“Tuya, Kakakku bisa menyembuhkan matamu. Dia, sanggup untuk membuatmu melihat,” Ryuzaki yang duduk di dekatku itu, menyahuti apa yang aku katakan.
Aku kembali melirik Ryuzaki, ketika gadis bernama Tuya itu, hanya tertunduk tanpa menjawab apa pun. “Sachi nee-chan!” Aku terkesiap, dengan wajah yang tanpa sadar bergerak, mencari teriakan anak perempuan yang memanggil namaku.
Aku beranjak, bibirku merekah ketika mataku itu terjatuh ke sosok anak perempuan yang berlari mendekat. “Cia. Adikku,” ucapku kepadanya, kupeluk erat tubuhnya yang sebelumnya telah berhenti di depanku.
“Sachi nee-chan, ba-gai-ma-na ka-bar-mu?”
Wajahku tertunduk, “apa kau mempelajari bahasa kami?” tukasku sedikit terkejut, seketika ucapannya yang terbata-bata sebelumnya itu terdengar di telinga.
Saat Cia melepaskan pelukannya padaku, saat itu juga aku berjongkok di depannya dengan kedua tanganku yang menyentuh pelan pipi kecilnya, “aku baik-baik saja. Kami semua baik-baik saja. Kau terlihat semakin cantik, setelah lama kita tidak bertemu,” ucapku, sambil membalas erat pelukannya, ketika dia dengan tiba-tiba memelukku yang masih berjongkok di hadapannya.
Kuusap belakang kepalanya dengan lembut, sesaat suara tangisan terdengar pelan darinya. “Cia!” Baik aku dan juga Cia, seketika mengalihkan pandangan ke arah suara laki-laki yang memanggil namanya.
Izumi yang berjongkok di sampingku itu, turut mengusap rambut Cia yang sekarang sudah sedikit panjang dan lebih terawat, dibanding saat kami pertama kali bertemu dengannya. “Anak Perempuan, memang cepat sekali tumbuhnya,” ungkap Kakakku itu, diikuti tangannya yang ia tarik kembali dari kepala Cia.
“Sora selalu terbuka untukmu. Datanglah! Saat kau ingin sekali bertemu dengan kami, dan … Apa yang dikatakan Kakakmu itu benar. Kau terlihat cantik, lebih cantik dibandingkannya,” sambungnya sedikit terkekeh, ketika aku memukul punggungnya saat dia mengucapkan kata-kata tersebut sambil menjatuhkan lirikan matanya itu kepadaku.
“Aku hampir melupakannya,” ungkapku, seraya berbalik menatap kembali Ryuzaki dan juga Tuya yang sama-sama terdiam tak bersuara, “jadi bagaimana Tuya? Apa kau, mengizinkanku untuk menolongmu?”
“Mungkin dia tidak mengerti dengan apa yang kau katakan-”
“Aku … Aku mengerti dengan jelas semua perkataan kalian. Aku, mengerti Bahasa Luar Suku,” ucapnya memotong perkataan Izumi yang menyahuti perkataanku.
“Jika kau mengerti, kenapa tidak menco-”
“Sachi!” Bibirku seketika terkatup, ucapanku seketika terhenti ketika Ryuzaki menyebut namaku.
“Ma … Maafkan aku, Putri. A-Aku, tidak tahu harus mengucapkan apa. Mataku ini, sudah tidak bisa melihat apa pun sejak lahir. Jadi,” ungkapnya terhenti, dia tertunduk sambil mengenggam erat rok yang ia pakai, “aku tidak tahu, harus bersikap seperti apa, saat ada seseorang yang mengatakan … Akan membuatku bisa meli-”
Kata-katanya kembali terhenti, wajahnya baru sedikit terangkat kembali, ketika tangan kiriku menggenggam erat tangan kanannya yang masih mencengkeram rok yang ia kenakan, “saat ini, aku belum menyembuhkanmu. Jika kau ingin berterima kasih … Katakan itu, setelah kau sudah bisa melihat. Jadi sekarang, hanya dengarkan perintahku! Berbaringlah dan buka sedikit mulutmu agar aku bisa memberikanmu air penyembuh itu,” ucapku, dengan lirikan mata yang lagi-lagi kuarahkan pada Adikku, Ryuzaki.
Ryuzaki sedikit beranjak. Dibantunya gadis bernama Tuya itu untuk berbaring di depanku, dengan menyingkiran beberapa keranjang buah yang ada di hadapan kami. “Uki!” panggilku, kepadanya yang sejak sebelumnya sudah terbang memutari kepalaku.
“Jadi, aku dipanggil untuk menyembuhkannya?” tukas Uki, setelah dia sudah mendarat lalu berjalan mendekati kepala Tuya.
“Apa kau tidak ingin menyembuhkannya?”
“Setelah ini, jangan memintaku untuk menyembuhkan manusia selain keluargamu, My Lord! Menangis, mengeluarkan air mata di saat tidak bersedih, itu sangat menyusahkan. Lagi pula, aku tidak memiliki kewajiban untuk menolong manusia lain, selain Tuanku sendiri,” gerutunya, sambil memiringkan kepalanya di dekat bibir Tuya yang sudah sedikit terbuka.
“Andai aku bisa menyembuhkan seseorang tanpa membuat tubuhku sendiri terluka. Aku, tidak akan menggantungkan harapan kepadamu, Uki. Apa kau, menginginkan hal tersebut?”
Tetesan-tetesan air di pelupuk mata Uki, mengalir lalu terjatuh ke sela-sela bibir Tuya. “Aku lebih tidak menyukainya, saat Tuanku sama sekali tidak membutuhkan bantuanku,” jawabnya, dengan melangkah sedikit menjauhi Tuya.
Erangan Tuya, tiba-tiba terdengar, diikuti tangannya yang menekan kedua matanya sendiri. Tubuhnya meringkuk ke samping, dengan kedua tangannya yang terus-menerus menutup matanya. Aku baru berjalan, lalu duduk di dekatnya, setelah suara menahan sakit yang ia keluarkan, berangsur-angsur memudar. “Tuya,” tukasku memanggilnya, seraya kusentuh telapak tangannya yang enggan terpisahkan dari matanya itu.
Dia tidak menjawab pertanyaanku, hanya suara sesenggukan saja yang keluar dari bibirnya itu. “Tuya, coba buka kedua matamu! Apa kau, tidak ingin melihat … Seperti apa, orang-orang yang selalu ada di dekatmu,” ucapku kembali, sambil kuangkat pelan kedua tangannya itu, untuk bergerak menjauhi matanya.
“Tuya?” Aku lagi-lagi memanggilnya, “tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau takutkan,” sambungku, kali ini dengan tangan kanan yang menyentuh pelan pipinya.
Dia yang masih berbaring menyamping itu, perlahan-lahan mulai mendengarkan perkataanku. Wajahnya menoleh, menatapku lama setelah sebelumnya dia dengan perlahan membuka kedua matanya. Kubantu dia untuk beranjak duduk … Bibirnya masih sangat terkatup, hanya kepalanya saja yang tak berhenti untuk bergerak, memperhatikan sekitar.
Kupeluk dia, sesaat tangisannya itu pecah, tak tertahankan. Kutepuk pelan belakang pundaknya beberapa kali, berusaha untuk menenangkannya yang masih gemetaran di pelukanku itu. “Bagaimana? Apa kau sekarang, sudah bisa melihat semua orang yang mengelilingimu?” tanyaku, sambil menjatuhkan pandangan ke arah penduduk suku yang berdiri mengelilingi kami semua, sejak Tuya dengan tiba-tiba mengerang kesakitan sebelumnnya.
“Apa matanya sekarang … Sudah bisa melihat?” Celetukan salah satu perempuan paruh baya yang berdiri, seketika berubah menjadi tangisan haru dari para perempuan paruh baya lainnya yang berdiri di sekeliling kami.
“Terima kasih,” berulang-ulang dia mengucapkan kata-kata itu, ketika aku mengusapi matanya.
“Jika kau ingin berterima kasih, ucapkan hal tersebut untuk Adikku, Ryuzaki … Karena jika dia tidak mengajakku ke sini. Aku, mungkin tidak akan mengetahui apa yang kau alami,” ucapku, sambil menoleh ke arah Ryuzaki yang masih terdiam menatapi kami berdua.
“Tuan Ryuzaki? Apa-” kata-kata Tuya terhenti, saat anggukan Ryuzaki menjawab kebingungannya. Dia melangkah lalu duduk di hadapan kami, hingga membuat Tuya beberapa kali menatapku dan dirinya bergantian.
“Kami lahir di saat bersamaan. Jadi wajah kami pun terlihat sama,” ungkapku sembari menjatuhkan pandangan lagi, kepada adik laki-lakiku itu.
“Berhenti memanggilku Tuan, Tuya! Karena kau, bukanlah pelayanku,” tutur Ryuzaki, hingga membuat gadis itu kembali terdiam menatapnya.
“Sekarang, alasan kalau kau tidak pantas hanya karena matamu tidak bisa melihat, sudah tidak ada lagi. Jadi Tuya, apa kau bersedia untuk menerima lamaran dariku?”
“Lamaran?”
Ryuzaki menoleh ke arahku, matanya yang berwarna cokelat itu menatapku dengan sangat teduh, “jika Zeki, selalu menunggu Kakakku di setiap kehidupannya. Maka aku … Sudah menjatuhkan pilihan kepadanya sejak lama,” ucap Adikku itu, menggunakan Bahasa Latin yang hanya bisa dimengerti olehku dan olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasiaKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...