Kou terbang memutari langit. Aku yang penasaran, berusaha untuk mengintip ke bawah. Tak ada yang istimewa, karena yang terlihat hanyalah barisan pepohonan hijau. “Kou, apa ki-”
Belum sempat kata-kata yang kuucapkan itu selesai. Kou dengan tiba-tiba sudah menukik turun yang membuatku mau tak mau merangkul kuat lehernya, sedang Ebe yang duduk di belakangku memeluk erat pinggangku.
Bunyi keras, keluar memenuhi udara disaat Kou menapakkan kedua kakinya dengan kuat ke tanah. Aku yang sebelumnya membungkuk, hanya bisa terdiam menatapi jeritan-jeritan dari beberapa orang bertopeng yang lari tak tentu arah, setelah melihat Kou.
Aku kembali duduk dengan benar, lalu melompat turun yang diikuti oleh Ebe setelah aku melakukannya. “Desa ini terlihat tidak berubah sama sekali,” gumamku sambil memandang apa yang ada di sekitar kami dengan seksama.
Tubuhku sedikit terhenyak, ketika ekor Kou tiba-tiba muncul di samping kepalaku. Mataku membelalak, disaat aku menoleh, sebuah anak panah telah menancap kuat di ujung ekornya. Aku bisa melihat sekumpulan orang yang berjalan mendekat, ketika Kou menarik kembali ekornya yang melindungiku. “Aku ingin menemui Nenek Sabra!” pintaku kepada orang-orang yang mengenakan topeng serigala.
Salah seorang perempuan yang mengenakan topeng serigala itu terus berjalan lalu berhenti tepat di depanku. Dia terlihat lama memperhatikan setiap jengkal wajahku, seperti tengah berusaha untuk memastikan identitasku. “Takaoka Sachi?” Kepalaku mengangguk setelah kata-kata itu keluar dari bibirnya.
“Ikuti aku!” perintahnya, diikuti tubuhnya yang berbalik lalu berjalan meninggalkan kami.
Aku menoleh sejenak kepada Ebe. Kedua kakiku baru melangkah mengikuti perempuan tadi, setelah anggukan kepalaku menjawab keraguan di wajahnya. Perempuan itu, membawa kami terus berjalan ke sebuah rumah panggung yang sedikit jauh dari tempat biasanya Nenek Sabra duduk untuk memperhatikan penduduk desa.
Tangga tanpa pegangan tangan itu, aku naiki setelah dia yang sudah berdiri di atas rumah melambaikan tangannya padaku. Perasaan tak enak, segera langsung menyelimuti tubuhku disaat aku hendak berjalan masuk ke dalam rumah menyusulnya. “Nenek Sabra!” panggilku, pada bayangan yang sedang duduk di atas kursi.
Aku yang sudah berdiri di hadapannya, segera duduk menunggunya yang tak kunjung berbicara. “Sachi!” bisikan Lux yang bersembunyi di balik rambutku, membuatku mau tak mau mengangkat pandangan.
Aku tertegun, ketika perempuan bertopeng serigala itu berdiri tertunduk di samping Nenek Sabra. Hatiku seperti terkoyak, sesaat aku tersadar … Bahwasanya yang duduk di depan kami, hanyalah sebuah jasad tanpa nyawa di dalamnya. “Nenek,” ucapku, sambil menggenggam tangan dingin yang bertumpuk di atas pahanya.
Bibirnya tetap tak bersuara. Matanya tak kunjung terbuka … Tidurnya terlihat pulas, untuk dapat dibangunkan kembali. Aku tertunduk sambil meletakan kepalaku di pangkuannya, “kau terlihat nyenyak sekali, Nenek,” bisikku dengan air mata yang turut meluruh.
“Beliau memintamu untuk mengantarkan jasadnya kembali ke Pulau sebelum dia meninggal.”
Mataku yang mengabur oleh air yang memenuhi, terangkat menatapi perempuan bertopeng serigala yang berbicara. “Aku tidak bisa melakukannya,” jawabku singkat, sambil menarik ingusku yang hendak keluar oleh tangisan.
Perempuan itu mengangkat tangannya mendekati wajah. Dia melepaskan topeng serigala yang ia kenakan, hingga wajah yang selama ini dia sembunyikan … Terlihat jelas di mataku. “Aku akan melakukan apa pun untuk mewujudkan keinginan Nenekku,” ucapnya sambil menatapku dengan kedua mata birunya yang bersinar terang.
“Pulau tersebut sudah tidak memiliki harapan hidup. Jika mereka melihatku kembali datang … Mereka pasti langsung mengusirku sebelum sempat aku mengucapkan apa pun. Itu bukan berarti, aku berusaha melakukan kejahatan untuk mereka. Namun, mereka menolak pertolongan yang ingin aku berikan secara mentah-mentah.”
“Namamu?” tanyaku setelah cukup lama terdiam.
“Sabra,” jawabnya singkat yang membuat mataku sedikit menyipit.
“Sabra adalah namaku. Nenek Sabra, itu karena Beliau adalah Nenekku-”
“Baiklah, Sabra!” tukasku menyergah ucapannya, “aku dapat melakukannya asalkan kau ikut bersama kami untuk menjelaskan pada mereka apa yang sebenarnya terjadi. Namun, satu hal yang pasti … Disaat kau menyetujuinya. Aku tidak bisa memberikan jaminan untuk mengantarmu pulang ke sini, karena aku harus segera melanjutkan perjalan,” sambungku sambil beranjak mendekatinya.
Aku tidak menyangka jika hal ini terjadi. Aku datang ke sini, hanya untuk meminta izin Nenek Sabra agar mengizinkanku membawa cucunya untuk pergi bersamaku … Benar, aku sangatlah menginginkan perempuan yang ada di hadapanku ini.
“Bagaimana?” sahutku kembali bertanya kepadanya.
Maafkan aku, Nenek. Aku mengambil kesempatan disaat seperti ini untuk mengambil cucumu.
“Kau tahu, Nenek Sabra sudah kuanggap seperti Nenekku sendiri. Dia banyak memberikanku nasihat selama aku tinggal di sini … Apa kau ingin jika saja aku menguburkan jasadnya di bibir pantai yang sangat jauh dari Istana yang pernah ia tinggali? Aku tentu saja tidak tega untuk melakukannya.”
“Jadi bagaimana Sabra, apa kau menerima tawaranku?” sambungku lagi yang masih tak dijawab oleh sepatah kata pun darinya.
_____________.
Aku berdiri di depan Kou, sambil menatap iring-iringan yang membawa mayat Nenek Sabra. Mereka menurunkan mayat Nenek berselimut kain hitam yang mereka panggul itu ke depan wajah Kou, “terima kasih, telah mempercayakan hal ini kepadaku,” ucapku sambil membungkuk di depan mereka.
Langkahku bergerak mendekati mayat Nenek Sabra, lalu membungkuk dengan menarik kain yang menutupi tubuhnya. Kou membuka mulutnya, mengeluarkan udara dingin hingga mayat yang ada di hadapannya beku oleh es yang membungkusnya.
Sehabis Kou melakukan tugasnya. Aku segera berjalan mendekatinya, dan naik ke atas punggungnya dengan bantuan ekornya yang melilit pinggangku. “Sabra, naiklah!” perintahku, setelah Kou sudah melakukan hal sama kepada Ebe.
Aku menoleh ke belakang, disaat Kou berbalik membelakangi penduduk desa. Masih kutatap, ekor Kou yang bergerak melilit es yang menyelimuti mayat Nenek Sabra, lalu mengangkatnya ke atas sebelum sayapnya mengepak … Membawa kami terbang ke udara.
“Apa kau baik-baik saja? Jika kau kedinginan, katakan saja kepada kami!”
“Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, yang membuat lirikan mataku bergerak ke sudut mata.
“Kenapa kau harus membawa Nenekku dengan cara seperti ini?”
“Cara seperti apa yang kau maksudkan? Apa kau kuat untuk menahan tubuhnya di udara? Jika kau lelah dan kehilangan kekuatanmu … Kau akan jatuh, dan tubuhmu akan tidak berbentuk lagi saat sudah di bawah. Apa itu yang kau inginkan?” sahutku, disaat ucapannya tiba-tiba menyeruak.
“Kapan? Kapan lebih tepatnya Nenek Sabra meninggal?” tanyaku dengan berusaha menoleh padanya.
“Sejak Bulan Purnama terakhir kali. Dia berkata … Air terjun sudah kehilangan airnya-”
“Jika itu bulan purnama terakhir kali … Kalau aku tidak salah menebak, itu sudah sedikit lama. Apa kalian mengawetkan mayatnya?”
“Itu adalah ramuan yang berasal dari Kakekku, ramuan itu membuat tubuh mereka yang sudah meninggal tidak akan membusuk. Aku tidak akan memberitahukannya kepadamu mengenai ramuan itu!”
Senyum di bibirku mencuat tatkala kata-kata terakhirnya terdengar menusuk di telinga, “aku tidak memintamu untuk memberitahukannya. Jadi tenang saja! Namun, sepertinya kau harus lebih memperhatikan tubuhmu! Pakaianmu terlalu terbuka untuk terbang semalaman di udara,” ungkapku dengan kembali membuang pandangan ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...