Chapter DCXLVIII

2.7K 478 42
                                    

“Apa kalian yakin?” tanyaku kepada Haruki dan juga Izumi bergantian.

“Tentu, serahkan semuanya kepada kami,” ucap Izumi sebelum dia membawa Hippocampus miliknya semakin mendekati pantai.

“Eneas, bawa Kuro bersamamu dan bantu mereka,” pintaku dengan melepaskan rangkulan pada Kuro lalu berenang sedikit menjauhinya.

“Apa kau yakin, nee-chan?”

Kepalaku mengangguk, menjawab perkataannya, “berhati-hatilah,” ucapku yang ia balas dengan anggukan kepala.

Aku berenang di dekat Ebe, sambil melirik ke arah Eneas yang membawa Kuro mengikuti mereka. Aku masih terdiam, dengan menatapi Izumi yang berdiri di bibir pantai dengan beberapa koral di tangannya. Aku sendiri, sesekali melirik mengawasi sekitar … Dengan berharap tidak ada buaya yang berenang mendekat.

“Sachi, berpeganglah padaku!” Lirikan mataku beralih kepada Ebe yang berbicara, saat Izumi yang ada di sana, memberikan kami isyarat dengan tangannya.

Aku berenang dengan merangkulkan lenganku di pundaknya, “Lux, kau tetaplah terbang dan awasi mereka,” pintaku kepada Lux yang terbang di samping.

“Aku mengerti, serahkan semuanya kepadaku,” sahut Lux, sebelum dia kembali terbang semakin jauh dari permukaan air.

Hippocampus milik Ebe, membawa kami dengan perlahan menyelam ke dalam laut lalu bersembunyi di batu karang yang sebelumnya menjadi tempatku bersembunyi. Kami diam tak bersuara dengan sama-sama mengarahkan pandangan ke atas, sesekali aku melirik ke arah Ebe sambil menepuk pelan pundaknya, “kakakku akan baik-baik saja. Percaya kepadanya,” ucapku yang kembali mengarahkan pandangan ke atas.

Kami masih terdiam, saat tiga Hippocampus yang membawa mereka … Berenang cepat, menghindar dari kejaran para buaya yang ukurannya lebih besar dari para Hippocampus itu sendiri. Mereka menggiring para buaya tersebut, untuk berenang mengikuti mereka, menjauhi pantai. “Sekarang Ebe!” perintahku, dengan menepuk pundaknya saat bayangan saudaraku kian menjauh hingga tak terlihat lagi di pandangan.

Hippocampus milik Ebe, kembali membawa kami mendekati permukaan. “Tunggu di sini Ebe! Jangan ke mana-mana, aku akan segera kembali,” ucapku, dengan kembali menepuk pundaknya sebelum bergerak, berenang mendekati pantai.

“Sachi, kau yakin ingin pergi sendiri?”

Aku berhenti sambil menoleh ke arahnya, “aku bersama Lux, dan Kou bersiap untuk menolongku kalau terjadi sesuatu. Semuanya, akan baik-baik saja-”

“Maaf Sachi, aku tidak bisa menolongmu,” ucapnya lagi padaku.

“Tidak apa-apa, kau sudah banyak membantuku. Berjuanglah untuk bisa cepat berjalan, agar bisa ikut membantu kami di daratan,” sahutku sembari tersenyum sebelum lanjut berenang mendekati pantai.

Aku menarik napas dengan menggenggam erat kedua tangan, saat langkahku terasa berat oleh pakaian basah yang aku pakai. “Apa kau telah memastikan keadaan di sini, Lux?” Aku bertanya kepadanya yang terbang mendekat lalu hinggap di pundakku.

“Aku tidak menemukan lagi hewan-hewan tadi … Apa kau yakin, Sachi? Aku justru tidak merasakan apa pun,” ucap Lux kepadaku.

“Bukan hanya Kou, bahkan Uki juga mengatakan hal yang sama. Mungkin mereka berdua, berada di tahap yang berbeda-”

“Hewan Agung yang menakjubkan.”

“Kau benar, hewan Agung yang menakjubkan,” sambungku menimpali perkataan Lux.

“Kou!” panggilku sambil terus melanjutkan langkah, melewati pepohonan tinggi yang kian lama kian banyak tumbuh di sekitar.

“Terus berjalan, My Lord!”

Aku menarik napas lalu mengembuskannya dengan kuat saat ucapan Kou melintas di kepala. Langkahku berhenti, mataku melirik ke kanan dan kiri berulang kali … Menatap, tebing tinggi yang ada di hadapan kami, “Lux, apa menurutmu ada jalan rahasia di sini? Seperti saat kita menemukan Kou dulu,” ucapku sambil meraih akar gantung yang menjuntai di tebing itu.

“Apa kau ingin kita berpencar untuk mencarinya?”

Kepalaku mengangguk dengan mengusap dinding tebing yang kasar itu menggunakan telapak tangan, “aku mengandalkanmu untuk membantuku mencarinya, dan Lux … Berhati-hatilah,” ungkapku sembari melirik ke arahnya yang telah terbang dari pundakku.

“Katakan hal tersebut kepada dirimu sendiri,” sahutnya, dengan terbang jauh meninggalkanku.

Aku kembali membuang pandangan ke arah tebing, dengan menyingkap akar-akar yang menutupi permukaannya. “Di mana, di mana pintu masuknya.” Aku terus bergumam, sambil berjongkok menyibak rumput-rumput yang tumbuh di sekitar kaki.

“Kou, apa kau bisa merasakannya?”

“Kou?” Aku kembali memanggil namanya untuk yang kesekian kalinya.

“Dia berada di sekitar sana, aku tidak bisa menjelaskannya … Karena sihirnya sendiri sangatlah lemah. Aku bisa dengan mudah menemukannya kalau aku sendiri yang langsung ke sana-”

“Tidak perlu. Aku khawatir jika dia berada di gua bawah tanah sepertimu dulu, aku tidak ingin kalau mencarinya secara paksa justru membuat hancur tempat yang melindunginya,” sahutku memotong ucapannya.

Aku kembali menggerakan tangan, mencoba mencari puing-puing atau apa pun yang mungkin sama seperti batu yang menjadi jalan masuk untukku saat menemukan Kou dulu. Sesekali juga, aku beranjak mendekati tebing itu kembali, lalu berjongkok lagi … Begitu seterusnya, hingga tanpa sadar, pakaianku yang sebelumnya basah telah mengering.

“My Lord, jangan keras kepala! Jangan bandingkan aku, dengan makhluk-makhluk yang lain. Walau ditimpa reruntuhan, sihir yang melindunginya tidak akan membuat tubuhnya hancur,” sindir Kou, yang membuatku kembali beranjak.

Aku menghela napas sambil mendongakan kepala, “baiklah, kemarilah Kou! Bawa aku menemui makhluk tersebut!” perintahku sembari menunggu kedatangannya.

Aku berjalan mundur, hingga bersandar di tebing saat angin kuat tiba-tiba berembus dari atas. Tubuhku mematung, ketika ekor Kou mengibas pohon-pohon yang ada di dekatku hingga roboh ke tanah, “itulah kenapa, aku tidak memintamu untuk mendekat. Kau, benar-benar menghancurkan tempat ini,” tukasku, sambil memanjat pohon-pohon yang telah roboh di bawah kakinya.

“Mereka menghalangiku untuk mendekat. Mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi perintah dari Tuanku,” sahutnya, diikuti cengkeraman tangannya yang meremukan batang pohon yang ia injak.

“Kau selalu seperti ini saat aku menemukan hewan-hewan baru. Aku tidak akan membuangmu, kau tetap akan menjadi yang pertama,” ungkapku, saat ekornya sendiri telah bergerak melilit pinggangku.

“Untuk apa mencari mereka, bahkan aku sendiri pun sudah cukup,” Kou kembali menyahut, sembari lanjut berjalan dengan merobohkan beberapa pohon yang menghalangi.

“Kou, anakku,” ucapku sambil memeluk lehernya, “kau berulang kali menyelamatkanku, kau berulang kali membantuku. Tidak ada yang bisa menggantikanmu, aku bersyukur menemukanmu saat itu,” ucapku dengan menyandarkan kepala di lehernya.

“Memang tidak ada yang bisa menggantikanku, karena yang lainnya hanya makhluk lemah.”

Aku tersenyum dengan mengusap lehernya, saat ucapannya kembali terdengar di kepala. “Apa di sekitar sini?” tanyaku seraya ikut menundukan wajah, menatapi rerumputan yang ia injak.

Kou mengangkat kakinya, lalu menghentakannya dengan kuat ke tanah. Aku masih terdiam, saat tanah yang ia gali tersebut semakin dalam. Aku sedikit terhentak, saat Kou tiba-tiba membuka mulutnya … Hingga dinding es, terbuat mengelilingi kami, “ular?” gumamku, sambil menatap banyak sekali ular yang telah mengelilingi dinding es yang Kou buat.

“Hewan yang ada di sini, sepertinya sangat menjaga Tuan mereka.”

“Bangunlah kau! Tuanku, ingin menemuimu,” sambung Kou lagi, sambil tetap menggali tanah yang ada di bawah kakinya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang