Chapter DCCLXXXVI

1.6K 425 50
                                    

“Duduklah!” perintah Izumi, setelah dia sendiri telah duduk di kursi yang ada di ruang tamu rumahnya.

Aku mengembuskan napas sambil berjalan ke arah salah satu kursi lalu mendudukinya. Dengan menepuk-nepuk paha Anka yang ada di pangkuanku … Kuceritakan semua yang terjadi di Yadgar kepadanya. “Jadi seperti itulah yang terjadi, nii-chan,” ungkapku menyelesaikan cerita.

Izumi menarik tubuhnya bersandar di punggung kursi, “lalu?” tukasnya sambil menyilangkan kedua lengannya, “apa yang ingin kau lakukan setelah ini? Apa kau ingin kembali ke Yadgar membawa anak-anakmu?”

Kepalaku menggeleng, “aku tidak tahu harus melakukan apa setelah ini,” ungkapku sembari menatap Anka yang mengecap kedua tangannya bersamaan, “kata-kata yang diucapkan Yoona membuatku tidak tenang. Bagaimana jika bayi tersebut benar anaknya Zeki?”

“Membayangkan kalau mereka berdua benar melakukan hal tersebut,” sambungku dengan menggigit geram bibir, “membuat hasrat ingin membunuh di tubuhku, tiba-tiba membesar-”

“Kenapa tidak mencoba bertanya langsung kepadanya? Kenapa tidak mencoba untuk bertanya langsung dengan apa yang sebenarnya terjadi! Gunakan kepalamu! Kau bisa menaklukan banyak Kerajaan tapi tidak bisa menaklukan diri sendiri!”

“Apa? Apa aku mengucapkan kata-kata yang salah?” sambungnya setelah mataku melirik padanya yang mencibir, “jangan hanya tahu caranya memperbanyak anak, tapi tidak tahu caranya memperbaiki keluarga kalian sendiri! Selesaikan semuanya agar tidak ada lagi kesalahpahaman seperti ini! Bicarakan secara baik-baik masalah kalian, dibanding selalu menduga-duga seperti yang kau lakukan sekarang!”

“Ebe! Bawa Sema ke bawah! Ibunya ada di sini!” panggil Izumi setelah dia menutup ucapannya.

Izumi beranjak, setelah Ebe muncul dengan menggendong Sema yang tertidur pulas, “aku akan pergi mengantar mereka dalam beberapa hari. Jaga diri kalian berdua di sini selama aku pergi,” ucap Izumi sambil meraih Sema dan menggendongnya.

Izumi balik menoleh padaku dengan kedua matanya yang melotot tajam, “beranjaklah! Bawa semua anak-anakmu!” perintahnya seraya berjalan meninggalkan kami.

Aku beranjak dengan lemparan mata yang tertuju pada Ebe. Helaan napasku keluar, ketika Ebe mengangguk sambil menggerakkan tangannya … Seakan menyuruhku untuk segera menyusul suaminya.  Kedua kakiku baru mulai melangkah, sesaat mataku tak sengaja berpaling pada Anka yang ada digendongan.

Langkahku berhenti, mengikuti Izumi yang juga telah menghentikan langkahnya di hadapanku. “Huri! Ihsan! Kemarilah!” panggil Kakakku itu hingga membuat mereka berdua yang sedang belajar memanah berpaling.

Mereka berdua segera menjatuhkan panah yang ada di genggaman, lalu berlari cepat mendekati kami. “Ikut Paman dan Ibumu! Kita akan pergi ke Yadgar, Ayah kalian sudah menunggu di sana,” ucap Izumi yang dengan seketika membuat mata mereka berdua berbinar-binar.

“Apa itu benar, Ibu?”

Tatapan Huri berserta Ihsan, disambung dengan lirikan dari Izumi, mau tak mau membuat kepalaku mengangguk, “kita akan pergi ke Yadgar,” ucapku yang segera disambut oleh senyum lebar mereka berdua.

Huri tiba-tiba berlari yang membuatku sontak terkejut, “Huri, kau ingin pergi ke mana?!” tanyaku setengah berteriak kepadanya yang kian menjauh.

“Huri ingin mengambil mahkota pemberian Kakek Bagaskara. Ibu tunggu aku!”

Berselang, mataku segera berpaling pada Ihsan yang juga ikut berlari menyusul adiknya, “aku juga ingin mengambilnya,” ucap suara Ihsan, terdengar sepintas di telinga.

______________.

Aku menoleh pada mereka yang berdiri gugup, menghentikan langkah di hadapan kami. “Yadgar diserang oleh makhluk yang jahat. Ayah kalian sendiri sedang beristirahat karena terluka oleh makhluk-makhluk itu … Tapi, setelah Ayah kalian sembuh. Kita akan membangun kembali Istana kita. Nanti, kita akan membuat kamar yang besar untuk Huri, kamar yang besar juga untuk Kak Ihsan, dan kamar untuk Sema berserta Anka.”

“Namun sekarang, apa tidak apa-apa kalian tinggal di Istana yang hancur ini untuk menjaga Ayah?”

Mereka seketika menoleh lalu mengangguk menatapku, “tapi sebelum itu, karena Ayah kalian sedang sakit. Kita tidak boleh mengganggunya,” sambungku yang kembali dibalas oleh anggukan kepala.

Aku berbelok dengan membuka salah satu kamar di Istana. Aku berjalan mendekati ranjang, lalu membaringkan Anka di atas ranjang tadi … Disusul juga oleh Izumi yang turut membaringkan Sema di samping saudaranya. “Aku akan berkeliling memeriksa keadaan. Kau tetaplah di sini bersama mereka!” tutur Izumi yang kembali berjalan meninggalkan kami di kamar.

“Kemarilah dan letakkan barang-barang milik kalian di sana! Beristirahatlah terlebih dahulu! Kalian pasti lelah!” panggilku kepada mereka yang masih mematung di depan pintu.

___________.

“Sachi! Apa kau di dalam?” suara panggilan laki-laki disertai ketukan pintu terdengar mengusik.

Aku sedikit beranjak dengan membaringkan Anka yang sebelumnya kusapih. Tubuhku bergerak menuruni ranjang, kurapikan gaun yang kukenakan itu sebelum melangkah mendekati pintu kamar lalu membukanya. “Kau sudah tersadar?” tanyaku sambil menutup kembali pintu kamar.

Tubuhku terpaku sesaat pelukan erat ia berikan padaku, “aku pikir kau menghilang lagi tanpa mengucapkan apa pun. Aku segera berlari ke sini saat bertemu Izumi di sana,” ucapnya dengan mempererat pelukannya.

“Maaf-”

“Maaf?” sahutku menimpali ucapannya, “apa yang ingin aku maafkan? Kau memiliki anak dari perempuan lain dan mengangkat perempuan tersebut menjadi Ratu … Apa itu maksudmu?”

“Anakku hanya Huri dan Ihsan. Anak mana lagi yang kau maksudkan?” tuturnya yang sedikit meregangkan pelukannya lalu menatapku.

“Yoona mengatakan kalau anak tersebut milik kalian berdua. Jujurlah padaku, Zeki Bechir! Sejak kapan kau mulai dikurung di penjara … Jika sejak awal kau dikurung di penjara, seluruh otot-otot di tubuhmu itu mungkin sudah lenyap,” balasku sambil mencengkeram kuat baju miliknya.

Zeki memalingkan wajahnya ke samping, “aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi saat tersadar … Perempuan yang aku kira Istriku, ternyata orang yang berbeda. Dengarkan aku, Sa-”

Dia seketika berhenti berbicara, sambil menatap sendu tanganku yang menjauh saat dia hendak mengenggamnya, “apa kami terlihat sama hingga kau tidak bisa membedakan kami berdua? Kita menikah sudah dalam hitungan tahun, kita menjalin hubungan sudah dalam hitungan belasan tahun … Apa begitu susahnya kau membedakanku dengannya?”

“Tatap mataku, Zeki!” pintaku dengan menepuk dadanya beberapa kali, “jika kau bisa menjawab pertanyaanku, itu berarti kau mengingat semua yang terjadi, bukan? Bagaimana rasanya menyentuh perempuan lain selain Istrimu? Bagaimana rasanya, berbagi kenikmatan dengan perempuan lain selain istrimu?”

Dia menarik napas dalam lalu mengembuskannya disaat kedua tangannya meraih dan menggenggam tanganku, “aku tahu, semua ini kesalahanku. Aku sadar, kalau saja aku lebih berhati-hati … Semua ini tidak akan terjadi. Tapi Sachi, sekali pun … Sekali saja. Aku tidak pernah terbesitkan niat untuk mengkhianatimu.”

“Aku lelah, Zeki. Semua yang terjadi hari ini membuatku lelah, berikan aku kesempatan untuk memikirkan semuanya,” tuturku sambil menarik kembali tanganku darinya, “mereka pasti risau jika saat mereka terbangun tidak menemukanku. Kau baru pulih jadi beristirahatlah! Jangan memaksakan diri! Kakakku ada di sini, jadi mustahil untukku jika tiba-tiba pergi tanpa memberitahukannya,” ucapku berturut-turut dengan berbalik membuka pintu lalu memasukinya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang