“Apa yang kau maksudkan itu?” Haruki dengan cepat mengubah nada bicaranya kepada kami.
“Apa yang terjadi?” Sosok Zeki yang tiba-tiba muncul dari belakang Haruki, turut menimpali perkataan Kakakku.
Haruki ikut melirik ke sudut matanya saat mataku juga bergerak, berusaha melirik ke arah bagian dalam ruangan. “Hanya ada Aydin di dalam. Masuklah!” perintah Haruki diikuti tubuhnya yang berbalik meninggalkan pintu.
Aku sempat melirik sesaat ke arah Zeki yang masih berdiri dengan memegang pintu yang terbuka itu, sebelum akhirnya aku mengikuti langkah Haruki yang masuk ke dalam ruangan. “Nii-chan!” Aku menghentikan panggilan, setelah aku sendiri telah duduk di kursi kosong yang ada di sana, “kita harus melakukan sesuatu … Ini untuk, keselamatan Hikaru,” sambungku kembali kepada Kakakku itu.
Napasku berembus dengan kedua tangan yang saling menggenggam ketika lirikan mata Haruki bergerak kepadaku. “Hanya jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi? Jelaskan kepadaku … Semuanya!” perintah Haruki, ucapan dan lirikan matanya itu semakin membuat semua bulu kudukku berdesir.
“Uki … Uki mengatakan, ji-jika saja,” ucapku kembali terhenti. Aku tidak tahu harus mengucapkan apa kepadanya, “nii-chan, nyawa Hikaru akan berada dalam bahaya jika saja kita membiarkan dia tinggal di Dunia Manusia,” sambungku, aku mengatakannya dengan mata terpejam, hanya dengan satu tarikan napas saking gugupnya.
“Apa ini berhubungan dengan kegelapan yang akan muncul itu? Maksudku, Hikaru bukankah,” tukas Zeki menimpali, tatkala dia telah duduk di salah satu kursi yang ada di hadapanku.
Kepalaku mengangguk, menjawab pertanyaan yang dilontarkan Zeki. “Uki berkata, akan lebih baik kalau Hikaru tidak tinggal di Dunia Manusia, karena jika kegelapan itu datang dan membesar-”
Ucapanku lagi-lagi terhenti, ketika mataku itu terjatuh ke arah Haruki yang masih diam dengan menundukan kepalanya. “Haruki, maafkan aku karena aku terlambat untuk memberikanmu kabar ini tapi … Aku, hanya ingin memastikan semuanya sebelum memutuskan untuk memberitahukanmu hal ini,” sahutan dari Lux, membuatku mau tak mau memalingkan wajah ke arahnya yang terbang mendekati Haruki.
Haruki masih diam tertunduk dengan sesekali memijat kepalanya, “di mana Hikaru sekarang?” tukasnya yang kali ini mengalihkan tatapan kepadaku.
“Uki menjaganya di kamar kami,” jawabku singkat, jantungku sedikit membuncah cepat dibanding sebelumnya tatkala Haruki menggerakan punggungnya bersandar di kursi yang ia duduki.
“Baiklah, aku akan menitipkan Hikaru lagi kepada Bibi setelah kita mengunjungi pulau tersebut. Dan juga, persiapkan semua kebutuhan, karena kemungkinan kita akan sampai di pulau tersebut esok hari.”
“Esok hari?” Kepala Haruki yang sempat tertunduk, kembali diangkatnya saat suaraku yang menyela perkataannya itu sedikit meninggi.
“Ada apa?” sahut Zeki, lengkap dengan tatapan mereka semua yang ada di dalam ruangan ini yang mengikuti.
“Apa kalian serius? Maksudku, apa benar kita memang sudah sedekat ini dengan pulau tersebut?”
“Sachi, apa terjadi sesuatu?”
Aku menoleh, menatap Izumi yang memegang pundakku dengan pandangan risau yang menyelimuti, “nii-chan … Dari yang sebelumnya pernah terjadi, bukankah-”
“Ada yang aneh,” sambungku menyelesaikan ucapan yang sebelumnya sempat terhenti.
“Ada yang aneh?”
Kepalaku tertunduk dengan tangan mengusap seluruh wajah tatkala Aydin menyahut kata-kataku, ”kalau kita memang sudah berada dekat dengan pulau tersebut. Kenapa Lux, Uki dan yang lainnya baik-baik saja sekarang?!” semua ucapanku yang sebelumnya sempat tertahan, menyeruak keluar dengan nada tinggi hingga mengagetkan mereka semua.
“Astaga, seharusnya aku tidak melakukan hal ini,” ungkapku kembali berkata yang kali ini bergerak mengusap kening.
Aku menghela napas dengan kembali menatap mereka bergantian, “nii-chan, apa kalian berdua lupa?” tukasku sambil membuang tatapan kepada Haruki dan juga Izumi, “dahulu, bahkan Lux dengan tiba-tiba tertidur dan tidak bisa dibangunkan saat kita berada masih sedikit jauh dari Pulau itu. Apa kalian, tidak mengingatnya?” sambungku sembari melemparkan pandangan kepada Lux yang juga balas menatapku.
“Pasti terjadi sesuatu di pulau itu, karena … Jika kita memang sedekat itu. Aku pasti, sudah merasakannya, nii-chan,” lanjutku dengan hampir tak berkedip membalas tatapan mereka.
Aku mengikuti lirikan mata Haruki yang mengarah pada Lux, sebelum dia kembali menyandarkan punggungnya di kursi dengan kedua lengan bersilang, “kita akan memastikan semuanya setelah sampai di sana. Untuk sekarang, bersikaplah sewajarnya agar tidak terlalu membuat keributan, dan sesuai perintahku sebelumnya, siapkan semua barang-barang kalian karena kita akan pergi ke sana pagi-pagi sekali,” ungkap Haruki, yang kali ini seperti menutup pembicaraan ketika dia sendiri telah beranjak dari kursinya.
Zeki menggerakan sedikit kepalanya, seperti sebuah isyarat agar aku juga turut meninggalkan ruangan mengikuti Kakakku. Aku menuruti apa yang Zeki minta, dengan berjalan di belakang Haruki yang telah melangkah keluar dari ruangan tersebut. “Semuanya akan baik-baik saja,” suara pelan Zeki dengan usapan pelan di punggungku, mau tak mau membuatku harus berpaling kepadanya yang berjalan di belakang.
Langkah kaki Haruki berhenti di depan kamar kami. Dia menoleh ke arahku yang juga turut menghentikan langkah sepertinya, “masuklah, nii-chan!” pintaku sambil berjalan mendekati pintu yang ada di depannya lalu membuka pintu tersebut.
Aku berdiri di samping pintu dengan membiarkan Haruki berjalan masuk, mendekati Putranya yang berbaring di dekat Uki. Haruki duduk di pinggir ranjang dengan tangannya yang sesekali mengusap pelan kepala Putranya yang terlelap di atas ranjang, “selain kita yang berada di ruangan sebelumnya. Siapa lagi yang mengetahui tentang hal ini?” tanya Haruki dengan suara pelan sambil melemparkan tatapan kepadaku.
“Hanya kita saja yang mengetahuinya,” jawabku singkat kepadanya.
“Begitukah,” sahut Haruki sambil kembali menjatuhkan pandangan ke arah Putranya, “bersikaplah seakan tidak terjadi apa pun. Aku tidak ingin, membuat mereka khawatir dengan sesuatu yang seharusnya tak perlu untuk mereka khawatirkan,” sambungnya seraya beranjak lagi lalu meraih Hikaru ke gendongannya.
Haruki berjalan mendekatiku dengan Uki yang mengepakan sayap di belakangnya, “kau bisa melakukannya, bukan, Sa-chan?” ungkapnya sesaat dia menghentikan langkah di depanku.
Aku masih terdiam sembari terus menatapi Hikaru yang masih tertidur di gendongan Kakakku itu, “akan aku lakukan, nii-chan. Jangan khawatir, aku pun … Sebisa mungkin akan melakukan apa pu-”
Kata-kataku terhenti ketika usapan lembut dari Haruki menyentuh kepalaku, “jangan mengatakan kata-kata tersebut, karena sebagai seorang Kakak … Tentu aku pun, akan melakukan apa pun jika saja terjadi sesuatu kepadamu,” ungkapnya, usapan tangannya di kepalaku berhenti saat Haruki berjalan melewatiku disusul Uki yang terbang di belakangnya.
Kepalaku bergerak tertunduk setelah suara deritan pintu terdengar. Telapak tanganku terangkat menutupi kedua mata sambil kugigit kuat bibirku itu. “Kau akan membuat Ihsan dan Huri khawatir, jika mereka nantinya melihatmu seperti ini. Semuanya akan baik-baik saja … Semuanya, akan baik-baik saja,” ungkap Zeki dengan sentuhan di punggungku yang mengikuti perkataannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...