Chapter DCCL

1.6K 384 18
                                    

Aku duduk sambil menatap Sabra yang tengah berlatih pedang bersama Ebe. Semenjak hari itu, kami memutuskan untuk tinggal sementara di gubuk tengah hutan yang ditinggali Amanda. Sudah dua hari sejak kami berada di sini, sambil terus menunggu kabar yang akan dibawakan Lux berserta keempat Leshy.

Aku beranjak dengan menoleh ke arah kanan, disaat sihir Lux kurasakan mendekat. Kuangkat kedua tanganku lalu menangkupkannya hingga bayangan kecil Lux yang terbang mendekat itu, akhirnya mendarat di telapak tanganku. “Bagaimana keadaanmu, Lux?” tanyaku kepadanya yang duduk bersandar di jari-jari tanganku.

“Vartan, akan pergi esok hari dengan membawa beberapa pasukan. Satu di antaranya … Apa kau ingat dengan laki-laki yang bersama kalian di hutan?” ungkap Lux membalas tatapanku.

Keningku mengerut, berusaha untuk mengingat siapa yang dimaksudkan, “apa yang kau maksudkan itu Fabian, maksudku laki-laki yang paling kecil dan penurut di antara mereka. Laki-laki yang berkerja sama dengan Haruki-”

Belum sempat kata-kataku terhenti, gelengan kepala Lux telah menjawabnya, “yang satu lagi. Lu … Lu siapa, aku melupakan namanya,” ungkap Lux sambil memukul kepalanya sendiri.

“Lucio?”

Kepala Lux langsung terangkat seketika nama tersebut keluar dari bibirku, “benar Lucio. Ingatanmu benar-benar hebat, Sachi,” sahut Lux dengan kembali bersandar.

“Jika apa yang kau katakan itu benar, Lux. Aku ingin kau memberikan kami jalan untuk menemuinya. Malam ini juga, kau harus membantu kami membuat semua penghuni di rumah Duke tertidur kecuali Lucio. Aku akan memerintahkan Para Leshy untuk membantumu … Apa kau bisa melakukannya?”

Lux beranjak lalu terbang ke hadapanku, “akan aku lakukan. Sebelum tengah malam, aku pasti sudah menyelesaikannya,” sahutnya sambil kembali terbang menjauh meninggalkanku.

_____________.

Malam pun menyambut. Kami berempat berjalan beriringan menembus jalanan yang terlihat lebih sepi dibanding siang hari. Aku terus saja berjalan mengikuti sihir Lux dan Para Leshy yang berada di satu tempat.

Mataku diam-diam melirik pada kumpulan laki-laki pemabuk yang akan kami lewati. Senyum di bibirku lagi-lagi mencuat, disaat mereka bertiga sama sekali tak memperlihatkan ketakutan ketika kami sudah berhasil melewati kumpulan laki-laki tadi.

“Aku pikir kalian akan gemetar ketakutan,” gumamku dengan melemparkan pandangan pada Sabra yang berdiri di dekatku.

“Mereka terlalu lemah untuk menjadi lawanku, aku tidak akan gemetar ketakutan hanya karena mereka,” jawab Sabra yang balas menoleh ke arahku.

Aku lagi-lagi tersenyum, “seperti yang diharapkan dari Kesatria Bertopeng Serigala. Bahkan Kakakku Izumi pun, mengakui gaya bertarung kalian yang menakjubkan,” ungkapku dengan kembali menoleh ke depan.

Langkah kaki kami terus berlanjut lalu berhenti di depan sebuah rumah mewah dengan pagar besi yang tinggi. Aku masih terdiam di depan pagar tersebut, hingga sebuah bayangan laki-laki bergerak mendekat.

Laki-laki itu membuka pagar yang ada di hadapan kami, “semua perintah darimu telah kami laksanakan, My Lord,” ucap laki-laki tersebut sambil membungkuk di hadapanku.

“Kerja bagus,” sahutku dengan langkah yang kembali berlanjut melewatinya.

Kedua kakiku terus berjalan melewati pintu berdaun dua yang telah terbuka lebar. Disaat aku memasuki rumah, dua orang laki-laki menyambutku dengan tubuhnya yang membungkuk di sebelah kanan dan kiri pintu. “Apa kalian juga belajar tata krama?” tanyaku sambil menghentikan langkah dengan menoleh pada salah satu di antara mereka.

Laki-laki yang aku ajak berbicara itu beranjak, berdiri tegap balik menatapku, “ini hanyalah ingatan dari manusia yang telah aku makan. Silakan, My Lord … Mereka telah menunggu kedatanganmu di atas,” jawabnya yang tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya.

“Aku benar-benar tidak tahu, bahwa kalian sangatlah menakjubkan seperti ini,” ungkapku yang tersenyum ke arahnya setelah tanganku menjatuhkan penutup jubah yang menutupi kepalaku.

Aku kembali melangkah mendekati tangga yang ia tunjukkan. Kedua kakiku terus saja bergerak, mengikuti sihir Lux dan Leshy yang lainnya. Sihir yang aku rasakan itu, berhenti di sebuah kamar yang pintunya juga telah terbuka, “aku memberikannya sedikit ramuan tidur agar dia tak bisa kabur. Kau hanya perlu membangunkannya kalau ingin berbicara,” ungkap Lux yang tiba-tiba muncul disaat aku sudah memasuki kamar tersebut.

Laki-laki yang berdiri di sudut kamar itu membungkuk ke arahku ketika aku berjalan melewatinya. Langkahku kembali berhenti, kali ini tepat di samping ranjang besar yang ada di kamar tersebut. Aku berjalan semakin mendekati ranjang tadi lalu duduk di sana sambil menatapi sosok laki-laki yang terbaring lelap di hadapanku itu.

Mataku melirik ke sebuah teko dengan beberapa gelas yang mengelilinginya. Teko tadi, berada di meja yang sedikit jauh dari ranjang, “ambilkan teko air itu untukku!” perintahku sambil mengangkat tangan kiriku ke arah teko tersebut.

Leshy yang menyerupai laki-laki itu berjalan membawakan teko yang aku pinta. “Terima kasih,” ucapku setelah menerima teko pemberiannya.

Aku kembali beralih menatap Lucio yang masih terlelap, sebelum kutuangkan air di teko yang ada di tanganku itu ke wajahnya. Dia yang terlihat gelagapan oleh air yang menimpa wajahnya, segera terbangun, “apa yang kau lakukan?!” bentaknya, setelah dia mengusap wajahnya yang basah.

Matanya yang semula sayu, dengan seketika membelalak disaat pandangannya terjatuh padaku yang ada di hadapannya. “Lama tidak bertemu, Lucio. Apa kau masih mengingatku?” tanyaku dengan tersenyum sambil memberikan kembali teko di tanganku itu pada Leshy yang masih berdiri di dekatku.

“Kau … Sa-Sachi?” tukasnya yang terlihat ragu sejenak.

“Apa yang kau lakukan di sini? Dan siapa mereka?” lanjutnya dengan kali ini melemparkan matanya pada mereka yang juga ada di dalam kamar.

“Mereka teman-temanku,” jawabku singkat sambil mengangkat telapak tangan mengusap sisa air yang masih menempel di bawah matanya, “aku dengar bahwa esok hari kalian akan pergi ke Juste. Apa kau bisa membawaku ke sana secara diam-diam, Lucio?” sambungku dengan terus menatap lirikan matanya yang mengikuti tanganku.

“Apa yang ingin kau lakukan di sana?!” sergahnya sembari meninggikan suaranya menatapku.

“Kau tidak bisa menolak permintaanku, karena jika kau menolaknya … Malam ini, seluruh keluargamu berserta dirimu akan kehilangan nyawa kalian. Kau pasti cukup pandai untuk menyadari, kenapa aku bisa masuk ke ruanganmu dengan sangat mudah seperti sekarang.”

“Aku tidak peduli seperti apa caramu melakukannya, tapi kau harus membawa kami berempat ke Juste tanpa diketahui oleh siapa pun-”

“Kau hanya tinggal menemui Putra Mahkota. Dia pasti,” ucapnya yang dengan cepat memotong perkataanku, “dia pasti senang setelah melihatmu,” sambungnya menyelesaikan ucapannya yang sempat terhenti sambil membuang pandangannya ke samping.

“Tapi aku merasa kau lebih bisa diandalkan dibandingkannya-”

“Juste sangatlah berbeda dari Robson. Juste lebih berbahaya untuk perempuan dibandingkan Robson … Apa saat bertunangan kau pernah melihat mereka-mereka berjubah putih yang memimpin upacara?”  timpalnya yang lagi-lagi memotong perkataanku.

“Mereka semua berasal dari Juste. Semua Pemuka yang memimpin setiap ritual di Dunia ini, mereka semua berasal dari Juste. Putra Mahkota akan langsung menghabisi keluargaku kalau dia menemukanku menyelundupkanmu ke sana,” sambungnya yang terlihat tak berkedip mengucapkannya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang