itu berjalan melewatinya.

Mataku itu, sesekali melirik ke belakang, ke arah kuda Sarnai yang berjalan mengikuti jejak kudaku. “Bibi Khunbish mengatakan, aku harus berjalan ke arah Timur saat aku menemukan sebuah tonggak pohon penuh ukiran. Di mana tonggak tersebut?” gumamku yang dengan sengaja memancing Sarnai untuk berbicara.

Mataku melirik ke arah Sarnai, yang berbelok ke kanan sambil membawa kudanya. Aku dengan tanpa mengucapkan apa pun, ikut berbelok mengikutinya dari belakang. “Berapa usiamu, Sarnai?” tanyaku, wajahku dengan cepat kubuang ke samping ketika dia tanpa aba-aba menoleh ke arahku.

“Untuk apa kau menanyakannya?”

“Aku memperkirakan usiamu lebih muda dariku, tapi sosokmu justru terlihat lebih dewasa dariku-”

“Aku hanya bercanda! Tidak perlu kau harus mengarahkan ujung anak panahmu itu kepadaku,” sambungku, ketika Sarnai tanpa berbicara, mengangkat busur panahnya itu ke arahku.

Aku menghela napas panjang, dengan kudaku yang sebelumnya berhenti, kembali berjalan mendekatinya, “jaga sikapmu padaku! Statusku sebagai Putri Kerajaan Sora, dan juga Ratu Kerajaan Yadgar, sudah lebih dari cukup … Menghancurkan hidup dari seorang gadis yang tidak memiliki status apa pun sepertimu,” ancamku sambil tersenyum meremehkannya.

“Dan yang lebih penting … Caramu memegang panah, terlihat lebih buruk dibanding Calon Kesatria kami yang baru belajar memanah untuk pertama kalinya,” sambungku dengan kembali menjatuhkan lirikan kepadanya.

Kudaku kembali berhenti, diikuti kedua mataku yang seketika membesar saat seekor burung yang entah dari mana … Mengepakan sayapnya dengan cepat ke arahku. Tubuhku sontak membungkuk, menghindari burung tadi, lalu dengan cepat berbalik setelah suara benda seperti terjatuh … Tiba-tiba muncul dari arah belakang.

Sarnai dengan cepat menurunkan busur panahnya. “Apa yang kau lakukan?” tanyaku, setelah mataku itu terjatuh ke arah burung tadi yang telah terkapar di atas tanah dengan anak panah yang menancap di tubuhnya.

Apa burung tersebut berusaha untuk melindungiku? Apa ini perbuatan Shin ataukah Tama?

Kudaku berbalik, berjalan mendekati Sarnai yang masih terdiam dari atas kuda miliknya, “apa kau mencoba untuk membunuhku?!” bentakku dengan kembali menatap tubuh burung tadi yang sekarang sudah tak lagi bergerak.

“Aku hanya ingin sedikit melukaimu, agar kau tidak terlalu banyak berbicara.”

Kugigit kuat bibir, dengan mata yang kubuang darinya, “kau mengatakannya tanpa merasa bersalah sama sekali?” sahutku, sambil terus berusaha untuk mengatur amarah yang naik turun oleh perbuatannya.

“Aku sudah berusaha untuk bersabar, tapi kau benar-benar sejenis manusia yang harus diberikan pelajaran agar tersadar-”

“Dengarkan aku!” sambungku memerintahnya, sambil mengangkat pedangku yang ditutupi sarung menyentuh pipinya, “manusia sepertimu, tidak akan bisa membunuhku dengan mudah. Apa kau pikir, burung tersebut dengan secara kebetulan terbang menabrak anak panahmu begitu saja?” Aku kembali melanjutkan kata-kata, dengan tak berkedip menatapnya.

“Aku akan memaafkanmu kali ini, karena kita keluarga. Namun, jika kau mengulangi kesalahan yang sama … Aku akan membuat tubuhmu itu tidak akan bisa ditemukan oleh siapa pun. Apa kau paham?” lanjutku lagi, seraya menepuk-nepuk ujung pedangku yang ditutupi sarung kayu tersebut ke pipinya.

“Sekarang, tuntun aku ke perbatasan hutan! Atau mungkin, kau menginginkanku memberitahukan kepada Bibi Nekhii yang baik itu, bahwasanya … Putrinya, ingin membunuh sepupunya sendiri di saat sepupunya itu lengah.”

Dia tersenyum lebar membalas tatapanku, “aku pikir, kalau kau merupakan perempuan kekanakan yang hanya bisa bergantung pada laki-laki.”

Bibirku turut merekah mendengar ucapannya, “tebakanmu itu tidaklah salah … Karena itulah, aku bisa bertahan hidup sampai sekarang. Sangat persis, seperti kedua kemungkinan yang kau sebutkan mengenai perempuan naif nan polos sebelumnya,” sahutku lagi, yang kali ini menutup rapat mulutnya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang