Chapter DCXXIII

1.3K 307 2
                                    

Jadi seperti itu … Karena Kou ingin menyelamatkan anakku saat di hutan, dia terpaksa memberikan darahnya walau dia tahu risikonya. Karena aku meminum darahnya pula, baik sihirku dan sihir anakku membesar hingga dapat dirasakan mereka. Karena itu juga-

Sudahlah, aku tidak peduli. Asal anakku dapat lahir dengan selamat tanpa kekurangan apa pun, itu sudah lebih dari cukup untukku.

“Nii-chan,” panggilku dengan melirik ke arah Haruki yang duduk bersandar di batang pohon mengawasiku, “aku baik-baik saja. Haru-nii pulang saja ke rumah, Hikaru pasti ingin bersama Ayahnya,” ucapku, yang membuat lirikan mata Haruki mengarah padaku.

“Ada Tatsuya yang menjaganya. Kau pun, sama berharganya untukku, Sa-chan,” jawab Haruki, dia bergerak mendekatiku dengan sebuah gulungan daun membentuk seperti bantal di tangannya.

Haruki duduk di sampingku dengan tangannya yang mengangkat kepalaku, lalu meletakkan bantal daun yang ia buat menyangga kepalaku tersebut. “Apa terlalu tinggi?” tanyanya dengan kembali mengarahkan pandangannya kepadaku.

“Ini, sudah nyaman sekali,” jawabku yang tersenyum kecil membalas tatapannya.

Aku ikut menoleh ke kiri, saat Haruki mengangkat kembali kepalanya. Pandangan mataku itu, terjatuh ke arah Izumi dan juga Eneas yang berjalan mendekat dengan Izumi membawa beberapa buah kelapa sedang Eneas membawa satu keranjang penuh buah pisang. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Izumi ketika dia duduk di dekatku sambil meletakkan buah kelapa yang ia bawa ke samping tubuhnya.

“Apa kau haus? Aku, akan mengupaskan buah kelapa ini untukmu,” ucap Izumi sembari mengangkat salah satu buah kelapa dengan tangannya.

“Aku akan memintanya jika haus,” jawabku seraya tersenyum dengan menyentuh dengkulnya.

“Bagaimana dengan buah pisang ini? Aku menemukan buah pisang yang sudah masak ini di tengah hutan,” timpal Eneas yang membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya.

“Aku, belum lapar sekarang, Eneas,” ucapku yang menjawab perkataannya.

Aku menarik napas dalam dengan kembali membuang tatapan ke atas. “Kakak!” Mataku kembali melirik, mencoba untuk mencari arah suara laki-laki itu.

“Ryu,” tukas Izumi saat dia menoleh ke belakang.

Aku masih terdiam, saat tatapan mataku itu terjatuh ke arah Ryuzaki yang menghentikan langkahnya dengan napas terengah-engah di dekat Izumi. “Apa yang-” perkataan Ryuzaki berhenti, ketika matanya itu bertatapan langsung denganku.

“Sachi? Apa yang terjadi padamu?”

Ryuzaki duduk di dekat Izumi sambil menggenggam tanganku saat Eneas kembali beranjak berdiri. “Pinta dia, untuk membuatkanmu tempat tidur dari sihirnya, My Lord … Dan pastikan, dia harus tetap mengalirkan sihir tersebut di tempat tidur yang ia buat itu,” tukas suara Uki yang tiba-tiba terngiang di dalam kepalaku, aku melirik ke arahnya yang terbang lalu hinggap dan duduk di pangkuan Haruki.

“Ryu, apa kau bisa menolongku? Aku tidak tahu harus meminta bantuan siapa lagi kecuali denganmu, Adikku,” ucapku yang membalas genggaman tangannya.

“Katakan saja, apa yang harus aku lakukan?” Dia balik bertanya dengan semakin menggerakkan kakinya mendekati.

“Uki memintamu untuk membuatkanku tempat tidur menggunakan sihirmu, dan dia pun mengatakan jika kau harus tetap mengalirkan sihir tersebut nantinya-”

“Hanya itu?”

Aku melirik ke arah Uki yang tak bersuara, “hanya itu,” ucapku dengan kembali mengalihkan pandangan kepadanya.

“Baiklah. Apa kalian, dapat menjauh sedikit,” pinta Ryuzaki sambil beranjak berdiri.

Haruki, Izumi, dan juga Eneas mengikuti apa yang Ryuzaki pinta. Ryuzaki masih menatapku, saat jari-jemarinya itu terangkat … Tubuhku pun, sedikit terangkat dari bawah. Semakin lama dia melakukannya, semakin itu pula … Rasa kantuk terasa mati-matian menahan mataku itu untuk terbuka.

_____________.

Mataku kembali terbuka, dengan mendapati keadaan sekitar yang telah menggelap. Kucoba gerakkan kepalaku ke samping, menatapi beberapa obor menyala yang mengelilingi. Aku sedikit menurunkan pandangan, menatapi punggung Ryuzaki yang duduk bersandar di-

Dia membuatkanku tempat tidur dari akar yang dilapisi daun rupanya.

“Ryu,” tukasku pelan, bibirku tersenyum saat dia menoleh ke arahku.

“Kau sudah bangun?” tanyanya yang dengan cepat berbalik menatapku.

Aku mengangguk menjawab pertanyaannya, “di mana yang lain?” Aku balik bertanya, saat aku tersadar hanya ada dia yang menjagaku.

“Aku meminta yang lain untuk beristirahat. Aku meminta mereka untuk bergantian menjagamu.”

“Aku, mendengar semuanya dari Kak Izumi. Aku, benar-benar tidak akan memaafkan para Elf itu,” sambung Ryuzaki sambil mencengkeram sisi tempat tidur dari akar yang ia buat.

“Apa Kou yang menjemputmu?” tanyaku berusaha mengalihkan perkataannya.

“Dia menjemputku ke Azayaka, membukakan gerbang untukku ke sini sebelum kembali terbang … Mungkin dia ingin menjemput Zeki setelah menjemputku,” ucapnya dengan kembali berbalik lalu bersandar di akar yang menjadi tempat tidurku itu.

“Aku tidak menyangka, jika kau akan menjadi seorang Ibu secepat ini, Sachi.”

“Aku pun, bahkan lebih tidak percaya. Bahkan dia, semakin kuat menendang-nendang perutku sekarang,” ucapku yang mengangkat sebelah tanganku mengusap pelan perutku.

“Aku berjanji, tidak akan membiarkan para Elf itu menyentuhmu atau menyentuh anakmu.”

“Aku tahu. Paman Ryu, pasti akan menjaga kami dengan sekuat tenaganya, bukan?” tukasku, dia menepuk pelan telapak tanganku yang aku letakkan di pundaknya.

“Aku sudah tidak sabar melihatnya. Semoga, dia mirip seperti Ibunya-”

“Itu berarti dia akan memiliki wajah sepertimu juga,” sahutku yang dibalas tawa kecil darinya.

“Tidurlah kembali, kau harus banyak-banyak beristirahat,” ungkapnya yang kembali terdengar di telingaku.

______________.

Mataku beberapa kali berkedip, menatap dedaunan di pohon yang saling bergermerasak tertiup angin. Aku, meminta mereka untuk melanjutkan kegiatan dibanding menjagaku. Sedangkan untuk Ryuzaki, aku memintanya untuk beristirahat memulihkan tenaga.

Beberapa kali, baik itu Tsubaru, atau mungkin Haruki, Izumi, Eneas … Berulang-ulang menawarkanku untuk makan sambil membawakan buah atau apa pun tiap kali mereka datang, Tapi entah kenapa? Aku, sama sekali tidak tertarik untuk menyantap sesuatu.

“My Lord, aku telah kembali. Pinta siapa saja nanti, untuk mengambil darahku,” tukas suara Kou yang tiba-tiba terdengar di kepalaku.

Aku menarik napas dalam tanpa menjawab perkataannya, mataku melirik ke arah Uki yang terlelap dengan kepalanya menyentuh samping perutku. Aku tidak tahu kenapa, hanya saja tiap kali dia melakukannya … Rasa hangat akan terasa mengalir masuk ke dalam perutku itu.

Aku mencoba melirik ke atas saat suara langkah kaki bergerak mendekat. “Apa yang terjadi padamu? Aku, sangat-sangat khawatir saat Kou tiba-tiba menjemputku di Yadgar,” suaranya tiba-tiba terdengar mengikuti langkah kaki itu.

Aku tertegun, tak mengucapkan sepatah kata pun saat wajahnya telah berada di hadapanku. Kedua matanya membesar menatapku diikuti deru napasnya yang tak beraturan menyentuh kulitku. “Kenapa perutmu membesar hanya dalam beberapa hari? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?”

Aku melirik ke telapak tangannya yang gemetar menyentuh pipiku, “beberapa hari? Tapi di sini mungkin sudah beberapa bulan,” tukasku dengan memegang tangannya yang menyentuh pipiku itu.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang