Chapter DCCXXXIX

1.6K 381 16
                                    

“Apa kalian, ingin ikut bersamaku ke sebuah tempat di Dunia Manusia yang akan sulit ditemukan oleh siapa pun?”

Baik Aku, Ebe dan juga Amanda saling pandang, sebelum akhirnya kami dengan serempak melemparkan pandangan pada Bibi yang tiba-tiba muncul begitu saja. “Bibi tidak ingin, jika kalian mengajak mereka ke sebuah tempat yang tak bisa Bibi kunjungi. Bibi menyayangi mereka … Bibi bahagia saat bercanda bersama mereka-”

“Bibi bersumpah, tidak akan memberitahukan persembunyiaan kalian pada siapa pun. Walau yang dimaksudkan itu, Ibumu sendiri, Sachi … Bibi tidak akan memberitahukanya, walau dia nantinya memohon kepada Bibi untuk mencari kalian,” sambung Bibi diikuti kedua kakinya yang bergerak mendekat, “dan Bibi yakin, Kakek kalian pasti sedang memperhatikan kita sekarang … Dia pasti akan melakukan hal sama seperti yang Bibi lakukan. Namun yang lebih penting dari semua itu, aku memiliki sihir Robur Spei yang bisa membantu kalian.”

Aku beranjak bersama Ebe yang turut melakukannya, “aku benar-benar tidak tahu harus mempercayai siapa lagi, Bibi. Apa aku bisa mempercayai, Bibi?”

Bibi tersenyum sambil berjalan mendekati sebuah pohon, lalu menempelkan salah satu telapak tangannya ke sana, “kau tahu, Sachi? Disaat mereka mendiskusikan semuanya di dalam Tenda tanpa kehadiran kalian … Rasanya, aku ingin sekali memukul wajah Ayahmu, jika saja aku tidak ingat kalau dia adalah suami dari adikku.”

“Dia seperti melihat sosok kalian di dalam tubuh Anak-anak. Tapi dia lupa, kalian adalah kalian, dan mereka adalah mereka … Bahkan kau dan Huri saja, walau banyak orang yang mengatakan kalian hampir mirip, tapi apakah sifat kalian sama?” sambung Bibi, ketika kulit batang pohon di depan kami mulai selapis demi selapis terbelah menjadi dua.

“Aku memerhatikanmu, sejak kau masih digendong oleh pelayanmu itu. Kau dan Huri benar-benar berbanding terbalik … Jika apa yang kau katakan itu benar, bahwa anak perempuan ditempel besi panas saat dia bertunangan. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan, dia yang langsung jatuh sakit saat Ibunya tiba-tiba pergi, harus merasakan kesakitan itu,” sambung Bibi kembali, diikuti langkahnya yang melangkah maju memasuki belahan pohon.

Tarikan napasku semakin dalam, diikuti kedua tanganku yang semakin kuat menggenggam kedua tangan anakku. Kuembuskan kembali napas yang sebelumnya kutahan, ketika kakiku mulai melangkah membawa mereka melewati belahan batang pohon di depan kami.

“Tempat ini, berada jauh dari Kerajaan mana pun. Sekeliling tempat ini dikelilingi lautan, dan tidak ada manusia satu pun yang hidup di sini. Untuk makan, aku bisa menanam buah apa pun yang ingin kalian makan, jadi kalian tidak perlu khawatir memikirkan esok kalian akan kelaparan atau tidak,” tutur Bibi, sambil berjalan dengan menendang-nendang pasir yang ia pijak.

“Kalian tunggulah di sini! Bibi akan mengambil semua barang-barang kalian yang tertinggal di Dunia Elf.”

“Bibi!” panggilku, hingga dia kembali menghentikan langkah dengan berbalik ke arahku, “tolong ajak Uki dan Lux ke sini! Aku tidak ingin, jika terjadi sesuatu pada mereka.”

Bibi tersenyum sambil mengangguk sebelum berbalik lagi lalu melanjutkan langkahnya, “aku akan segera kembali. Kalian beristirahat saja dulu, dan cobalah untuk menenangkan diri,” ucapnya dengan tangannya yang terangkat melambai.

“Aku baru sadar bahwasanya Dunia ini sangatlah luas. Saat kita pergi  langit terlihat sangat gelap, tapi sekarang,” ucap Amanda terhenti, sembari mengangkat kepalanya ke langit yang memancarkan kecerahan siang hari.

“Ibu, apa kita akan tinggal di sini?” pertanyaan dari Hikaru, membuatku harus beralih menatapnya.

Amanda duduk berjongkok di depan Putranya, “Hikaru, ada banyak kekejaman yang diterima para perempuan seperti Ibu di Dunia ini. Ayah dan Kakekmu, ingin kalian bertunangan dengan seseorang yang tidak kalian kenal. Kau tahu apa artinya bertunangan itu?” tanya Amanda yang dibalas gelengan kepala Hikaru.

“Pertunangan itu, adalah saat Kau, Miyu, Takumi, Ihsan dan juga Huri dipasangkan dengan seseorang, untuk nantinya disaat kalian tumbuh besar, kalian akan menikah dengan mereka … Seperti Bibi Sachi dan Paman Zeki,” sambungnya dengan menjatuhkan tatapan kepadaku.

“Tapi Hikaru, apa kau tahu? Apa yang akan terjadi pada perempuan seperti kedua adikmu, Miyu dan juga Huri, kalau saja pasangannya tidak ingin menerimanya? Mereka akan dihukum mati, sebuah pisau yang sangat besar akan memotong kepala mereka, dan itu artinya … Kalian tidak akan bisa lagi bermain-main bersama mereka berdua.”

Kata-kata yang diucapkan Amanda, membuat sepatah kata saja tak keluar dari masing-masing bibir mereka. Aku pun ikut terdiam, sambil membuang lirikan pada Ihsan, yang dengan lama menatap Huri tengah tertunduk di sebelahku.

Genggaman tangan Ihsan padaku terlepas, diikuti tubuhnya yang berjalan mendekati Huri lalu meraih tangannya, “ikut Kakak, Huri! Takumi, Hikaru, kalian harus ikut main bersama kami!” tukas Ihsan dengan menarik Huri sedikit menjauhi kami.

Hikaru yang sebelumnya hanya terdiam, tiba-tiba memalingkan pandangannya pada Miyu, “ayo, Miyu! Kakak akan mengajakmu bermain,” ucapnya sambil menggandeng tangan Miyu lalu membawanya berjalan mengikuti Ihsan dan juga Huri.

“Kau tidak ingin ikut bermain, Takumi?”

Takumi berbalik, lalu berlari mendekati mereka setelah Ebe mengucapkan pertanyaan itu. “Mereka terlihat sedih. Ini kali pertama untukku, melihat Takumi menjadi pendiam seperti itu,” ungkap Ebe, dengan raut wajah khawatir terlukis di wajahnya.

“Seharusnya aku tidak mengatakan semuanya dengan sangat jelas seperti sebelu-”

“Ini bukan kesalahanmu, Kak. Mereka memang seharusnya mengetahui, alasan kenapa kita harus membawa mereka pergi … Mereka harus mengerti dan menerima semua itu cepat atau lambat.”

“Ebe, bagaimana kalau kau menemaniku menangkap ikan di laut?”

Wajah Ebe dengan cepat berubah semringah setelah mendengarkan ucapanku, “sudah lama sekali aku tidak berenang di laut,” ucapnya yang melompat kegirangan sambil memegang kedua tanganku.

“Jika kalian menangkap ikan. Aku pikir, aku akan menyiapkan api untuk memasaknya … Tapi, jika kita semuanya pergi, lalu siapa yang akan menjaga mereka?” sahut Amanda sambil menoleh kepada Anak-anak yang duduk memainkan pasir.

Kepalaku mendongak, “Bibi berkata kalau pulau ini jauh dari jangkauan manusia, jadi aku pikir tidak akan ada masalah. Kou!” panggilku dengan melepaskan genggaman tangan Ebe, sambil seterusnya berjalan mendekati mereka setelah kata-kataku berhenti.

Anak-anak, serempak menoleh ke arahku yang sudah berdiri di dekat mereka, “aku sudah berjanji untuk mengajak kalian terbang bersama Kou, bukan?” tukasku, dengan kembali mendongak, setelah hawa dingin tiba-tiba berembus memenuhi udara.

“Mau terbang bersama Kou hari ini? Asal kalian bisa saling berpegangan dan menjaga satu sama lain, Kou akan mengajak kalian terbang hingga hampir menyentuh awan,” sambungku, sesaat Kou sudah mendaratkan tubuhnya tepat di belakangku.

Senyumku merekah, setelah kesedihan yang terlihat di wajah mereka memudar. “Baiklah. Satu per satu dari kalian harus berbaris, agar Kou bisa mengangkat kalian ke punggungnya,” ucapku sambil berbalik melangkah dan menjatuhkan jari telunjuk kepada Kou.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang