“Aku merasakannya.”
“Aku pun.”
“Kami pun sama, My Lord,” tukas Kou, Uki, Shin dan Tama bergantian.
“Lalu, kenapa kalian tidak memberitahukan hal ini kepadaku?” sahutku, dengan sedikit tertunduk sambil merangkul erat pinggang Huri yang aku pangku.
“Selama itu tidak menyerangmu, kami tidak berkewajiban memberitahukan hal ini. Lebih dari pada itu, bagaimana bisa setengah manusia sepertimu tidak dapat merasakannya-”
“Kau! Jaga bicaramu terhadap Tuanku!” Kou membentak Kei, hingga perkataan yang diucapkan Kei belum sempat ia selesaikan.
“Tenanglah Kou! Apa yang ia katakan memang benar … Bagaimana bisa aku tidak bisa merasakan hal tersebut,” gumamku, kepalaku yang sempat tertunduk dengan tiba-tiba terangkat tatkala genggaman lembut aku rasakan merangkul tanganku.
“Apa terjadi sesuatu?” tanya Zeki, yang terlihat khawatir dengan keadaanku.
Aku mengangkat sebelah tanganku, untuk meminta kepadanya agar memberikanku waktu sebelum menjelaskan apa yang terjadi, “aku ingin memastikan kepada kalian, apa ini berbahaya? Maksudku, apa yang terjadi ini akan mengundang bahaya?” Aku mencoba untuk bertanya kembali kepada mereka.
“Karena kami belum melakukan apa pun. Itu berarti, kau tidak perlu terlalu mencemaskan hal ini, My Lord. Aku, akan segera datang menemuimu, jika saja ada bahaya yang mendekat,” jawaban Kou lagi-lagi melintas di kepalaku.
“Baiklah. Aku percaya kepada kalian,” ungkapku pelan yang hampir seperti sebuah bisikan.
Lirikanku beralih ke arah Lux yang telah duduk di atas kepala Huri, “bagaimana Sachi? Apa yang kalian bicarakan?” tanyanya dengan raut gusar yang menyelimuti.
Aku membuang tatapan ke arah permukaan air sungai, “mereka mengatakan untuk tidak perlu mengkhawatirkannya. Mereka akan datang ke sini, kalau bahaya muncul, jadi jangan terlalu mencemaskan hal ini-”
“Tapi?”
“Tapi?” Aku menyahut perkataan Lux yang memotong ucapanku, diikuti keningku yang mengerut menatapinya.
“Apa yang sedang kau khawatirkan? Jangan mencoba untuk membohongiku!”
Kepalaku tertunduk dengan senyum yang sedikit menyungging di bibir. Aku kembali mengangkat wajahku seraya jari telunjuk terangkat menggaruk ujung mata, “rasanya sulit untuk menyembunyikan sesuatu darimu, Lux,” ungkapku kepadanya yang enggan membuang tatapan kepadaku, “ini bukanlah hal yang penting, hanya saja … Kenapa aku sendiri yang tidak dapat merasakannya, sedang kalian dapat merasakan hal ini,” sambungku lagi kepadanya.
“Aku lemah terhadap air, mungkin Elf juga memiliki kelemahan yang sama. Apa kau ingat? Saat itu, kau meninggalkanku dan Ryu, ketika kita mengunjungi Ardenis.”
“Sihir Ryu, maksudku tanaman yang ia tumbuhkan … Tidak bisa menembus banjir yang ada, bukan? Mungkin itu juga penyebab, kenapa kau tidak bisa merasakan hal ini-”
“Tapi kau bisa merasakannya,” ucapku menyalip kata-katanya.
Lux yang duduk dengan kedua tangan berkacak di pinggang itu, membuang pandangannya dariku sambil berdecak, “jangan samakan satu makhluk dengan makhluk lainnya. Kami istimewa, karena itu kami dipercaya menjaga Robur Spei … Kegelapan akan segera datang,” ungkap Lux, kedua mataku dengan cepat langsung membelalak ketika dia mengubah nada bicaranya.
“Tumbuhan, Hewan, dan bahkan kalian para manusia memerlukan air,” sambungnya, dia terbang dari atas kepala Huri lalu duduk di atas pundakku, “ini awal mula kegelapan itu muncul, Sachi. Aku, sudah pernah merasakan hal ini saat salah satu Dunia yang aku singgahi hancur. Hujan yang terus-menerus turun, tapi hujan tersebut tidak memberikan kehidupan atau menumbuhkan apa pun … Melainkan, menghancurkan kehidupan yang ia sentuh.”
“Tumbuhan, tidak bisa melindungi dirinya sendiri dari hujan, karena itu … Tumbuhan yang lebih dulu hancur, saat kegelapan itu datang. Kita tidak bisa membuang-buang waktu-”
“Apa hal itu berbahaya? Lalu bagaimana dengan keluargaku? Rakyat kami? Para Duyung,” tukas Ebe dengan tiba-tiba sambil sebelah tangannya memukul dadanya sendiri.
“Ebe, tenanglah!”
“Bagaimana aku bisa tenang?” tukas Ebe kembali kepada Izumi yang memegang pundaknya, “jika apa yang Lux katakan itu benar. Bagaimana dengan mereka yang hidup dan bernapas di dalam air? Bagaimana dengan keluargaku?”
“Ebe!”
“My Lord, bantu aku untuk menyelamatkan mereka semua,” pintanya, aku sangat terkejut tatkala dia melakukannya dengan duduk berlutut di depanku, “Kakekku, Kakakku … Mereka berdua yang merawatku sejak kecil. Aku, tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja-”
“Aku pun sama, tidak akan meninggalkan mereka begitu saja!” ungkapku, seraya mengangkat Huri dari pangkuanku lalu memberikannya kepada Zeki, “Ebe! Kau temanku … Keluargamu, merupakan keluarga kakakku juga, dan kau … Salah satu dari Takaoka. Ingatlah ini, Ebe! Takaoka, tidak akan pernah berlutut kepada siapa pun,” sambungku seraya membantunya berdiri saat dia meraih tangan yang aku julurkan.
“Tanpa kau pinta, kami pasti akan menyelamatkan mereka. Kau percaya kepadaku, bukan? Kau percaya kepada Kakakku, bukan?” Kepalanya yang tertunduk itu, mengangguk pelan menjawab pertanyaanku, “aku akan membawa mereka semua ke tempat yang aman. Aku bersumpah kepadamu akan melakukannya … Jangan menganggap ini sebagai hutang budi! Karena, saat kita sampai ke tempat tujuan, aku memerlukan bantuanmu untuk menjaga mereka. Ini seperti kita, seperti apa aku mengatakannya … Saling membutuhkan,” ucapku lagi, kali ini aku mengatakannya sambil menepuk pelan lengannya beberapa kali.
“Jadi Lux, apa yang harus kita lakukan?”
Lux menoleh saat mendengar panggilanku, “Izumi, kita memerlukan tempat untuk membicarakan hal ini, dan juga … Bantu aku untuk memanggil mereka bertiga!” perintah Lux sambil terbang mendekati Kakakku.
“Aku mengerti. Aku akan segera menyiapkan semuanya,” jawab Izumi, dia berbelok ke arah Ebe lalu memberikan Takumi yang ia gendong kepada Istri yang berdiri di dekatnya.
“Ebe, apa kau?” sahutku saat Kakakku sendiri telah berjalan meninggalkan kami semua.
Aku berbalik mendekati Ihsan dan juga Huri yang ada di dekat Zeki, ketika anggukan Ebe aku terima, “Ihsan, Huri, ikut Bibi Ebe dulu ya. Ayah, Ibu, dan Paman, harus membicarakan sesuatu,” ungkapku sembari mengangkat Ihsan lalu menurunkannya dari atas deretan tong.
Ihsan meraih lalu menggenggam tangan Huri, tatkala Zeki sendiri sudah menurunkan Huri dari gendongannya. Mereka baru mau berjalan mendekati Ebe, setelah anggukan kepalaku menjawab tatapan mata mereka berdua. “Duduklah!” sepatah perintah dari Zeki, membuatku kembali mengalihkan tatapan kepadanya.
Aku berjalan lalu duduk di sampingnya seperti yang ia pinta, “kau, sudah melewati beberapa kali kehidupan, bukan? Seperti apa kegelapan itu?” tukasku yang mengucapkannya tanpa sadar.
“Apa yang dimaksudkan itu, saat langit menggelap dan hujan jatuh dengan air berwarna keruh?”
Zeki melirik ke sudut matanya, lebih tepatnya ke arahku saat aku sendiri dengan cepat menoleh lagi kepadanya, “jika yang dimaksudkan itu benar, maka berhati-hatilah! Aku tidak terlalu paham bagaimana terjadi setelahnya saat hujan tersebut turun, karena aku sendiri langsung meminta Ryu untuk membantuku membawa jiwamu kembali sesaat hujan itu turun … Namun, aku bisa memastikan hujan tersebut berbahaya-”
“Tumbuhan, bisa layu dan mati dalam sekejap, dan sesama keluarga yang dulunya saling mendukung, bisa saling membunuh … Semua itu terjadi, sesaat kau mengembuskan napas terakhirmu,” sambungnya, jantungku semakin berdetak tak karuan, tatkala dia mengatakan hal tersebut dengan mengubah sedikit nada bicaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...