Chapter DCCIX

1.8K 394 13
                                    

“Bunga Mawar?” tukasku dengan mengalihkan pandangan ke arah Ryuzaki yang mengangguk, menanggapi pertanyaanku itu.

“Ada apa dengan Bunga Mawar?” sahut Izumi, ketika dia telah berdiri tepat di samping Zeki.

Bibirku kugigit kuat, dengan satu tarikan napas dalam yang mengikuti, “Huri!” panggilku sambil menyentuh pipinya, “apa kau yang menumbuhkan bunga di tangan Ayah itu? Jawab pertanyaan Ibu, Nak,” sambungku dengan tangan yang bergerak menelusuri rambut di kepalanya.

“Aku tidak melakukannya. Bunga itu, keluar sendiri dari dalam tanah, Ibu. Apa Ibu marah?” ucapnya pelan dengan suaranya yang parau menyentuh telinga.

“Tidak. Ibu tidak marah,” ungkapku sambil mengusap wajahnya lagi, “Ibu, hanya bertanya saja,” sambungku tertunduk, sembari meraih lalu mencium telapak tangannya.

Aku berbelok, berjalan mendekati Kakek dengan membawa Huri di gendonganku, “Kakek, aku membutuhkan bantuanmu,” ujarku setelah berhenti tepat di hadapannya.

“Kembali terlebih dahulu ke Dunia Elf, baru kita akan membicarakan ha-”

“Tidak,” ungkapku memotong perkataannya hingga membuat keningnya sedikit mengernyit menatapku, “aku mempunyai dua keinginan. Keinginan pertama, akan aku katakan ketika kita pergi ke Dunia Elf, tapi keinginanku yang lain … Aku ingin Kakek membantuku saat ini juga,” lanjutku kembali kepadanya.

“Apa yang kau inginkan?” Dia balas bertanya, sambil tangannya menyentuh kepala Huri yang sudah mulai tenang.

“Bantu aku, untuk menumbuhkan tumbuhan apa pun di Pulau ini-”

“Apa kau masih ingin menolong mereka? Setelah apa yang mereka lakukan kepadamu sebelumnya. Mereka ingin membunuhmu, tapi kau tetap ingin menolong mereka?!”

“Jika satu orang yang melakukan kesalahan, apa yang lain harus ikut menerima akibatnya?!” suaraku ikut meninggi membalas bentakan yang dilakukan Zeki.

“Jika orangtua yang melakukan kesalahan, apa anak-anak mereka harus menerima hukuman yang sama?” sambungku, yang kali ini sudah berbicara seperti biasanya.

“Saat aku dihujani panah beracun, dan jika saja ketika itu Ratu Alelah tidak bersedia menolongku … Apa aku, bisa berdiri di tengah-tengah kalian seperti sekarang? Menjadi seorang Istri ataupun seorang Ibu?”

“Walau nanti kami tidak akan pernah bertemu lagi … Tapi tetap saja, aku ingin menyelamatkan Pulau ini. Hal ini aku lakukan, bukan karena aku peduli kepada mereka, melainkan … Hanya rasa hormat dan kagumku kepada Ratu Alelah saja, yang membuatku tidak ingin menelantarkan Pulau ini begitu saja-”

“Kakek tidak bisa mewujudkan keinginanmu,” sahut Kakek yang segera memotong perkataanku yang belum terucap sepenuhnya.

“Kenapa? Kenapa Ka-”

“Sachi!” Kata-kataku terhenti oleh suara Bibi yang memanggil namaku, “Kakekmu bukan tidak ingin melakukannya, tapi memang tidak bisa melakukannya. Pulau ini, dahulunya hidup oleh sihir yang sangat kuat. Walau kami bisa memenuhi pulau ini dengan banyak sekali tanaman … Semuanya tidak akan bertahan lama. Hal itu percuma untuk dilakukan,” sambung Bibi dengan semakin memperpendek jaraknya denganku.

“Kami menghargai niat baikmu, tapi tidak semua hal bisa kita selamatkan,” ucap Bibi lagi, diikuti tangannya yang bergerak mengusap punggungku.

“Aku mengerti,” jawabku singkat seraya membuang lirikan ke samping.

“Baiklah, karena pembicaraan kali ini telah selesai. Jika kalian ingin datang mengunjungi Dunia Elf, ikuti aku!” perintah Kakek, sembari berbalik lalu berjalan mendekati gerbang akar yang ia buat.

Aku baru melangkah ke arah Kakek, setelah kepala Bibi mengangguk ketika kedua mata kami saling berjatuhan satu dengan lainnya. Bibi kembali menyentuh punggungku, dan saat itulah, langkahku baru bergerak mendekati gerbang akar yang Kakek buat.

Kutarik napas sedalam mungkin, sebelum kakiku melangkah masuk ke dalam gerbang tersebut. Udara hangat yang menerpa, membuat mataku yang sebelumnya sempat terpejam kini terbuka. Aku membungkuk, menurunkan Huri di padang rumput yang mengelilingi kami. “Ini, adalah rumah Kakek Buyutmu,” ucapku kepada Huri yang wajahnya terangkat menatapiku.

“Astaga … Tempat apa ini, Ayah?!” seruan Takumi membuatku mengalihkan mata kepadanya.

Dia duduk berjongkok di dekat kaki Ayahnya, sambil telapak tangannya bergerak mengusap-usap ujung rumput yang ada di sekitarnya. “Ihsan! Takumi! Hikaru!” panggil Bibi sambil melambaikan tangan ke arah mereka bertiga.

Ihsan menoleh ke arahku dan baru berlari mendekati Bibi, menyusul Takumi dan juga Hikaru, sesaat kepalaku mengangguk untuk memberikan izin kepadanya. “Kalian, apa ingin melihat sesuatu yang menakjubkan dari Nenek?” tukas Bibi seraya mengangkat sebelah tangannya ke atas.

Sesaat dia melakukannya, tiga buah akar pohon mencuat dari dalam tanah, mengelilingi masing-masing tubuh mereka. Akar-akar tersebut, mengangkat ketiga tubuh anak-anak itu ke udara, hingga suara takjub keluar dari masing-masing bibir mereka ketika saat akar itu kembali masuk ke dalam tanah, mereka bertiga tetap melayang duduk di udara.

“Kalian, sedang menaiki Rusa milik Nenek. Tidak ada yang bisa melihat Rusa tersebut selain diriku sendiri. Nenek kalian ini hebat, bukan?” sahut Bibi yang dibalas dengan anggukan serempak mereka bertiga.

“Baiklah. Kita akan lanjut berjalan. Jangan lupa untuk berpegangan agar tidak terjatuh!” sambung Bibi sambil berjalan, diikuti mereka bertiga yang masih melayang di belakangnya.

“Kau, ingin seperti mereka?” tanyaku kepada Huri yang tertegun tak bersuara menatapi mereka.

“Rusa milik Kakek Buyutmu lebih besar dibanding milik Nenek. Jika kau meminta kepadanya, dia akan mengajakmu berkeliling menggunakan Rusa miliknya itu,” sambungku sambil menggerakan kepala menatapnya.

Huri berjalan lalu berhenti dengan meraih pakaian yang dikenakan Kakek, “Kakek Buyut, Huri juga ingin seperti Kak Ihsan, Takumi dan juga Kak Hikaru,” ucap Huri hingga membuat Kakek menjatuhkan pandangan kepadanya.

Aku segera membuang pandangan, ketika Kakek melemparkan lirikannya kepadaku. Dengan tiba-tiba, seutas akar tumbuh di dekat kakiku, lalu mengangkat tubuhku ke atas hingga berhenti saat kurasakan sesuatu tak kasat mata menjadi alas untukku duduk di udara. Aku menoleh lalu mengangkat tangan, mencoba meraih Huri yang juga diperlakukan sama sepertiku sebelumnya, “ini tinggi sekali, kan, Huri?” sahutku, tanganku mengusap kepalanya saat dia yang duduk di depanku itu mengangguk kuat.

Dia masih terlalu kecil untuk terbebani dengan semua itu. Aku ingin dia hidup seperti anak-anak pada umumnya. Aku hanya ingin, dia segera melupakan semua ketakutan itu.

“Kau tidak takut?” tanyaku, setelah kami berdua mulai bergerak dengan sendirinya di udara.

Huri menoleh lalu tersenyum lebar menatapku, “ini menyenangkan. Kakek Buyut, hebat sekali, ya, Ibu,” sahutnya dengan kembali tertunduk, dengan tangannya yang bergerak seperti mengusap-usap sesuatu di depannya.

“Semua keluarga kita memang hebat,” ungkapku sambil memeluknya erat.

Tubuhnya bersandar di pelukanku, dengan kedua tangannya yang memegang masing-masing lenganku. “Huri, yang berartikan perempuan Surga … Ayahmu, yang memberikan nama tersebut. Surga, adalah tempat yang hanya ada kebahagiaan, tidak ada tangisan, tidak ada kesedihan, yang ada hanyalah kebahagian dan senyuman.”

“Ayah dan Ibu, memberikan nama tersebut agar Huri selalu bisa menemukan kebahagiaannya. Nama yang Ayah dan Ibu berikan, berisikan harapan agar Putri kami itu selalu bahagia dan tidak pernah bersedih, agar dia juga dapat memberikan kebahagiaan untuk orang-orang yang ada di sekitarnya. Huri, itu nama yang Ayah dan Ibu berikan untuk si kecil yang menjadi sumber kebahagiaan di antara kami,” sambungku sambil menunduk untuk mengecup kepalanya yang bersandar di lenganku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang