Chapter DCLXXVIII

2.2K 505 21
                                    

Aku beranjak berdiri, melangkah mendekati Zeki setelah selesai menidurkan Ihsan. "Aku telah bertanya kepada mereka yang ada di sini saat membeli buah, mereka mengatakan ... Balawijaya masih sangat jauh dari sini, satu pekan untuk ke sana kalau menunggangi kuda," ucap Izumi dengan menatap ke arah Haruki yang duduk bersandar.

Haruki menunduk dengan menyilangkan kedua lengannya, "kita telah menghabiskan banyak koin untuk hidup selama bertahun-tahun di sana, bahkan untuk menyewa satu rumah ini juga sudah menghabiskan beberapa koin uang kita. Minimal kita harus membeli lima kuda jika memang harus membelinya, tapi-"

"Sisa koin kita tidak memungkinkan," saut Izumi yang dibalas anggukan Haruki.

"Seharusnya kalian tidak perlu menghabiskan benda yang kalian sebut uang itu untuk membeli kalung yang tidak berguna."

"Memang terlihat tidak berguna, tapi ini pertama kalinya mereka melihat Dunia itu seperti apa. Kebahagian seorang Anak, merupakan kebahagiaan Orangtuanya juga," ucap Izumi menimpali perkataan Lux.

"Ibu!"

Aku menoleh ke belakang, lalu mengangkat kedua tanganku ke arahnya yang berjalan mendekat, "apa kau terbangun?" ucapku dengan memeluknya yang duduk di pangkuan.

"Ibu, lapar," jawabnya sambil membenamkan wajahnya di dadaku.

Aku melirik ke arah Zeki yang beranjak dengan meraih sebutir apel di tengah-tengah kami. "berikan ini kepadanya!" perintah Zeki dengan memberikan apel yang ia ambil sebelumnya kepadaku.

Aku menunduk setelah meraih apel tersebut, "Huri, makan buah ini dulu, ya, Nak!" pintaku sebelum mencium keningnya saat dia meraih apel yang ada di tanganku.

"Kuda, kah? Serahkan urusan kuda kepadaku! Aku, akan menyediakan lima ekor kuda untuk kita secara percuma."

"Caranya? Meminta Shin atau Tama melakukannya?"

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Izumi, "aku tidak peduli, kuda siapa yang akan mereka kendalikan. Namun, aku tidak mungkin membiarkan anak-anakku kesusahan selama perjalanan. Anggap saja, ini sebagai bayaran untukku melindungi Dunia."

Lirikan mataku beralih ke arah Izumi dan juga Haruki yang cengengesan begitu saja setelah mendengar perkataanku. "Apa kau sedang sakit?" tukas Izumi sambil tetap menatap ke arahku.

Pandangan mataku bergerak ke arah Zeki yang meletakan telapak tangannya ke keningku, "dia baik-baik saja. Apa mungkin aku bermimpi?" ucap Zeki hingga membuat Izumi kembali menahan tawa mendengar apa yang ia katakan.

Aku mengangkat tangan, menepis tangannya yang menyentuh keningku, "apa yang kalian maksudkan?" tukasku geram sambil menatap mereka satu per satu.

"Kami hanya khawatir, seorang Sachi melakukan hal seperti itu-"

"Kau salah, Zeki. Dia memang seperti itu, aku jadi mengingatnya ... Mengingat saat dia memintaku untuk mengambil harta milik Duke Masashi," ucap Izumi menimpali perkataan Zeki.

"Mau bagaimana pun, sebenarnya aku memang menunggu dia mengatakan kata-kata tersebut. Kalau ingin kotor, kotor saja sekalian ... Kakakmu ini benar, bukan, Sa-chan?"

"Karena aku seorang Ibu, tidak ada yang dapat memberikan kesusahan untuk anak-anakku selama aku hidup. Apa pun itu, akan aku lakukan untuk kebahagiaan mereka. Walau itu berarti, aku harus menjatuhkan diri ke dalam lubang penuh kotoran sekali pun," sautku menjawab senyum yang Haruki lakukan.

_____________.

Aku berjalan dengan menggandeng kuat tangan Ihsan, sedang Zeki yang berjalan di sampingku menggendong Huri. Kami semua berjalan menjauhi pemukiman, lebih tepatnya berjalan ke arah lima ekor kuda lengkap dengan sabuk pelana yang ada di masing-masing kuda tersebut. "Kau benar-benar melakukannya," gumam Izumi sambil berjalan mendekati salah satu kuda.

"Hewan apa itu, Ayah?" seru Takumi dengan berlari mendekati Izumi yang telah menaiki kuda berwarna hitam yang dipilihnya.

Eneas yang berjalan mendekati mereka, mengangkat Takumi ke arah Izumi yang menjulurkan tangan ke arah mereka. "Ini kuda. Kita akan pergi ke sana, menaiki kuda ini," ucap Izumi saat dia telah menurunkan Takumi yang ia raih dari Eneas, duduk di depannya.

Aku turut berjalan mendekati salah satu kuda dengan menggandeng Ihsan, "Ibu, apa Ibu akan menaikinya sendirian?" tukas Huri yang membuat mataku menoleh ke arahnya.

"Apa kau ingin bersama Ibu?"

Huri mengangguk menjawab pertanyaanku. "Baiklah. Ihsan dengan Ayah, Huri dengan Ibu," ucapku dengan meraih Huri yang ada di gendongan Zeki.

Aku berjalan dengan mengangkat Huri ke punggung kuda berbulu cokelat yang aku pilih, sebelum aku beranjak naik lalu duduk di belakangnya. Aku menarik napas dalam saat meraih tali kekang kuda tersebut, "rasanya sudah lama sekali aku tidak menunggangi kuda," gumamku dengan semakin mempererat genggaman tangaku pada tali tersebut.

Aku menunduk sambil menatap Huri yang mengusap leher kuda tersebut, "apa kau tidak takut, Huri?"

Huri menggeleng dengan tetap mengusap kuda itu, "Kei dan Shin, lebih menakutkan, Ibu," ucapnya, seraya menoleh ke arah Ihsan yang telah duduk di kuda bersama Zeki.

Lirikan mataku beralih ke arah Hikaru yang duduk diam di atas kuda yang ditunggangi Eneas, "ada apa, Hikaru?" tanyaku kepadanya hingga dia menoleh ke arahku.

"Tidak, Bibi. Aku hanya ingin cepat besar, agar bisa seperti kalian," jawabnya polos, dia tertunduk saat Eneas mengusap kepalanya.

Aku tersenyum saat dia mengangkat wajahnya membalas tatapanku, "kami semua tidak serta-merta bisa melakukan apa pun. Kalian akan bisa melakukan apa pun yang kalian inginkan seiring waktu," ungkapku dengan kembali menggerakan tali kekang hingga kuda yang aku tunggangi itu berjalan, "Huri, jangan bergerak! Ibu akan membawa kuda ini dengan sangat cepat, hingga angin akan terasa kuat menyentuh wajahmu," ucapku sambil menunduk dengan mencium kepalanya.

Tanganku bergerak, hingga kuda tersebut mulai berlari. Semakin lama dia berlari, semakin cepat juga dia membawa kami berdua. "Sachi!" Aku mencoba untuk menoleh ke belakang, ke arah Zeki yang juga berkuda sangat cepat menyusulku.

"Apa yang kau lakukan?" tukasnya, saat kuda yang ia tunggangi telah menyusul di samping.

"Aku sudah lama sekali tidak berkuda. Berhubung kita masih jauh dari Balawijaya. biarkan aku berkuda dengan cepat," ucapku, dengan kembali menggoyangkan tali kekang, yang membuat kuda tersebut semakin cepat saja berlari.

"Ibu, Ibu, lebih cepat, Ibu!" saut Huri diikuti suara tawa yang ia keluarkan.

"Ibu pikir kau akan takut, Huri," ucapku dengan menunduk, menatapi rambutnya yang hitam.

"Kei justru berlari lebih cepat dibanding ini, Ibu," jawab Huri, dengan kepalanya yang mencoba untuk menatap ke arahku.

"Benarkah?"

Dia kembali mengangguk menjawab pertanyaanku. "Baiklah. Coba sedikit membungkuk, Huri! Ibu akan membawa kuda ini, lebih cepat dari sekarang," ucapku dengan senyum yang merekah ketika dia melakukan apa yang aku perintahkan.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang