Bibi Khunbish berjalan mendekati mereka, dengan sebuah nampan berisi tumpukan kain di atasnya. Diturkarnya nampan kosong di tangan Bibi Nekhii dengan nampan yang ia bawa, sebelum akhirnya Bibi Khunbish kembali berjalan mundur mendekati kerumunan.
Suara nyanyian dengan Bahasa yang tak kumengerti, terdengar dari mulut Para Penduduk, nyanyian yang mengiringi Paman Ulagan dan Bibi Nekhii berjalan mendekati Ryuzaki. Nyanyian tersebut terus berlanjut, disaat Paman Ulagan mengambil selembar kain yang dibawa Bibi Khunbish. Paman Ulagan, memberikan kain yang ternyata pakaian tersebut kepada Ryuzaki lalu memintanya untuk mengenakan pakaian tadi.
Ryuzaki melangkah maju, dengan meraih dan mengenakan pakaian tersebut, seperti yang diperintahkan Paman Ulagan. Pakaian berwarna biru itu, memiliki lengan panjang, dengan panjang pakaian yang hampir menyentuh mata kaki. Aku kembali melirik ke arah Paman Ulagan, yang telah mengambil sebuah kain panjang di atas nampan, lalu melilitkan kain panjang berwarna kecokelatan tadi ke pinggangnya Ryuzaki.
Di saat nyanyian masih berlangsung, Sarnai muncul menggunakan pakaian yang sama seperti Ryuzaki dengan Chimeg dan juga Qadan yang berjalan di belakangnya. Qadan yang membawa sebuah bangku kecil di tangannya itu, meletakan bangku tadi di dekat Ryuzaki lalu meminta Sarnai yang ada di dekatnya untuk duduk di bangku tadi.
Mataku terjatuh ke Bibi Khunbish yang telah berdiri di depan Ibuku, dia terlihat mengucapkan sesuatu hingga Ibuku berjalan mendekati Bibi Nekhii yang juga telah berdiri di depan Sarnai. Chimeg yang membawa sebuah mangkuk kecil di tangannya, bergerak mendekati Ibu lalu mendekatkan mangkuk yang ia bawa tadi kepada Ibu.
Ibu meraih sebuah kuas yang ada di mangkuk tadi, lalu menyapukan kuas tersebut ke atas kepala Sarnai seperti yang dilakukan sebelumnya oleh Bibi Nekhii, "kau cantik sekali. Semoga cinta dan kebahagiaan, memenuhi kehidupan kalian," ucap Ibu, sembari membungkuk lalu mengecup kening Sarnai yang duduk di depannya.
Setelah Ibu berjalan sedikit mundur, Bibi Nekhii dan Bibi Khunbish maju mendekati Sarnai. Bibi Khunbish sendiri berdiri dengan sedikit membungkuk di belakang Sarnai, sambil tangannya membelah dua rambut Sarnai lalu mengepangnya. Sedang Bibi Nekhii sendiri, ia duduk berjongkok sambil mengenakan perhiasan yang Chimeg bawa di dalam kotak kecil ke tubuh Sarnai. Semuanya baru selesai, setelah topi yang dipenuhi batu permata pemberian Ayah, sudah melekat di kepala Sarnai.
Sarnai beranjak, hingga membuat hiasan-hiasan terbuat dari emas yang menutupi kedua sisi wajahnya itu sedikit bergoyang. "Kami harus berkerja keras untuk membuat topi tersebut," suara dari Kakakku Izumi, membuat kepalaku bergerak untuk menoleh ke belakang.
"Topi tersebut menjadi lambang kekayaan pengantin laki-laki, sebagai syarat yang diberikan untuk pengantin perempuan. Ayah memerintahkan pengrajin di Kerajaan untuk membuatnya dalam waktu yang singkat."
"Dan kenapa kau menceritakan hal ini kepadaku, nii-chan?" tanyaku, setelah kata-kata yang ia ucapkan berhenti.
"Tidak ada. Aku hanya ingin berkeluh kesah pada Adikku ... Aku menikahi Ebe dengan melakukan semua sumpah yang dilakukan Bangsa Mereka. Tapi aku tidak memberikannya hadiah yang sesuai untuknya di hari pernikahan kami. Aku ingin mengajaknya hidup dalam kemewahan, memberikannya banyak sekali perhiasan."
"Ryu beruntung sekali, dan aku merasa sedikit iri kepadanya-"
"Kalau kau berkeluh kesah seperti itu, lalu bagaimana denganku?" sahut Zeki menimpali ucapan Kakakku, "aku pun menikahi adikmu tanpa memberikan hadiah pernikahan yang pantas untuknya. Haruskah kita melakukan upacara pernikahan lagi, akan tetapi kali ini mengikuti tradisi Yadgar. Harga diriku sebagai laki-laki, seperti terinjak-injak melihat pernikahan ini," ucapnya sambil mengalihkan tatapan matanya kepadaku.
Aku berdecak dengan memandang mereka berdua bergantian, "kalian menyedihkan sekali. Kita pergi, Huri! Ibu tidak ingin, keputusasaan yang mereka pancarkan mendekatimu," cibirku seraya berjalan menyusul Bibi yang telah pergi terlebih dahulu.
Aku terus saja berjalan, mengikuti semua orang yang telah berdiri memutari sebuah tungku. Di sana, aku melihat Ryuzaki dan juga Sarnai, melemparkan potongan daging yang dibawa Bibi Khunbish ke dalam tungku yang ada di depan mereka selama tiga kali. Sebelum akhirnya, tradisi tersebut berlanjut dengan Bibi Nekhii yang berjalan mendekat sambil membawa sebuah piring berisikan sepasang cincin di atasnya.
Bibirku merekah tanpa sadar, ketika memandangi Ryuzaki yang meraih salah satu cincin yang dibawa Bibi Nekhii, lalu memasangkan cincin tadi ke perempuan yang akan menjadi Istrinya itu. Nyanyian dari para penduduk yang mengelilingi mereka, semakin syahdu untuk didengar tatkala Sarnai juga memasangkan cincin ke jari Adikku.
Mataku berpaling ke beberapa laki-laki paruh baya yang mengiringi nyanyian penduduk dengan alat musik di tangan mereka. Beberapa penduduk berbaris, dengan menenteng berbagai macam hadiah di tangan mereka. "Bibi, apa kau membawa hadiah?" tanyaku, sesaat mataku itu beralih ke beberapa penduduk yang satu per satu memberikan hadiah yang mereka bawa kepada pengantin.
Sarnai menuangkan susu yang ada di dalam teko ke dalam mangkuk kecil yang dipegang Ryuzaki, untuk selanjutnya mereka berikan kepada penduduk sebagai ganti dari hadiah yang mereka dapatkan. "Aku mana tahu kalau harus membawa sesuatu saat manusia menikah. Bagaimana denganmu sendiri? Apa kau membawanya?" Bibi yang berdiri di sampingku itu balas berbisik.
Aku menunduk lalu menggeleng pelan, "kami miskin, Bibi. Harta apa yang kami miliki selama tinggal di Dunia Kou," gumamku sambil mencium jubah yang menutup wajah Huri, ketika wajahnya itu berbalik menatapku.
Mataku menoleh ke samping, disaat Huri bergerak dengan mengangkat kedua tangannya. "Zeki, apa kau menyimpan sesuatu untuk diberikan sebagai hadiah?" bisikku, sesaat dia yang berdiri di belakangku itu menerima Huri ke gendongannya.
"Menurutmu?"
"Seperti yang sudah aku duga," ungkapku sambil membuang kembali pandangan ke arah Ryuzaki dan juga Sarnai, "tidak apa-apa Suamiku. Walau kau miskin, aku akan tetap bersama denganmu-"
"Sakit!" sahutku, ketika sebuah cubitan kurasakan kuat menyentuh pipiku.
Aku tertunduk, menatapi tangannya yang bergerak merogoh kantung saku di celananya. "Aku membayar Kakakmu untuk membelikanku hadiah ini, agar Istriku bisa memberikan hadiah tersebut pada Adiknya," ungkapnya sambil mengangkat kotak kecil berselimut kain mengkilap berwarna putih yang ia pegang itu ke hadapanku.
Wajahnya mengangguk, dengan menggoyang-goyangkan kotak tadi seakan memintaku untuk segera mengambilnya. Kuraih lalu kubuka perlahan kain yang menyelimuti kotak tersebut, "sepasang bros?" tukasku, sembari menoleh lagi ke arahnya setelah kotak yang ada di tanganku itu terbuka.
"Aku pernah melihatmu membuat benda yang sama dari rajutan untuk kau berikan pada Adik-adikmu dulu di Panti. Karena itu aku meminta Haruki membayar seorang pengrajin untuk membuatkanku benda yang sama, menggunakan emas dan juga batu permata untuk kau berikan sebagai hadiah."
Bibirku tidak bisa berhenti tersenyum, saat mataku itu kembali menatap sepasang bros emas berbentuk bunga yang sedang mekar, lengkap dengan batu-batu permata kecil beraneka warna yang menghiasinya. "Darling, terima kasih. Aku bahagia sekali hingga tidak bisa mengucapkan apa pun," ucapku sambil berjinjit lalu mengecup pipinya.
"Pergilah! Berikan hadiah tersebut pada Adikmu!"
Aku menggeleng sambil melingkarkan tanganku di lengannya, "kita pergi bersama. Memberikan hadiah ini sebagai Keluarga Bechir," ucapku sembari menariknya untuk berbaris bersama penduduk desa yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...