"Cicak itu, dia membuatku hampir tak bernapas tadi!"
Aku melirik ke arah Uki yang menggerutu di rangkulanku. "Apa kau baik-baik saja, My Lord?" tanyanya dengan menoleh ke arahku.
Aku beranjak dengan melepaskan rangkulan tanganku di tubuhnya, "aku baik-baik saja," ucapku sambil membersihkan tubuh dari daun-daun yang menempel.
"Kali ini, apa yang kau lakukan, Sachi?"
Pandangan mataku beralih ke arah Bibi yang juga telah menoleh kepadaku, "aku hanya menyelamatkan sebuah desa yang dikutuk-"
"Lagi-lagi kau membahayakan diri sendiri, hanya untuk menolong orang lain. Apa kau sama sekali tidak menyayangi nyawamu?"
Mataku masih bergeming membalas tatapannya, "aku memang tidak menyayangi nyawaku, karena sejak kecil ... Aku memang sudah dipersiapkan untuk mati," ungkapku dengan berjalan melewati mereka.
"Kau ingin ke mana? Kau pasti paham kenapa Naga milikmu itu melemparkanmu ke arah kami, bukan?"
Aku yang masih bergeming, terus melanjutkan langkah ... Tiba-tiba terhenti, dengan tubuhku yang dengan cepat diseret ke belakang oleh banyak sekali akar yang melilit tubuhku. "Bibi!" Aku meninggikan suara saat tubuhku itu sama sekali tidak bisa digerakan oleh akar-akar itu.
"Bukan aku, itu Kakekmu!" jawabnya singkat dengan kedua kakinya yang melangkah ke depan.
"Kakek!"
"Uki!" Aku mengalihkan pandangan ke arah Uki, saat panggilanku kepada kakek tak ia gubris.
Uki hanya diam menatapiku, "biarkan mereka bertarung satu sama lain, kita hanya perlu menyaksikan semuanya. Tidak perlu membuang-buang tenaga ... Biarkan para makhluk yang memiliki sihir yang bertarung, manusia hanya diam saja kalau tidak ingin menjadi santapan," ungkapnya, dengan membaringkan tubuhnya di dedaunan yang menyelimuti kami sambil memejamkan matanya.
Aku menghela kesal dengan membuang pandangan ke samping, "apa karena dari kecil dia dirawat oleh Lux? Jadi setiap kata-kata yang ia keluarkan ... Mereka benar-benar membuatku kesal!" Aku menggerutu sambil tetap berusaha untuk melepaskan akar yang melilit tubuhku itu.
Aku akhirnya menyerah untuk mencoba melepaskan diri, karena semakin aku berusaha untuk bergerak ... Semakin kuat juga akar yang melilit tubuhku itu. Mataku masih membeku, ke arah Kou yang berdiri membelakangi kami semua, dengan ekornya yang tak berhenti bergerak ke kanan dan ke kiri, hingga ujung ekor Kou kadang kala menerbangkan kikisan tanah mengikuti goyangan ekornya itu.
Kepalaku tertunduk, kedua mataku tertutup sangat rapat tatkala suara pekikan yang sangat kuat terdengar dari atas, lengkap dengan sihir yang terasa sangat kuat semakin mendekat hingga membuat dadaku terasa sangat sesak.
Aku tanpa sadar menunduk saat kakek mengangkat tangannya hingga akar berduri tumbuh tinggi menutupi kami semua. Keadaan menggelap, lalu terang kembali ketika akar-akar milik kakek yang semula menutupi kami ... Tiba-tiba bergerak, dan bergerak cepat mengejar seekor makhluk yang terbang menjauhi kami.
Apa kalian ingat akan makhluk pemakan bangkai, setengah burung dan setengahnya lagi perempuan yang pernah kami temui di hutan terlarang? Makhluk tersebut tertawa kencang hingga suaranya hampir memekakkan telinga saat dia berhasil terbang menghindari kejaran akar-akar berduri milik kakek yang hendak menangkapnya.
"Serahkan dia! Tuan kami ingin sekali memangsa manusia yang sudah menghancurkan inti si-"
Perkataan makhluk yang menunjukku itu berhenti, oleh sebuah bola air yang entah dari mana munculnya ... Telah menyelimuti kepala makhluk tersebut. Aku dengan cepat menggerakan kepala, mencoba untuk mencari siapa yang melakukannya. "Ebe!" Suaraku dengan kuat memanggil namanya, saat makhluk yang kepalanya masih diselimuti oleh bola air itu, terbang dengan cepat ke arah Ebe yang duduk di atas punggung seekor Manticore.
Jantungku kembali terasa berhenti berdetak, tubuhku melemas oleh perasaan lega, tatkala Acey dengan cepat berlari dari arah samping lalu melompat ... Menerkam makhluk tersebut dengan taringnya. Acey yang masih menggigit tubuh makhluk tersebut, meletakan makhluk itu ke tanah ... Lalu mengoyak perut makhluk setengah burung itu menggunakan taringnya.
Darah memercik hingga jatuh ke tanah yang ada di sekitarnya. Acey mengangkat kembali wajahnya ke arah Manticore yang membawa Ebe, "jangan lengah! Aku mengajar kalian berburu, bukan untuk dipermalukan oleh burung lemah sepertinya!" tukas Acey, dia mengangkat tubuh makhluk setengah burung yang sudah mati itu menggunakan ekornya, lalu melemparkan tubuh yang tak bernyawa itu ke samping.
Lirikan mataku beralih ke arah beberapa pohon yang tumbuh tinggi di dekat kami. Para Elf terus-menerus menumbuhkan banyak sekali pohon tinggi, "kami telah memberikan kalian jalan untuk mencapai langit," ungkap salah satu Elf yang berbicara.
Aku mengalihkan pandangan ke arah Acey yang masih berlari cepat mendekati kami, lalu melompat ... Memanjat, melompati satu pohon ke pohon yang lain sebelum kembali menerkam makhluk setengah burung lainnya yang kian banyak terbang ke arah kami. Apa yang dilakukan Acey, ikut dilakukan oleh para Manticore yang lain yang kadang-kadang membuat mereka jatuh terjungkal saat tak berhasil menangkap makhluk-makhluk itu.
"Hewan tetaplah hewan, ini seperti mereka sedang melampiaskan hasrat berburu milik mereka."
Aku melirik ke arah Uki yang bergumam, "kau pun hewan, kenapa dia tidak sadar akan dirinya sendiri?" Aku turut bergumam dengan menggunakan bahasa Jepang.
"Apa kau mengatakan sesuatu, My Lord?" tanyanya sambil menoleh ke arahku.
Aku menggeleng, "tidak ada. Aku hanya mengatakan, aku membutuhkanmu untuk menyembuhkan mereka yang terluka," ucapku sembari melemparkan kembali pandangan ke arah makhluk besar yang telah berdiri di depan Kou.
Aku menunduk saat lilitan akar yang mengikatku merenggang, kucoba untuk beranjak berdiri ketika akar yang sebelumnya melilit tubuhku itu kini benar-benar terlepas. "Sachi!" Aku menoleh ke samping, menatap Zeki, Haruki, Izumi, dan juga Eneas yang menunggangi masing-masing Manticore ke arah kami.
Zeki melompat dari punggung Manticore itu, lalu berjalan mendekatiku dengan lirikan matanya mengarah kepada kakek saat dia berjalan melewatinya, "apa kau baik-baik saja? Kau tiba-tiba menghilang, aku-"
"Aku baik-baik saja," sautku sambil meraih tangannya yang menyentuh pipiku.
"Para hewanmu bertingkah aneh ... Jadi kalian telah diserang?" Pandangan mataku beralih ke arah Izumi yang masih duduk di punggung Manticore yang ia tunggangi, dengan matanya yang turut bergerak ke arah Kou dan juga Shin yang masih berdiam menatapi musuh di depan mereka.
"My Lord!"
Aku menoleh ke arah belakang, lebih tepatnya ke arah Tama yang berjalan mendekat dari belakang, "Tama," aku balas memanggil namanya sambil melangkah mendekatinya.
Tubuhku berusaha untuk memanjat tempurungnya saat dia menekuk sedikit kakinya. Tama dengan perlahan melangkahkan kakinya, lengkap dengan beberapa puluh ekor burung yang terbang mengitari kepala kami berdua. "Mereka akan membantu untuk melindungimu, aku masih mencoba memanggil hewan-hewan lain untuk datang membantu. Hanya pinta ke para manusia itu untuk jangan datang membantu," ungkap Tama sambil tetap melanjutkan langkah melewati mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...