Aku duduk dengan memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas, sesekali aku melirik ke arah Zeki yang berdiri di dekatku dengan menggendong Huri. Sejak pembicaraan kami tempo dulu, aku meminta kepada kakakku Haruki untuk memberikan waktu sedikit lama menunda perjalanan … Agar aku sendiri pun, setidaknya dapat menyusui Huri hingga beberapa bulan lebih lama.
“Bagaimana dengan barangmu sendiri, Zeki? Apa kau yakin tidak melupakan sesuatu?” tanyaku dengan melirik ke arah tas yang ia selipkan di pundaknya.
“Tidak ada yang tertinggal. Kau sendiri yang merapikan semuanya semalam, bukan?” Dia balik bertanya dengan menepuk-nepuk pelan punggung Huri di gendongannya.
“Aku lupa,” tukasku sambil beranjak berdiri dengan meraih Huri dari gendongannya.
Aku mencium pipi Huri yang tengah mengecap tangannya sendiri, kembali kucium keningnya saat bola matanya yang setengah biru dan setengah hijau itu menatapku. “Mereka mungkin telah menunggu kita,” tukas Zeki yang membuatku melirik ke arahnya.
Aku mengangguk, dengan menatapnya yang berdiri sambil membawa tiga buah tas sekaligus di pundaknya. Satu tas milikku, satu tas lagi miliknya, dan satunya lagi milik Huri. Aku berbalik dengan melangkahkan kaki berjalan keluar rumah. “Huri … Putri Ayah.” Aku mencoba untuk melirik ke kiri saat suara gumaman Huri menyentuh telingaku.
“Dia terlihat sangat manis tiap kali tersenyum,” tukas Zeki lagi yang diikuti suara gumaman dari Huri.
“Tentu saja, karena aku Ibunya,” sahutku dengan mencium kembali pipi Huri.
Langkah kaki kami terus berlanjut, dan terus berlanjut mendekati mereka semua yang telah berkumpul dengan membawa masing-masing tas di pundak mereka. Tsubaru berjalan mendekati kami saat langkahku dan juga langkah Zeki berhenti. “Tsubaru,” tukas Zeki yang membuatku menoleh ke arahnya.
Zeki memberikan salah satu tas yang ia bawa kepada Tsubaru, “aku, meminta tolong kepadamu untuk menjaganya. Kumohon, jaga Putri kami dengan segenap nyawamu.”
Tsubaru meraih tas yang Zeki berikan dengan membungkukkan tubuhnya kepada kami, “tentu, Yang Mulia. Perkataanmu, merupakan perintah mutlak untukku.”
Aku tertegun mendengar kata-kata yang Tsubaru katakan. Yang Mulia … Para wakil kapten, hanya memberikan julukan tersebut kepada Ayah, kecuali para wakil kapten yang memang ditugaskan sekaligus menjadi pelayan kami … Mereka, akan memberikan julukan tersebut kepada Pangeran yang ia layani.
“Tsu nii-chan,” sambungku, saat dia sendiri pun telah kembali beranjak berdiri.
Aku melangkah mendekatinya, dengan menyerahkan Huri yang tengah kugendong itu kepadanya, “dia tidak bisa tidur kalau keadaannya panas. Suara yang sedikit bising pun akan benar-benar mengganggunya … Nii-chan, aku tahu jika dia akan sangat merepotkanmu. Tapi kumohon, bantu aku untuk menjaganya,” ucapku sambil mengusap pipi Huri digendongannya.
“Jangan khawatir Ratu, aku akan melindungi Putri Huri dengan seluruh nyawaku,” tukas Tsubaru diikuti tubuhnya yang sedikit membungkuk ke arahku.
Tsubaru kembali berdiri tegap, dia menarik jubahnya ke depan hingga menutupi tubuh Huri sebelum dia berbalik melangkahkan kakinya ke arah wilayah bersalju yang telah ada Tatsuya, Ryuzaki berserta Kou di sana. Aku menoleh ke samping, lalu memeluk Zeki saat suara tangis dari Huri bersambung tangisan Hikaru menyentuh telingaku.
“Kau mempercayai pelayan sekaligus kakakmu itu, bukan?”
Aku mengangkat pandangan menatapi Zeki yang mengatakannya, “karena kau mempercayainya. Maka aku pun turut memberikan kepercayaan untuknya menjaga Putri kita, kau tahu … Aku pun berat melakukan semua ini.”
“Tumbuhlah lebih kuat, Zeki. Aku pun akan melakukannya … Agar kita dapat melindunginya,” ucapku yang kembali membenamkan wajahku itu di tubuhnya.
“Tentu. Aku pun ingin, anak kita dapat hidup dengan menentukan pilihannya sendiri.”
Aku kembali mengangkat pandanganku saat kurasakan kecupan yang menyentuh kepalaku. Pelukanku pada Zeki semakin kuat, tatkala Kou yang membawa mereka … Semakin terbang tinggi meninggalkan kami di dunianya. “Baiklah,” tukas suara Haruki yang membuat pandanganku beralih kepadanya.
“Aku telah meminta Kou membuka gerbang untuk kita ke Yadgar. Lalu Zeki, apa kami bisa mendapatkan kuda untuk melanjutkan perjalanan?”
“Aku mengerti, aku akan meminta pasukanku untuk menyiapkannya,” sahut Zeki membalas tatapan Haruki padanya.
_____________.
Aku duduk di samping singgasana milik Zeki, dengan memandang beberapa Kesatria yang bolak-balik masuk ke dalam ruangan membawa beberapa kotak kayu. Aku turut beranjak saat Zeki yang ada di sampingku pun telah beranjak mendekati kotak-kotak kayu tersebut. “Bawalah, sebanyak apa pun yang kalian butuhkan,” ucap Zeki saat dia sendiri telah berdiri di salah satu kotak kayu.
Aku melirik ke arah Haruki, Izumi dan juga Eneas berserta Lux yang bergerak mendekat. “Kau menyuruh kami memilih pedang kualitas terbaik,” sahut Izumi sambil meraih sebuah pedang dengan sarung berwarna cokelat muda.
“Kau pun pilihlah senjata yang dibutuhkan,” ucap Zeki setengah berbisik sambil turut kurasakan telapak tangannya yang menyentuh punggungku.
Aku berjalan mendekati kotak berisi penuh pedang di samping Izumi, “kau, sudah lama tidak memegang pedang, bukan? Pilihlah yang ringan, tubuhmu mungkin sedikit melupakan cara bertarung. Coba yang ini,” tukas Izumi sambil memberikan sebuah pedang bersarung hitam kepadaku.
Aku meraih lalu menarik pedang tersebut dari sarungnya … Kilapan di tubuh pedang tersebut, semakin membuat ukiran-ukiran di seluruh pedang tersebut semakin indah terlihat. “Aku baru tahu, jika pedang Kerajaan Yadgar akan seindah ini,”tukasku dengan masih menatap pola ukiran di pedang dengan ujung melengkung itu.
Aku mengalihkan pandangan ke arah Zeki yang berjalan mendekati sebuah kotak kayu yang ada di dekat Eneas. Lama aku masih menatapnya yang tengah memilah beberapa panah yang ada di dalam kotak, lalu berselang … Dia melangkahkan kakinya mendekatiku sambil membawa sebuah busur dengan sebuah tabung berisi anak panah di tangannya.
“Busur ini tidak terlalu besar, aku pikir akan cocok untukmu,” ucap Zeki, ia berhenti di dekatku sambil mengarahkan busur dan juga tabung anak panah di tangannya itu padaku.
“Jangan memaksakan dirimu, jika kau merasa tidak sanggup melawan musuhmu dari jarak dekat … Maka lawanlah dia dari jarak jauh. Mengalahkan seseorang, bukan hanya tentang kekuatan,” ucapnya saat aku meletakkan kembali pedang di tanganku lalu meraih busur dan anak panah yang ia berikan.
“Aku mengerti, aku akan mengingatnya,” tukasku sambil menyilangkan busur dan tabung anak panah tersebut ke punggung.
“Kak Zeki, apa aku juga boleh mengambil koin uang ini?”
Aku mengikuti pandangan Zeki yang menatapi Eneas di depan sebuah kotak kayu berisi koin-koin Tickla, “ambil saja sebanyak yang kau butuhkan. Ambilkan juga untuk kakakmu ini, dia pasti ingin membeli banyak sesuatu di perjalanan.”
“Baiklah, dengan senang hati aku akan membungkusnya untuk Sachi nee-chan,” sahut Eneas yang merogoh ke dalam tas yang ia bawa.
Aku melirik kembali pada Zeki yang masih membuang pandangannya, “jaga dirimu,” ucapku, bibirku masih terdiam saat tatapan matanya beralih kepadaku.
“Kau pun jaga dirimu. Aku bersumpah, akan membuat Kerajaan ini menjadi tempat yang paling aman untuk kalian tinggali,” tukasnya, dia mengecup keningku setelah sebelumnya kedua tangannya menyentuh kedua pipiku.
![](https://img.wattpad.com/cover/255183933-288-k758823.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...